Amnesty Indonesia Minta Pemerintah Sediakan Kebutuhan Dasar Pengungsi Rohingya

Rabu, 29 Desember 2021 | 23:15 WIB
Amnesty Indonesia Minta Pemerintah Sediakan Kebutuhan Dasar Pengungsi Rohingya
Sebuah kapal yang membawa warga Rohingya terdampar di laut Indonesia, Senin (27/12/2021). [Dok.Antara]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengapresiasi langkah nelayan Aceh yang menarik kapal diduga membawa 120 warga Rohingya  dari laut ke Pantai Pidie, Aceh. Menurutnya hal tersebut menunjukkan solidaritas kemanusiaan. 

"Sekali lagi, masyarakat lokal di Aceh menunjukkan kepemimpinan sejati dalam menurunkan pengungsi Rohingya dari laut ke pantai Pidie, Aceh, Indonesia. Pendaratan pengungsi Rohingya malam ini menjadi momen optimisme dan solidaritas," ujar Usman dalam keterangan yang diterima Suara.com, Rabu (29/12/2021).

Kapal yang diduga mengangkut warga Rohingya di perairan Bireuen, Aceh. [ANTARA]
Kapal yang diduga mengangkut warga Rohingya di perairan Bireuen, Aceh. [ANTARA]

"Sebuah penghargaan bagi komunitas nelayan di Aceh yang berjuang keras dan mengambil risiko sehingga anak-anak, perempuan dan laki-laki ini bisa dibawa ke pantai. Mereka telah menunjukkan yang terbaik dari kemanusiaan," ucap dia.

Kendati demikian kata Usman, para pengungsi tetap membutuhkan perlindungan abadi. Yakni tempat berlindung dan keamanan. Karena itu, Usman meminta pemerintah Indonesia harus menyediakan kebutuhan dasar para pengungsi Rohingya yang selamat dan tak boleh mengirimkan kembali ke laut.

Baca Juga: Facebook Digugat Rp 2,1 Kuadriliun Terkait Genosida Rohingya

"Pemerintah Indonesia harus menyediakan kebutuhan dasar mereka yang selamat dan dalam keadaan apa pun tidak boleh mengirim mereka kembali ke laut. Episode dramatis hari ini menunjukkan urgensi adanya dialog dan kerjasama regional untuk mencegah lebih banyak kematian di laut," tutur Usman.

Usman menyebut meskipun Indonesia bukan merupakan negara-pihak pada Konvensi PBB 1951 Tentang Status Pengungsi (Konvensi Pengungsi) atau Protokol 1967, tetapi prinsip non-refoulement yang dikenal dalam hukum kebiasaan internasional mewajibkan negara untuk tidak mengembalikan siapa pun ke tempat yang berisiko untuk mengalami penganiayaan atau pelanggaran HAM berat.

Prinsip tersebut kata Usman merupakan landasan perlindungan pengungsi internasional dan merupakan dasar dari larangan mutlak atas penyiksaan dan penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.

"Prinsip ini dilindungi oleh hukum hak asasi manusia internasional secara umum, serta hukum kebiasaan internasional, yang mengikat semua negara tanpa kecuali," kata Usman.

Selain itu, Usman menyebut deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN juga mengabadikan hak untuk "mencari dan menerima suaka"

Baca Juga: Dianggap Sebarkan Konten Pemicu Genosida Rohingya, Facebook Dituntut Rp 2.870 Triliun

Kemudian larangan pengusiran kolektif telah tersirat dalam ketentuan Pasal 13 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.

"Di mana Indonesia telah menjadi salah satu negara pihak," katanya. 

Sebelumnya, nelayan Aceh mulai menarik kapal diduga membawa 120 warga Rohingya ke daratan. 

"Malam ini harus sampai ke darat, tidak perlu pemerintah untuk menarik itu. Sekarang lagi tarik," kata Panglima Laot Bireuen Badruddin Yunus kepada wartawan, Rabu (29/12/202)

Seperti diberitakan, nelayan Aceh melihat kapal diduga membawa warga Rohingya berada di Perairan Kabupaten Bireuen, Aceh. Kapal itu terpantau masih berada di tengah lautan.

"Informasi dari nelayan adanya kapal Rohingya di perairan Bireuen kurang lebih 67 mil laut," kata Wakil Sekjen Panglima Laot Aceh Miftach Cut Adek, Senin (27/12).

Keberadaan kapal itu juga telah disampaikan ke pos angkatan laut (AL) setempat. Kondisi kapal disebut masih bagus atau dapat berlayar.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI