Suara.com - Presiden Joko Widodo baru saja memberikan penyataan tegas tentang RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Presiden meminta agar RUU TPKS segera disahkan serta memerintahkan kepada menteri hukum dan HAM dan menteri pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak untuk melakukan koordinasi dan konsultasi dengan DPR.
Pemerhati perempuan dan anak Erlinda dalam pernyataan tertulis yang dikirimkan kepada Suara.com menyebut pernyataan Jokowi merupakan oase di padang pasir akibat kelelahan menunggu lama proses yang ada di DPR sejak tahun 2016.
Pernyataan Jokowi, kata Erlinda, seperti sinyal keras yang ditujukan kepada pimpinan partai yang tegabung dalam Koalisi Indonesia Maju.
"Namun apakah sinyal tersebut dapat ditangkap oleh petinggi dan anggota partai yang duduk di bangku terhormat DPR RI. Soliditas koalisi akan diuji pada masa sidang paripurna yang akan digelar oleh DPR RI ditahun 2022," kata Erlinda.
Erlinda juga mengatakan RUU TPKS telah melewati fase yang rumit, berliku dan memakan waktu yang sangat lama menuju disahkan oleh DPR, sementara korban kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan dan anak makin bertambah, namun pemenuhan dan perlindungan untuk korban dirasakan sangat minim.
Menurut Erlinda belum disahkannya pada sidang paripurna sebagai hak inisitiatif DPR menjadi spekulasi di masyarakat terutama para aktivis.
Perintah Jokowi kepada tim Gugus Tugas percepatan RUU TPKS untuk menyiapkan daftar inventaris masalah, kata Erlinda, menjadi sebuah pertanyaan tentang hak inisiasi RUU TPKS.
"Masyarakat menunggu akhir drama RUU TPKS sebagai hak inisiasi DPR dan apakah akan terjadi perubahan yakni menjadi hak inisiasi pemerintah," kata komisioner KPAI periode 2014-2017.
Erlinda menyebut Indonesia diujung kedaruratan kekerasan seksual, apakah akan dibiarkan menjadi kritis sehingga berubah krisis kekerasan seksual.
Baca Juga: Persiapan MotoGP Mandalika, Marsekal (Purn) Hadi Tjahjanto Akan Berkantor di Sana
"Lambannya disahkannya RUU TPKS berpotensi pembiaran para pelaku predator kekerasan seksual berkeliaran di lingkungan pendididkan, ruang kantor, tempat umum, dan keluarga. Re-victimisasi yang dialami korban mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan dialami korban."