Suara.com - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Junimart Girsang menilai gugatan terkait presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi yang dilakukan seorang Aparatur Sipil Negara (ASN), perlu ditelisik. Kepentingan ASN tersebut perlu diketahui.
"Menyangkut gugatan Presidential Threshold ke MK oleh seorang ASN menurut saya perlu ditelisik, dalam rangka kepentingan apa yang bersangkutan mengajukan gugatan tersebut. Karena secara UU seorang ASN dilarang untuk masuk keranah politik," kata Junimart saat dikonfirmasi, Rabu (5/1/2021).
Junimart mengatakan, dalam Undang-Undang seorang ASN dilarang berpolitik. Menurutnya, ASN baru boleh menggunakan hak politiknya dengan berbagai syarat.
"Hak politiknya bisa dipergunakan ketika menyangkut status ASN-nya yang terganggu dan merugikan terhadap kedudukannya sebagai seorang ASN," ungkapnya.
Baca Juga: Junimart Girsang Pastikan Seluruh PJ Gubernur akan Dipilih Langsung oleh Presiden
Politisi PDIP itu lantas mempertanyakan seorang ASN yang ajukan gugatan tersebut apakah merasa terganggu statusnya karena adanya presidential threshold itu.
Lebih lanjut, Junimart meminta KemenPAN-RB menegakkan aturan tegas soal UU ASN menanggapi adanya gugatan presidential threshold tersebut. Menurutnya, jangan sampai seorang ASN bermain politik praktis.
"KemenPAN harus tegas menegakkan aturan UU ASN ketika seorang ASN sebagai abdi negara sudah ikut secara terang-benderang terjun bermain ke dunia politik. Perlu didalami juga motif ASN tersebut mengajukan gugatan presidential threshold ini supaya tidak menjadi preseden dikemudian hari," tandasnya.
Ajukan Gugatan
Sebelumnya, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) asal Jakarta bernama Ikhwan Mansyur Situmeang mengajukan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold 20 persen.
Baca Juga: Selain Politisi dan Parpol, ASN Juga Ajukan Gugatan Presidential Threshold 20 Persen ke MK
Dilihat Suara.com dari lama resmi MK, pengajuan gugatan tersebut tercatat dengan nomor 2/PUU/PAN.MK/AP3/01/2022 tertanggal 3 tanggal Januari 2022.
Dalam petitumnya, Ikhwan menjelaskan, presidential threshold yang ada di dalam Pasal 222 Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 harus dihapus.
"Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," sebut Ikhwan dalam petitumnya seperti dikutip Suara.com, Rabu (5/1/2022).
Lanjut Ikhwan dalam petitumnya menyebut akibat adanya presidential threshold, dirinya sebagai warga negara mengaku kehilangan hak konstitusional untuk mendapatkan banyak pilihan dari calon presiden dan wakil presiden yang maju di Pilpres.
Ia juga menambahkan, ketentuan adanya ambang batas pencalonan tersebut mengamputasi fungsi partai politik yakni menyediakan dan menyeleksi calon pemimpin masa depan.
Pasalnya, partai politik dalam melaksanakan hak konstitusionalnya mengusulkan calon presiden dan wakil presiden dianggap telah mengabaikan kepentingan masyarakat.