Suara.com - Lembaga Biologi Molekular (LBM) Eijkman resmi dilebur ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Hal ini lantas disorot banyak pihak karena mengakibatkan para peneliti di lembaga itu kehilangan pekerjaan.
Melansir Terkini.id -- jaringan Suara.com, Mantan Kepala Lembaga Biologi Molekular (LBM) Eijkman Prof Dr Amin Soebandrio mengungkapkan, besaran gaji para peneliti di lembaga itu sangat memprihatinkan.
Soebandrio yang memimpin lembaga itu pada 2014, mengungkapkan banyak yang menyangka peneliti Eijkman gajinya tinggi.
"Saya betul-betul hampir menangis karena take home pay peneliti kontrak di Eijkman itu lebih rendah dari gaji sopir saya," ungkap Prof Amin Soebandrio dalam nada bicara berusaha menahan haru, dikutip dari Terkini.id, Kamis (6/1/2022).
Baca Juga: Begini Kondisi Terbaru Tubagus Joddy, Sopir Vanessa Angel
Besaran gaji mereka kala itu, terang Soebandrio, tiap peneliti kontrak cuma menerima honor tak sampai Rp 4 juta.
Meskipun demikian mereka tak terlalu mempersoalkannya karena pengalaman yang didapat selama bekerja di Eijkman jauh lebih berharga.
Selama sekitar tujuh tahun memimpin Eijkman, Prof Amin Soebandrio berusaha meningkatkan besaran honor mereka. Tapi tetap tak bisa ujug-ujug melonjak ke kisaran Rp 20 juta tapi masih di bawah Rp 10 juta.
"Sekarang gaji mereka sekitar Rp 6-7 juta. Untuk tenaga yang begitu bagus, terampil, cerdas, berdedikasi tinggi, berintegritas, itu terlalu rendah sebetulnya. Kalau mereka bekerja di lab swasta atau industri pasti sudah lebih dari Rp 10 juta per bulan," papar doktor bidang imunogenetik dari Universitas Kobe, Jepang itu.
Hal itu, karena ia sebagai pimpinan di Eijkman harus mengikuti Standar Biaya Masukan yang ditetapkan Kementerian Keuangan.
Baca Juga: Viral YouTuber Rizki Nasution Cari Pengasuh untuk Jaga Boneka, Gaji Rp 10 Juta Sebulan
Kalau kemudian ada suara-suara bahwa peneliti Eijkman menerima honor yang besar, kata Amin Soebandrio, tentu sudah menjadi temuan inspektorat, BPK, BPKP.
"Kami tak bisa keluar dari ketentuan," tegasnya.
Guru Besar Kehormatan Fakultas Kedokteran Universitas Sydney itu juga menegaskan bahwa perekrutan para peneliti honorer atau tenaga kontrak atas pengetahuan dan izin pimpinan di Kementerian Ristek.
Setiap proyek yang dikerjakan dengan melibatkan tenaga kontrak, kata Prof Amin Soebandrio, ada keputusan dari Kuasa Pengguna Anggaran yang mewakili Menteri.
Semua proses di setiap tahapan juga setiap tahunnya diperiksa oleh Inspektorat, BPKP, BPK, bahkan oleh KPK. Ia menjelaskan hal ini untuk menepis pernyataan Kepala BRIN Laksana Tri Handoko, seolah perekrutan peneliti kontrak atau honorer itu dilakukan tanpa izin menteri atau sekretaris kementerian alia suka-suka pimpinan di Eijkman.
Menurut Prof Amin Soebandrio, kontrak dengan para peneliti sesuai aturan APBN berlaku cuma setahun. Hanya memang setiap tahun bisa dibuat kontrak baru yang masa berlakunya juga tetap setahun, meski dalam praktiknya tak pernah penuh setahun.
Padahal idealnya bila ada pekerja yang berkali-kali dikontrak harus menjadi pegawai tetap. Tapi itu ternyata tidak mudah karena formasi yang tersedia sangat terbatas.
"Mereka melakukan pekerjaan itu bukan sekedar mencari uang, tapi mereka punya passion. Mereka menikmati sekali bekerja di Eijkman, mendapatkan pengalaman. Dan pengalaman itu yang tak bisa dinilai dengan uang," kata lelaki kelahiran Semarang, 2 Juli 1953 itu.