Suara.com - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat sebanyak 104 kasus pelanggaran hak sipil tersebar di seluruh daerah di Indonesia sepanjang 2021. Aktor pelanggaran yang paling banyak itu berasal dari aparat kepolisian.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Mayong, mengatakan pelanggaran hak sipil itu terjadi di Banda Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Pekanbaru, Sumatera Selatan, Jakarta, Jawa Barat, Bandar Lampung, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lalu terjadi juga di Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Papua.
"Kasus pelanggaran pembebasan hak sipil masih didominasi oleh pelanggaran hak bereskpresi dan hak menyatakan pendapat di muka umum," kata Mayong dalam paparannya yang ditayangkan melalui YouTube YLBHI Indonesia, Jumat (31/12/2021).
Selain itu, kasus-kasus pelanggaran pembebasan hak sipil juga mencakup penyiksaan, penangkapan paksa dan penghilangan nyawa.
Baca Juga: DPRD Dorong Polisi Berantas Aksi Premanisme
Lebih lanjut, YLBHI juga mencatat aktor pelanggaran pada 2021 itu masih berasal dari negara dan non negara. Kalau untuk aktor negara itu masih melibatkan kepolisian.
"Kepolisian yang menajdi aktor pelaku pelanggaran utama dan ada juga pelibatan dari militer dan pemerintah daerah," ucapnya.
Sementara dari non negara yang masih melibatkan institusi pendidikan dan organisasi kemasyarakatan tertentu.
Dari berbagai kasus pelanggaran hak sipil kata Mayong, dapat terlihat bahwa modus pelanggaran yang dilakukan para pelaku, pihak kepolisian menjadi garda terdepan yang menyalahgunakan berbagai ketentuan pidana untuk menjerat masyarakat yang melaksanakan haknya untuk berpendapat dan berekspresi.
Kalau melihat dari aksi unjuk rasa di berbagai daerah, polisi juga melibatkan militer dan ormas tertentu untuk membubarkan aksi unjuk rasa disertai dengan kekerasan fisik terhadap massa aksi.
Baca Juga: Libur Nataru, Polda DIY Berlakukan Sistem Ganjil Genap untuk Jalur Wisata
"Kekerasan fisik dilakukan baik dengan pemukulan, penangkapan tanpa alasan dan prosedur yang sah, penahanan yang berujung pada kriminalisasi," jelasnya.
Bahkan menurut Mayong, para pendamping hukum dari LBH di bawah YLBHI pun mengalami penangkapan tidak sah dan dihalang-halangi dalam memberikan bantuan hukum.
Sepanjang 2021, setidaknya sebanyak 8 pendamping hukum dari LBH yang mengalami kriminalisasi.
"Dalam bentuk penangkapan tanpa prosedur tindakan represif dan juga pelaporan terhadap pendamping LBH."