Suara.com - Proses pemindahan Ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan yang dilakukan oleh pemerintag Indonesia ternyata tak sepenuhnya disetujui oleh masyarakat.
Mealnsir Wartaekonomi.co.id -- jaringan Suara.com, Lembaga survei Kedai Kopi merilis hasil survei terbaru mengenai ibu kota baru. Ternyata, Ada 61,9 persen masyarakat yang tak ingin pindah ibu kota.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Kedai Kopi Kunto Adi Wibowo memberi tanggapan terkait studi banding Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) ke Kazakhstan.
Ada pun studi banding yang diikuti juga oleh Bappenas dan anggota DPR tersebut untuk mempelajari negara-negara yang pernah memindahkan ibu kota agar bisa diterapkan di Indonesia.
Baca Juga: Hasil Survei Capres 2024 SMRC, Ganjar Pranowo Paling Disukai Pemilih Indonesia
"Kalau dari hasil survei yang kami lakukan pada November kemarin, yang tidak setuju pemindahan ibu kota baru itu ada 61,9 persen," ujar Kunto Adi dikutip dari Wartaekonomi.co.id, Rabu (5/1/2022).
Menurutnya, para responden tidak menyetujui pemindahan ibu kota ke tempat baru. Hal tersebut dikarenakan keuangan negara yang dirasa belum memumpuni untuk melakukan pemindahan.
"Yang tidak setuju ini beralasan bawa pemindahan ibu kota ini menjadi pemborosan anggaran. Jadi, hal ini bisa merusak sentimen publik terjadap pemerintah kalau dipaksakan," katanya.
Tidak hanya terkait legislasi, namun menurut Kunto, rusaknya sentimen masyarakat juga sudah masuk sejak perencanannya dimulai. Sebab, anggaran negara dianggap tak boleh disia-siakan.
"Jadi, menurut saya, ini adalah bentuk ketidaksensitifan pemerintah terhadap krisis yang sudah diarasakan oleh warga terutama krisis terkait pandemi Covid-19," ujar Kunto.
Baca Juga: KPK Selamatkan Uang Negara Rp374,4 Miliar Selama 2021, 123 Orang Jadi Tersangka
Di sisi lain, Direktur Political and Public Policy Studies (P3S) Jerry Massie pemindahan ibu kota memang baik untuk Indonesia ke depannya.
Dirinya juga mengaku sempat mendorong adanya pemisahan kota pemerintahan dengan kota yang memegang kendali perekonomian.
Contohnya seperti New York dan Washington DC di Amerika Serikat.
"Memang Jakarta sudah tak layak khususnya karena polusi, banjir, dan kepadatan penduduk. Jadi ini bisa jadi grand design untuk pemerintahan yang akan datang," tandasnya.