Suara.com - Kasus kematian anak berusia 12 tahun di Jombang, Jawa Timur disebut tidak terkait dengan vaksin, menurut hasil audit Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi.
Ketua Komnas KIPI Hindra Irawan Satari mengatakan gejala yang muncul sebelum kematian berupa lemas, muntah, dan diare bukanlah efek samping yang biasanya muncul akibat vaksin Pfizer yang dia terima satu hari sebelumnya.
Tetapi, minimnya rekam medis membuat penyebab sebenarnya kematian anak itu belum diketahui.
"Kita bisa menyimpulkan ada penyakit lain yang menyebabkan kematian mendadak pada anak ini, hanya saja kejadiannya kebetulan setelah dia divaksinasi," kata Hindra kepada BBC News Indonesia, Kamis (30/12).
Baca Juga: Kasus Bocah SD di Jombang Meninggal Usai Vaksin Sudah Dilaporkan ke Polda Jatim
Kasus ini merupakan satu dari puluhan kasus kematian pasca-vaksinasi yang terjadi di Indonesia.
Data Komnas KIPI hingga Mei 2021 lalu, terdapat setidaknya 30 orang meninggal usai menerima vaksin.
Namun, hasil penelusuran Komnas KIPI menunjukkan bahwa mayoritas kasus kematian itu disebabkan oleh faktor lain seperti penyakit penyerta, bukan akibat vaksin.
Kasus itu pun tergolong sangat kecil dibanding 160 juta orang yang telah menerima vaksin sejauh ini.
Bagaimana pun, kasus kematian anak sekolah dasar di Jawa Timur itu sempat menimbulkan kekhawatiran sejumlah orang, yang antara lain terlihat dari berbagai komentar di media sosial.
Baca Juga: Siswa SD di Jombang Meninggal Sehari Pasca Divaksinasi Covid-19, Komnas KIPI Buka Suara
https://twitter.com/mbahndi/status/1476116991337385985?s=20
Kekhawatiran itu juga muncul dari seorang ibu dari anak penerima vaksin di Jakarta, Fitri Mahdarina, 40.
Fitri berpendapat penyebab kematian sebenarnya dari anak tersebut perlu ditelusuri untuk memastikan bahwa vaksin yang digunakan pada anak-anak benar-benar aman.
Sementara itu, pakar imunisasi Elizabeth Jane Soepardi mengatakan hasil audit medis yang tak pasti dan sebatas dugaan, bisa mempengaruhi persepsi masyarakat pada keamanan vaksin itu sendiri.
Padahal, kata dia, vaksin yang digunakan di dunia saat ini jelas telah teruji keamanannya. Namun, mengetahui penyebab pasti kematian tersebut akan menjadi evaluasi yang penting untuk memastikan tidak ada lagi kasus serupa.
Bagaimana temuan Komnas KIPI?
Ketua Komnas KIPI Hindra Irawan mengatakan anak berusia 12 tahun tersebut menerima vaksin Covid-19 Pfizer pada Senin (27/12), tepatnya satu pekan setelah menjalani sunat.
Menurut Hindra, luka sirkumsisi anak tersebut sudah membaik dan hasil skrining kesehatan menyatakan anak itu dalam kondisi baik, sehingga dia dinyatakan layak menerima vaksin.
Terdapat 18 teman sekolahnya yang juga menerima vaksin berbarengan pada saat itu di salah satu puskesmas di wilayah Jombang.
Usai vaksinasi, anak itu sempat ikut ayahnya ke sawah dan selama di sana dia hanya bermain gim, bukan bermain bola seperti kabar yang beredar media sosial sebelumnya.
Hasil audit medis menunjukkan anak tersebut mulai merasa lemas, muntah-muntah, dan mencret pada Selasa dini hari lalu.
Keluarga kemudian membawa anak tersebut ke puskesmas, namun dia dinyatakan telah tidak bernyawa.
