Suara.com - Keputusan Presiden Joko Widodo menambah posisi wakil menteri sosial dalam kabinetnya dinilai tidak efisien dan justru bertentangan dengan salah satu visinya untuk merampingkan sistem birokrasi.
Peneliti politik Badan Riset dan Inovasi Nasional Siti Zuhro mengatakan kebijakan itu menunjukkan inkonsistensi Jokowi dalam mewujudkan efisiensi birokrasi.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera sekaligus anggota Komisi VIII DPR Buchori Yusuf menilai tidak ada urgensi untuk menambah posisi wakil menteri sosial. Buchori menuding keputusan ini cenderung berlandas pada kepentingan politik, bukan pada kebutuhan untuk meningkatkan kinerja.
Namun, tudingan itu dibantah oleh Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin. Menurut dia, hal itu merupakan hak prerogatif presiden yang dijamin oleh undang-undang.
Baca Juga: Tambah Jabatan Wakil Menteri Sosial, Sinyal Jokowi Bakal Reshuffle Kabinet?
"Kalau lihat kepentingan politik, Pak Jokowi itu kan selesai di periode kedua ini. Jadi alasan-alasan itu semua alasan murahan, alasan-alasan sampah, cari panggung saja, bikin kotor ruang publik saja," tutur Ngabalin.
Baca juga:
- Wakil Menteri Kabinet Jokowi: Antara 'kompromi politik' dan 'pemborosan anggaran'
- Presiden Jokowi lantik enam menteri baru, seperti apa visi Tri Rismaharini dan Sandiaga Uno?
- Barisan menteri perekonomian didominasi politisi, 'penurunan kualitas' dan berpotensi 'konflik kepentingan'
Pada pertengahan Desember lalu, Presiden Jokowi meneken Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 yang memungkinkan adanya jabatan Wakil Menteri Sosial.
Keputusan itu kian menambah gemuk kabinet Jokowi yang kini memiliki 16 wakil menteri, sebagian di antaranya merupakan politikus dan bagian tim pemenangannya pada pemilu lalu.
Jumlah wakil menteri itu meningkat drastis dibandingkan periode pertama kepemimpinannya pada 2014-2019, ketika Jokowi hanya memiliki tiga wakil menteri di dalam kabinetnya.
Baca Juga: Resmi! Jokowi Teken Perpres No 110 Soal Jabatan Wakil Menteri Sosial
Presiden Jokowi juga telah membubarkan lebih dari 50 lembaga selama menjabat sebagai presiden, menghapus jabatan eselon 3 dan 4 atas nama reformasi birokrasi. Di sisi lain, kata Siti Zuhro, Jokowi kesulitan menghindari 'pembengkakan' pada kabinetnya sendiri akibat 'tarik-tarikan politik'.
"Jumlah wakil menteri yang melampaui 14 ini menunjukkan bahwa fragmentasi birokrasi itu tetap terjadi," kata Siti kepada BBC Indonesia.
"Tentu presiden punya hak prerogatif memilih dan memberhentikan menteri maupun wakil menteri, tapi komitmen untuk melakukan reformasi birokrasi nasional kita secara konsisten itu yang kita perlukan," lanjut dia.
Tidak efisien dan menambah beban anggaran
Politisi PKS Buchori Yusuf berpendapat posisi wakil menteri sosial tidak dibutuhkan dan hanya akan menambah beban anggaran. Menurut Buchori, kinerja Menteri Tri Rismaharini juga cukup baik sehingga dinilai mampu mengemban tugas-tugas yang dibebankan kepadanya cukup dengan bantuan struktur yang sudah ada saat ini.
Buchori memandang ada isu lain yang lebih mendesak di Kementerian Sosial, yakni memberdayakan petugas lapangan dan para pendamping yang menjadi ujung tombak Kemensos merespons situasi darurat.
"Tugas dan tantangan Kemensos itu di lapangan, terutama di situasi dan kondisi cuaca sangat ekstrem ini, pasca-bencana, gangguan kejiwaan akibat situasi ekonomi, dan banyak lagi. Jadi sebenarnya yang perlu lebih diperkuat di tingkat bawah, bukan di level menteri," jelas Buchori.
Sementara itu, Anggota Komisi VIII DPR RI dari Partai Golkar, Ace Hasan, berpendapat keputusan presiden itu dapat diterima, mengingat Kementerian Sosial 'memiliki tugas berat' dalam merespons situasi pandemi dan berbagai bencana yang belakangan marak terjadi.
Namun penempatan posisi wakil menteri dinilai tidak memiliki parameter yang transparan sehingga menguatkan kesan politis dari kebijakan tersebut.
Baca juga:
- Eks Mensos Juliari Batubara divonis 12 tahun, korban terpaksa memasak bansos tak layak
- Evaluasi kabinet Jokowi : Infrastruktur maju, hukum dan HAM dapat 'rapor merah', tiga menteri kena kasus 'korupsi'
- Tantangan ekonomi Jokowi: Dari investor hengkang, daya saing 'lemah', hingga utang yang membengkak
Pengamat politik, Siti Zuhro, mencontohkan beberapa kementerian yang memiliki tupoksi luas seperti Kementerian Dalam Negeri justru tidak memiliki jabatan wakil menteri. Sedangkan Kementerian Pariwisata yang dianggap cukup dipimpin seorang menteri, justru memiliki wakil menteri yang dijabat oleh putri dari Ketua Umum Partai Perindo, Hary Tanoesoedijbjo.
