Suara.com - Dampak dileburnya Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) termasuk berkurangnya kontribusi dalam mendeteksi Covid-19 dan melakukan pengurutan genome (whole genome sequencing), di tengah potensi naiknya kasus akibat varian baru omicron.
Peleburan itu berbuntut pada pemberhentian puluhan peneliti yang berstatus sebagai tenaga honorer.
Mantan Kepala LBM Eijkman, Amin Soebandrio, mengatakan saat ini lembaga yang telah beroperasi selama 33 tahun itu tidak lagi bisa berkontribusi karena sebagian alat deteksi telah dialihkan ke laboratorium milik BRIN di Cibinong, Jawa Barat.
"Kalau kemudian kebutuhannya meningkat seperti bulan-bulan sebelumnya [upaya deteksi] akan terganggu karena Eijkman adalah salah satu kontributor terbesar, sebelumnya malah paling besar," kata Amin kepada BBC News Indonesia, Senin (3/1).
Baca Juga: Pemerintah Melebur LBM Eijkman ke BRIN
Selain itu, perubahan pada sistem kelembagaan Eijkman juga dikhawatirkan menghambat pengembangan vaksin Merah Putih, yang target awalnya akan mulai diproduksi pada pertengahan 2022 ini.
Peleburan Eijkman ke BRIN juga telah menyebabkan 113 tenaga honorer, termasuk 71 peneliti di antaranya, diberhentikan.
Baca juga:
- Bagaimana cara mendeteksi Omicron?
- Bisakah kita berharap pada vaksin Merah-Putih buatan Indonesia?
- Uji coba plasma darah penyintas Covid-19 sudah dimulai di Indonesia, namun 'bukan sebagai pengobatan massal'
Ahli Biologi Molekuler Ahmad Rusdan Utomo menuturkan situasi itu akan membuat tim yang telah terbentuk untuk melaksanakan tugas-tugas riset dan deteksi Covid-19 menjadi "terdisrupsi".
Padahal menurut dia, Eijkman telah memberikan kontribusi yang sangat nyata dalam penanganan pandemi dan "meringankan banyak beban" pemerintah sejak awal pandemi.
Baca Juga: DPR Harap Bergabungnya Eijkman ke BRIN Tak Pudarkan Independensi Peneliti
Namun, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko membantah perubahan sistem itu berdampak pada kinerja Eijkman dalam riset-riset terkait Covid-19, termasuk pengembangan vaksin Merah Putih.
Perubahan ini, kata Handoko, justru akan 'memperkuat' Eijkman sebagai sebuah lembaga penelitian dengan anggaran riset yang lebih besar, peneliti yang memenuhi 'standar kualifikasi', dan infrastruktur yang lebih lengkap.
Upaya deteksi dihentikan, vaksin Merah Putih terhambat
Mantan Kepala LBM Eijkman, Amin Soebandrio, menuturkan butuh waktu agar Eijkman, dengan sistem kelembagaan yang baru, bisa kembali berkontribusi melakukan genome sequencing dan deteksi Covid-19.
Padahal kontribusi dari Eijkman saat ini sangat dibutuhkan untuk mendeteksi varian Omicron yang telah menyebar secara lokal di Indonesia.
Eijkman pernah melakukan hampir seribu genome sequencing dalam sehari dan merupakan salah satu kontributor terbesar di Indonesia dalam hal itu.
"Dengan situasi seperti ini kami harus menghentikan dan sekarang tidak ada lagi kontribusi Eijkman padahal kita ketahui dengan adanya Omicron ini kebutuhan akan pemeriksaan WGS ini semakin meningkat," kata dia.
Dari seluruh tugas Eijkman terkait penanganan Covid-19, Amin menuturkan hanya proyek pengembangan vaksin Merah Putih yang masih terus berjalan.
"Itu pun [pengembangan vaksin Merah Putih] tentu terpengaruh, akan ada perlambatan meskipun masih berjalan," papar dia.
https://twitter.com/korriesalsa/status/1477197221661581313?s=20
Sementara itu, nasib dari para tenaga honorer dan asisten peneliti Eijkman yang diberhentikan masih belum jelas. Mereka harus melalui sejumlah syarat apabila tetap ingin menjadi bagian dari Eijkman yang telah dileburkan oleh BRIN.
Untuk menjadi peneliti, BRIN mensyaratkan peneliti harus memiliki gelar S3. Sedangkan sebagian tenaga honorer di Eijkman belum mendapat kesempatan untuk itu meski BRIN menjanjikan bisa memberi beasiswa kepada mereka melalui skema riset.