"Kalau melihat on set-nya kejadian itu terlalu pendek, yang biasa menyebabkan kejadian fatal akibat vaksinasi itu syok anafilaksis -syok yang disebabkan reaksi alergi berat-, tetapi [pada anak ini] tidak ada tanda-tanda itu," ujar Hindra.
Apabila dilihat dari gejala yang timbul berdasarkan keterangan keluarga, Hindra menuturkan anak itu bisa saja mengalami radang pada susunan syaraf pusat atau pecah pembuluh darah.
Sayangnya, dugaan itu sulit dipastikan karena tidak ada rekam medis seperti hasil pemeriksaan darah atau CT scan yang dapat menjadi bukti penunjang.
Sebab, anak itu tiba di puskesmas dalam kondisi sudah meninggal dunia. Selain itu, pihak keluarga juga belum berencana melakukan autopsi.
Baca juga:
- Covid-19: Siapa yang menerima vaksin booster di Indonesia?
- Sanksi pelanggar aplikasi Pedulilindungi: 'negara ini senang sekali menghukum warganya'
- Kartu vaksin jadi syarat ke mal hingga transportasi umum, disebut 'bentuk ketidakadilan sosial'
Komnas KIPI, kata Hindra, juga telah menelusuri prosedur yang dilakukan oleh petugas skrining, petugas yang melakukan penyuntikan, hingga penyimpanan dan pengelolaan vaksin.
"Mereka melakukan sesuai prosedur, tidak ada masalah dengan prosedur itu, jadi ini kematian yang sulit ditentukan karena tidak cukup bukti," ujar dia.
Kesimpulan Komnas KIPI bahwa kematian anak tersebut disebabkan oleh penyakit lain, kata Hindra, diperkuat oleh tidak adanya rujukan ilmiah atau kejadian serupa di tempat lain di dunia bahwa vaksin Pfizer menyebabkan kematian mendadak dengan gejala yang dialami anak tersebut.
Secara keseluruhan, Hindra mengatakan ada 11 ribu laporan kejadian ikutan pasca-imunisasi di Indonesia sejauh ini, namun sebagian besar merupakan kejadian ringan.
Dia juga meminta masyarakat untuk segera melapor apabila merasakan efek samping vaksin baik itu yang ringan hingga berat agar bisa ditangani dengan cepat.
Terkait kasus ini, Juru bicara vaksinasi Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan akan menunggu rekomendasi dari Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (ITAGI) terkait penggunaan vaksin Pfizer bagi anak pasca-kejadian ini.
Sulit dievaluasi
Pakar imunisasi Elizabeth Jane Soepardi menuturkan temuan yang didapat oleh Komnas KIPI bisa dipahami, mengingat gejala medis yang dialami anak tersebut sebelum meningal dunia memang tidak menunjukkan efek samping yang umumnya disebabkan oleh vaksin Pfizer.
Hanya saja, hasil audit medis yang tidak mampu menjawab secara pasti penyebab kematian dari anak tersebut bisa menyebabkan kepercayaan masyarakat pada vaksin Covid-19 menurun.
"Akibatnya nanti ada orang yang takut tidak mau pake Pfizer. Ini jelas merugikan. Jadi paling-paling yang educated, yang kelompok menengah ke atas yang bisa menerima. Kelompok menengah ke bawah jadi takut," ujar Elizabeth kepada BBC News Indonesia.
Peristiwa ini, kata dia, juga menunjukkan bahwa sistem kesehatan belum berjalan baik dalam memantau kejadian pasca-imunisasi, serta kurangnya pemahaman masyarakat untuk segera melapor.
Keluhan apa pun yang dirasakan usai menerima vaksin semestinya segera dilaporkan sehingga bisa segera ditangani dan ada rekam medis yang bisa dijadikan acuan atas apa yang sebenarnya terjadi.
Dengan situasi seperti pada kasus ini, akan sulit mengevaluasi kejadian seperti ini agar tidak terulang di masa yang akan datang.