"Jadi parameter apa yang digunakan untuk seorang wamen itu direkrut? Seharusnya ada parameter tertentu yang digunakan sehingga itu bisa menjelaskan kepada publik bahwa wamen memang diperlukan, signifikan keberadaannya karena beberapa hal," ujar Siti.
Oleh sebab itu, Siti meminta Jokowi menjelaskan secara transparan alasan penambahan jabatan wakil menteri kepada publik untuk membuktikan bahwa keputusan ini bukan 'hasil cawe-cawe politik'.
"Sekali visi reformasi birokrasi itu ditancapkan, dampaknya tentu akan dilihat seberapa besar komitmen presiden. Wajar apabila publik mengevaluasi kenapa wakil menterinya banyak sekali, apa yang salah? Apakah memang tidak kompeten atau mengakomodasi kepentingan politik?" papar dia.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Zuliansyah, mengatakan sejauh ini belum terlihat efektivitas peran dari sebagian besar wakil menteri di kabinet Jokowi.
Dari belasan wakil menteri yang telah ditunjuk oleh Jokowi, dia menilai hanya beberapa yang urgensi kebutuhannya bisa dipahami oleh publik.
"Saya belum lihat ada assessment terkait ini. Setiap penambahan itu seharusnya ada assessment apakah lembaga itu butuh atau tidak, dengan penambahan jabatan baru itu kinerjanya lebih baik dan cepat? Kan itu belum kelihatan," kata Zuliansyah.
Politisasi birokrasi
Ketika mencalonkan diri untuk kedua kalinya sebagai presiden pada 2019, Jokowi pernah mengatakan bahwa dirinya tidak memiliki beban dan siap melakukan beragam terobosan pada masa jabatan berikutnya.
Namun menurut peneliti BRIN Siti Zuhro, Jokowi nyatanya kesulitan menghindari intervensi politik di dalam kabinetnya sendiri justru pada periode kedua.
'Pembengkakan kabinet' Jokowi saat ini, kata dia, merupakan konsekuensi dari dukungan politik yang dia raih untuk memenangkan pemilu yang lalu.
Di satu sisi, Jokowi mau tidak mau mengakomodasi kepentingan pendukung politiknya melalui jabatan strategis. Sementara itu, ada target untuk menuntaskan program kerjanya secara cepat. Penunjukan wakil menteri dari ranah profesional dianggap sebagai solusi atas ini.
"Upaya merampingkan birokrasi yang kaya fungsi dan miskin struktur itu akhirnya tidak terjadi karena ternyata mengakomodasi kepentingan politik itu menjadi sesuatu yang niscaya," tutur Siti.
Selain itu, Siti menilai Jokowi terkesan ingin memelihara dukungan yang telah dia peroleh sebelumnya untuk menyongsong pemilu yang akan datang.
"Pemilu 2024 siapa pun ingin jadi king maker, apalagi pak Jokowi yang akan lengser, akan punya preferensi pada calon tertentu. Hal itu yang mungkin masih jadi pertimbangan politik sehingga kebijakan-kebijakannya bisa jadi terkait itu," papar Siti.
Siapa yang layak mengisi jabatan Wamensos?
Hingga berita ini ditulis, belum ada kepastian mengenai siapa sosok yang akan mengisi posisi wakil menteri sosial. Tenaga Ahli Utama KSP Ali Mochtar Ngabalin mengatakan hal itu akan menjadi keputusan penuh presiden.
Sejumlah pihak mendesak apabila posisi wakil menteri sosial akan tetap diisi, maka sebaiknya diisi oleh seseorang dari latar belakang profesional mengingat Menteri Risma sudah berasal dari partai politik.
Pengamat politik, Aisah Putri Budiarti, menuturkan salah satu pertimbangan presiden menunjuk wakil menteri sosial bisa jadi berupa kebutuhan merespons bencana dan situasi pandemi.
Oleh sebab itu, akan lebih baik apabila posisi wamensos diisi oleh seseorang yang berpengalaman di bidang itu.
"Ini yang perlu didorong agar presiden menempatkan orang yang tepat," kata Aisah kepada BBC Indonesia.
Baca juga:
- Wakil Menteri Kabinet Jokowi: Antara 'kompromi politik' dan 'pemborosan anggaran'
- Presiden Jokowi lantik enam menteri baru, seperti apa visi Tri Rismaharini dan Sandiaga Uno?
- Barisan menteri perekonomian didominasi politisi, 'penurunan kualitas' dan berpotensi 'konflik kepentingan'
Politisi PKS Buchori Yusuf juga menyampaikan desakan serupa dan berharap posisi wakil menteri tidak menambah ruwet alur birokrasi.
"Sebaiknya [jabatan wamensos] diisi orang-orang yang sudah tahu situasi, yang sudah berkecimpung lama di situ dibanding harus menghadirkan orang baru, saya khawatir bisa menghambat kinerja dan yang jadi korban adalah masyarakat miskin," ujar Buchori.