Suara.com - Belasan santri perempuan di Bandung diduga menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan pemimpin pondok pesantren.
Korban umumnya berumur 13-16 tahun. Sejumlah korban melahirkan anak, bahkan salah satu di antaranya melahirkan dua kali.
Guru Besar Psikologi Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Achmad Mubarok menduga AH, pengampu pondok pesantren itu, menganut aliran sesat.
"Dugaan saya, itu bukan karena hawa nafsu, tetapi karena aliran sesat," kata Mubarok kepada Suara.com, Kamis (30/12/2021).
Baca Juga: Tunggu RUU TPKS Disahkan, DPR Minta Kapolri Ambil Langkah Represif Kasus Kekerasan Seksual
"Sebab pasti nggak sampai berlanjut seperti itu, bertahun-tahun. Dia sepertinya happy-happy saja."
Mubarok juga menduga lembaga yang dipimpin AH sesungguhnya bukan pesantren sebagaimana umumnya.
"Karena korban sampai belasan orang, kok tidak ketahuan. Kalau pesantren kan pasti akan ketahuan."
Kekerasan seksual sudah berlangsung bertahun-tahun, tetapi kata dia, warga sekitar tidak ada yang mengetahuinya.
Jika lembaga itu benar-benar pesantren seharusnya sering ada kegiatan sosial di lingkungan sekitar.
Baca Juga: Dominasi Kasus Kekerasan Terhadap Jurnalis Sepanjang 2021, AJI: Pelakunya Polisi
Mubarok kemudian menceritakan pengalamannya pernah mondok di sebuah pesantren tradisional.
Aturan di dalam pesantren ketat sekali. Asrama putra dan putri dipisah, kelas juga begitu.
Santri lelaki dan perempuan hanya bertemu pada waktu salat, itu pun mereka dipisah. "Pergaulan atau komunikasi harian tidak ada. "Zaman saya seperti itu."
Mubarok juga menceritakan beberapa kasus aliran sesat.
"Anak-anak itu dibodoh-bodohin bisa saja terjadi sehingga guru tidak merasa berdosa."
Kekerasan seksual tak hanya bisa terjadi di lingkungan pendidikan, di berbagai tempat juga bisa terjadi, kata Mubarok.
Untuk mencegah kasus semacam itu terulang, terutama di lingkungan pesantren, menurut Mubarok, setiap pesantren harus ada lembaga pengawasnya. Masyarakat sekitar juga mesti ikut berperan aktif mengawasi.
Di Indonesia, terjadi 18 kasus kekerasan seksual terhadap anak di lingkungan pendidikan selama 2021.
Kasus terbanyak terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama: 14 kasus (77,78 persen). Kemudian di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi: empat kasus (22,22 persen).
Kasus kekerasan seksual mayoritas terjadi di boarding school: 12 kasus (66,66 persen). Menyusul kemudian di sekolah tidak berasrama: enam kasus (33,34 persen).
Korban kekerasan seksual sebanyak 207 anak yang terdiri dari 126 perempuan dan 71 laki-laki.
Usia mereka tiga tahun sampai 17 tahun. Korban masih duduk di tingkat PAUD/TK (empat persen), (SD/MI (32 persen), SMP/MTs (36 persen), dan SMA/MA (28 persen).
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Retno Listyarti mengatakan semua pelakunya lelaki.
Pelaku kekerasan seksual terdiri dari guru sebanyak 10 orang (55.55 persen), kepala sekolah atau pimpinan pondok pesantren empat orang (22,22 persen), pengasuh (11,11 persen), tokoh agama (5.56 persen), dan pembina asrama (5.56 persen).
Modus kekerasan seksual yang teridentifikasi beragam. Di antaranya, pelaku mengiming-imingi korban mendapat nilai tinggi, menjadi polwan, bermain game online di tablet pelaku, minta dipijat lalu pelaku meraba bagian intim, meminta korban menyapu gudang namun kemudian dicabuli, mengancam memukul korban jika menolak, mengeluarkan dalil-dalil harus mematuhi guru, dan dalih terapi alat vital yang bengkok.
Untuk mencegah kekerasan seksual di sektor pendidikan berulang, KPAI mendorong Kementerian Agama memiliki peraturan menteri seperti Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan pendidikan.
KPAI juga mendorong Kemendikbudristek dan Kementerian Agama untuk membangun sistem perlindungan terhadap peserta didik selama berada di lingkungan satuan pendidikan dengan sistem berlapis.
KPAI mendorong Kemendikbudristek untuk mensosialisasi Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 secara luas kepada dinas-dinas pendidikan di seluruh kabupaten/kota dan provinsi.
KPAI mendorong satuan pendidikan berani mengakui dan mengumumkan adanya kasus kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan disertai permintaan maaf.
Kasus-kasus itu terjadi selama periode 2 Januari – 27 Desember 2021 melalui pemantauan kasus yang dilaporkan keluarga korban ke kepolisian dan diberitakan media massa.
Selama tahun 2021, ada tiga bulan tidak muncul kasus kekerasan seksual dalam pemberitaan media massa ataupun dilaporkan kepolisian, yaitu Januari, Juli, dan Agustus.