Ahli Biologi Molekuler Ahmad Rusdan Utomo mengatakan BRIN masa peralihan yang terlalu singkat membuat sebagian tenaga honorer di LBM Eijkman tidak sempat menempuh persyaratan itu. Menurut dia, seharusnya memberi jangka waktu yang lebih panjang untuk bertransisi kinerja Eijkman tidak berdampak pada riset dan tugas-tugas yang mereka lakukan, khususnya terkait pandemi.
Ahmad menyayangkan kebijakan yang dianggap 'mengorbankan' 71 tenaga peneliti tersebut atas nama status kepegawaian.
Menurut dia, kontribusi nyata Eijkman selama pandemi telah menunjukkan bahwa mereka memiliki tim peneliti yang solid dengan kapasitas yang mumpuni, sehingga keutuhannya harus dijaga.
Situasi ini justru dianggap 'menimbulkan disrupsi' terhadap peneliti di Eijkman dalam melanjutkan tugas-tugas mereka.
Padahal Eijkman merupakan salah satu kontributor terbesar dalam melaksanakan whole genome sequencing untuk mendeteksi varian virus corona yang beredar di Indonesia, juga berperan meneliti efektivitas plasma konvalesen, hingga menghasilkan protein rekombinan yang berguna dalam pengembangan vaksin Covid-19.
"Apa yang dilakukan Eijkman itu adalah kinerja nyata dari tim peneliti yang sebetulnya, [Covid-19] itu bukan core utama penelitian mereka. Tapi karena Covid mereka tidak ragu menggunakan akses penelitian mereka untuk meneliti Covid," ujar Ahmad.
"Dari sisi semangat mereka itu luar biasa. Artinya, sudah saatnya dari apa yang terjadi saat ini supaya keutuhan tim Eijkman dipertahankan. Jangan sampai karena masalah kepegawaian tim itu dipecah," lanjut dia.
Sementara itu Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, membantah bahwa perubahan sistem itu tidak akan berdampak pada kinerja Eijkman dalam penanganan dan riset terkait Covid-19.
"Justru timnya Eijkman makin kuat. Tim untuk melakukan itu misalnya tim pengembanganan vaksin akan bergabung dengan tim dari LIPI. Kemudian surveilans genome sequencing juga sama karena selama ini yang melakukan kan tim Eijkman dan LIPI, jadi sama sekali tidak ada pengaruhnya," kata dia.
Menurut Handoko, perubahan ini justru akan 'memperkuat' Eijkman sebagai sebuah lembaga penelitian dengan anggaran riset yang lebih besar dengan peneliti yang memenuhi 'standar kualifikasi', serta infrastruktur yang lebih lengkap.
Bagaimana implikasi peleburan pada masa depan riset?
Peleburan serupa sebelumnya telah lebih dulu terjadi pada lembaga IPTEK lainnya di Indonesia, yakni Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), serta Badan Pengkajian Dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, mengklaim peleburan itu bertujuan untuk mengefisienkan penelitian dan inovasi di Indonesia yang selama ini "tidak dikelola dengan baik" demi bisa berkompetisi secara global.
Dengan peleburan ini, Handoko menuturkan para peneliti yang diangkat menjadi PNS bisa mendapatkan hak finansial dan kepastian hukum.
"Justru kami ingin menyelamatkan mereka, kalau tidak mereka mau ngapain? Tidak bisa dibayar penuh sebagai peneliti, diperlakukan sebagai pekerja administrasi. Kita harus selesaikan problem ini," kata dia.
Baca juga:
- Apakah kita perlu mencari tahu dari mana asal virus corona?
- Lima hari 'kritis' di Wuhan yang menentukan penyebaran wabah Covid-19 sedunia
- Vaksin Covid-19: 'Dunia di ambang kegagalan moral yang dahsyat', kata WHO
Namun, alih-alih membuat ekosistem penelitian di Indonesia lebih efisien, Ahli Biologi Molekuler Ahmad Rusdan Utomo berpendapat kebijakan itu justru 'kontraproduktif'. Sebab, persoalan utama yang menghambat pengembangan riset di Indonesia bukan pada status kepegawaian para penelitinya.
"Isu penelitian di Indonesia itu bagaimana regensia menjadi lebih mudah, infrastruktur antara peneliti dan industri lebih bagus. Itu yang harusnya difokuskan, jangan membuat isu yang lain seperti masalah kepegawaian. Akhirnya jadi memecah konsentransi, yang harusnya fokus kita bagaimana membuat efisien penelitian, bagaimana kita menjadi produktif, malah memecah isu," kata Ahmad.
Padahal, menurut Ahmad, peneliti merupakan aset yang paling penting dalam pengembangan riset dan inovasi. Alih-alih memangkas birokrasi, dia menilai BRIN justru 'terkunci' oleh aturan kepegawaian itu sendiri sehingga mengorbankan tenaga riset yang tidak mudah digantikan.