"Kalau ada seorang anak sampai mengalami muntah-muntah dan kejang harusnya dibawa ke fasilitas kesehatan.
"Fasilitas kesehatan sesederhana puskesmas, dokter praktek, bidan praktek pun mereka pasti akan ada rekam medisnya," ujar Elizabeth.
"[Tanpa rekam medis] kita jadi sulit, tidak bisa belajar, hanya bisa menduga-duga penyakit apa yang memberikan gejala muntah dan kejang. Ini penjelasan ke publiknya juga menjadi susah kalau seperti ini," lanjut dia.
Komunikasi risiko minim picu kekhawatiran orang tua
Peristiwa yang terjadi di Jombang, bagaimana pun, menimbulkan kekhawatiran bagi sejumlah orang yang tergambar melalui media sosial, termasuk Fitri Mahdarina, yang merupakan salah satu orang tua dari anak penerima vaksin di Jakarta.
"Sebenarnya sih kalau bisa didiagnosa ya penyebabnya apa, misalnya apakah Pfizer enggak bisa untuk anak-anak perlu lah dikasih tahu ke publik.
"Tapi kalau belum ada solusinya, hanya berita buruk terus terang itu bikin degdegan," ujar Fitri Mahdarina kepada BBC News Indonesia.
Hasil audit yang transparan, kata Fitri, bisa membantu orang tua memahami risiko yang mungkin terjadi dan ikut serta memastikan bahwa kondisi anak mereka baik.
"Apa sih yang harus dilakukan dari kejadian itu? Misalnya kalau memang harus ada skrining kesehatan, itu harus skrining yang seperti apa?
"Kalau cuma dari cek suhu dan tensi itu kan enggak kelihatan penyakitnya. Hal seperti ini harusnya diedukasi," kata Fitri.
Salah satu anak Fitri yang berusia 11 tahun telah menerima dosis pertama vaksin Sinovac pada awal pekan lalu. Syukurnya, anaknya berada dalam kondisi sehat dan tidak mengalami efek samping apa pun.
Namun, dia mengatakan dalam proses vaksinasi itu sendiri ada sejumlah prosedur terkesan dilaksanakan ala kadarnya, bahkan tidak dilakukan.
Ketika anaknya divaksin, Fitri mengatakan petugas hanya menanyai kondisi medis anak-anak secara kolektif, tanpa mengecek satu per satu.
Selain itu, tidak ada observasi selama 30 menit pasca-penyuntikan untuk memastikan tidak ada efek samping yang dialami, katanya.
"Tadinya kita duduk, begitu selesai vaksin, menunggu. Kalau aku dulu waktu divaksin kan nunggu di ruang observasi, kalau tidak ada terasa apa-apa boleh pulang, tapi pas di sekolah anak-anak enggak sampai lima menit langsung bubar saja habis disuntik," papar Fitri.
Baca juga:
- Covid-19: Siapa yang menerima vaksin booster di Indonesia?
- Sanksi pelanggar aplikasi Pedulilindungi: 'negara ini senang sekali menghukum warganya'
- Kartu vaksin jadi syarat ke mal hingga transportasi umum, disebut 'bentuk ketidakadilan sosial'
Sementara itu, seorang ayah di Tangerang Selatan bernama Uji Agung Santosa, 40, mengaku tidak mendapat edukasi pasca-vaksinasi ketika mendampingi anaknya menerima vaksin Covid-19 baru-baru ini, sehingga dia harus mencari tahu sendiri.
"Seharusnya kan ada risiko-risiko setelah vaksin itu seperti apa, apa yang harus dilakukan oleh anak dan orang tua setelah vaksin," ujar Agung.
Pakar imunisasi Elizabeth Jane Soepardi mengatakan peristiwa di Jombang dan keluhan para orang tua terkait minimnya komunikasi risiko, menunjukkan bahwa komunikasi risiko terkait vaksinasi perlu ditinjau kembali agar kejadian fatal bisa dicegah.