Suara.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Bupati Hulu Sungai Utara (HSU) nonaktif, Abdul Wahid sebagai tersangka kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU). Abdul sebelumnya sudah dijerat lembaga antirasuah dalam kasus korupsi pengadaan barang dan jasa di Kab. HSU tahun 2021-2022.
"KPK kembali menetapkan tersangka AW (Abdul Wahid) sebagai tersangka dalam dugaan perkara TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang)," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi, Selasa (28/12/2021).
Penetapan tersangka itu berdasarkan pengembangan tim penyidik terhadap kasus lama Abdul Wahid. Menurutnya, dalam pengembangan kasus itu, penyidik menemukan bukti cukup untuk kembali menetapkan Abdul Wahid dalam kasus baru.
Dari hasil penyidikan, ditemukan jika Abdul Wahib dengan sengaja menyamarkan penerimaan suap dan dialihkan kepada pihak lain.
Baca Juga: KPK Sebut Puspom Hentikan Kasus Korupsi Helikopter AW-101, Ini Kata Panglima TNI
"Ada bukti permulaan yang cukup terjadi perubahan bentuk dari hasil tindak pidana korupsi kepada aset-aset bernilai ekonomis seperti properti, kendaraan dan menempatkan uang dalam rekening bank," kata Ali.
Apalagi, kata Ali, ada informasi bahwa adanya sejumlah pihak ingin mengambil alih aset-aset milik tersangka Abdul Wahid.
"Diduga ada pihak-pihak yang dengan sengaja mencoba untuk mengambil alih secara sepihak aset-aset yang diduga milik tersangka Abdul Wahid," kata dia.
Kasus Lama Abdul Wahid
Diketahui, KPK telah menetapkan Bupati Abdul Wahid sebagai tersangka kasus suap. Diduga, Abdul Wahid mendapatkan uang mencapai belasan miliar rupiah dari sejumlah kontraktor yang mengerjakan berbagai proyek di Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Baca Juga: Buron sejak Januari 2020, Harun Masiku hingga Kini Belum Ditangkap KPK
Salah satunya, Abdul mendapatkan uang suap dari perantara Plt Kadis PU pada Dinas PUPR Kabupaten Hulu Sungai Utara, Maliki yang kekinian sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri sebelumnya, merinci sejumlah uang yang didapatkan oleh Abdul Wahid. Menurutnya, Abdul meminta komitmen fee sebesar 5 persen dari para kontraktor yang mengerjakan proyek di Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Pertama, penerimaan uang Abdul Wahid melalui dari pihak kontraktor yakni MRH dan FH mencapai Rp 500 juta, melalui Maliki. Kemudian, pada tahun 2019 senilai Rp4,6 miliar, tahun 2020 sejumlah sekitar Rp12 Miliar dan pada tahun 2021 sebesar Rp1,8 Miliar.
Selama proses penyidikan itu, kata Firli, KPK sudah menyita sejumlah uang tersebut sebagai barang bukti. Namun, kata Filri, KPK masih menghitung lagi karena ada juga pemberian kepada Abdul dari mata uang asing.
"Sejumlah uang dalam bentuk tunai dengan pecahan mata uang rupiah dan juga mata uang asing yang hingga saat ini masih terus dilakukan penghitungan jumlahnya," kata Firli di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (18/11/2021).
Dalam kasus ini, Abdul Wahid disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999.