Suara.com - Mantan Presiden Afghanistan membela keputusannya melarikan diri dari negara itu ketika Taliban siap memasuki ibu kota pada awal tahun ini, dengan mengatakan dia melakukannya demi mencegah kehancuran Kabul.
Taliban merebut kekuasaan pada Agustus setelah menguasai ibu kota.
Ashraf Ghani mengungkapkan bahwa ketika dia bangun pada 15 Agustus, dia "tidak memiliki firasat" bahwa itu akan menjadi hari terakhirnya di Afghanistan.
Hanya ketika pesawatnya meninggalkan Kabul, dia menyadari bahwa dia akan pergi dalam jangka waktu tak ditentukan, ujar Ghani kepada program Today di Radio BBC 4.
Baca Juga: Taliban Larang Perjalanan Darat Jarak Jauh untuk Perempuan Sendirian
Dia banyak dikritik dan dituduh meninggalkan negara pada saat itu. Saat ini dia berada di Uni Emirat Arab.
Baca juga:
- Eks Presiden Afghanistan minta maaf kabur ke luar negeri demi 'selamatkan Kabul dan enam juta penduduknya'
- Afghanistan jatuh ke tangan Taliban akibat 'tentara-tentara hantu' buatan pejabat korup
- Kisah perempuan Afghanistan yang ditawari pekerjaan dengan imbalan seks
Ghani melontarkan hal itu dalam dialog dengan Jenderal Sir Nick Carter, mantan Kepala Staf Pertahanan Inggris, yang menjadi editor tamu program Today pada Kamis.
Ketika hari dimulai, demikian Ghani mengingat, kelompok petempur Taliban sepakat untuk tidak memasuki Kabul - "tapi dua jam kemudian, bukan itu yang terjadi".
"Dua faksi berbeda Taliban mendekat dari dua arah berbeda," jelas Ghani.
Baca Juga: Taliban Klaim Pecat 1.895 Anggotanya Karena Kasus Kekerasan
"Dan kemungkinan konflik besar-besaran di antara mereka akan menghancurkan kota berpenduduk lima juta orang dan membawa malapetaka dahsyat bagi rakyat."
Dia setuju untuk membiarkan sejumlah orang yang dekat dengannya untuk meninggalkan Kabul - termasuk istrinya, yang menurutnya melakukannya dengan sangat enggan.
Penasihat keamanan nasionalnya juga meninggalkan negeri itu, dan Ghani menunggu mobil untuk membawanya ke kementerian pertahanan.
Mobil itu tidak pernah datang. Sebagai gantinya, penasihat keamanan nasional kembali, bersama dengan kepala keamanan kepresidenan yang "ketakutan", dan memberi tahu Ghani bahwa mereka akan "membunuh semuanya" jika dia mengambil sikap.
"Dia tidak memberi saya waktu lebih dari dua menit," kata Ghani.
"Instruksi saya adalah mempersiapkan keberangkatan ke [Kota] Khost. Dia mengatakan kepada saya bahwa Khost telah jatuh dan begitu pula Jalalabad.
"Saya tidak tahu ke mana kami akan pergi. Hanya ketika kami lepas landas, menjadi jelas bahwa kami akan pergi [dari Afghanistan]. Jadi ini benar-benar mendadak."
Setelah kepergiannya, Ghani dikritik oleh banyak orang di Afghanistan, termasuk dari wakil presidennya, Amrullah Saleh, yang menyebutnya "memalukan".
Pengambilalihan Taliban tidak dilakukan dalam sehari. Tapi banyak yang bersikeras kepergian rahasia Ashraf Ghani yang tiba-tiba pada 15 Agustus menggagalkan kesepakatan, yang sudah selesai, untuk mengamankan transisi yang lebih teratur.
Bagaimanapun, Taliban pasti akan mendominasi. Tetapi kekosongan yang diciptakan oleh pria yang berulang kali bersumpah untuk "bertarung sampai mati" memperdalam kekacauan itu.
Dan bahkan lebih dari apa yang dia lakukan pada tanggal 15 Agustus, banyak yang menyalahkan dia atas apa yang tidak dia lakukan pada tahun-tahun sebelumnya.
Memang benar dia memerintah dengan lemah dan di bawah kendali Amerika, tetapi dia memainkannya dengan buruk.
Dia saat ini secara luas dilihat sebagai seorang pemimpin yang lebih profesor ketimbang politisi, yang salah membaca politik AS dan situasi di lapangan yang terurai lebih cepat dari yang diperkirakan semua orang, termasuk Taliban.
Keputusan terbaru yang diambilnya ini akan terus dibedah, dibahas, dan dikerdilkan untuk waktu yang lama.
Tuduhan bahwa Ghani telah mengambil uang dalam jumlah besar juga muncul - sesuatu yang dengan tegas dia bantah, dan mempersilakan penyelidikan internasional yang dia katakan akan membersihkan namanya.
"Saya ingin dengan tegas menyatakan, saya tidak membawa uang ke luar negeri," katanya, menambahkan: "Gaya hidup saya diketahui semua orang. Apa yang akan saya lakukan dengan uang?"
Ghani mengakui telah membuat kesalahan, termasuk "berasumsi bahwa kesabaran masyarakat internasional akan bertahan lama".
Namun, dia menunjuk pada kesepakatan yang dibuat antara Taliban dan AS di bawah Presiden Donald Trump saat itu, yang membuka jalan bagi peristiwa yang mengarah ke 15 Agustus.
"Alih-alih proses perdamaian, kami mendapat proses penarikan," kata Ghani. Cara kesepakatan itu dilakukan, Ghani berujar, "menghapus kami".
Baca juga:
- Akankah Taliban membawa Afghanistan ke masa lalu?
- Kisah aktivis yang bertekad ajak Taliban membela hak-hak perempuan
- Semua pasukan asing harus angkat kaki pada 11 September, kata Taliban
Di bawah ketentuan kesepakatan, AS setuju untuk mengurangi pasukannya dan sekutunya, serta menyediakan pertukaran tahanan - setelah itu kelompok militan setuju untuk berbicara dengan pemerintah Afghanistan.
Pembicaraan tidak berhasil: pada musim panas 2021, di mana Presiden AS Joe Biden berjanji untuk menarik pasukan terakhir pada 11 September, Taliban menyapu Afghanistan, mengambil kota demi kota.
Apa yang terjadi pada akhirnya, kata Ghani, adalah "kudeta dengan kekerasan, bukan kesepakatan politik, atau proses politik di mana orang-orang terlibat".
Pada hari yang sama ketika Ghani meninggalkan Kabul, Taliban mengambil alih kendali.
Semenjak saat itulah, negara tersebut terjerumus ke dalam krisis kemanusiaan dan ekonomi, yang diperparah dengan pencabutan dukungan internasional setelah kelompok itu merebut kekuasaan.
Tiga bulan kemudian, Ghani mengatakan dia bersedia disalahkan atas beberapa hal yang menyebabkan jatuhnya Kabul - seperti mempercayai "kemitraan internasional kami".
Namun, dia menambahkan: "Kehidupan saya telah dihancurkan. Nilai-nilai saya telah diinjak-injak. Dan saya telah dijadikan kambing hitam."
Anda mungkin tertarik menonton video ini: