Suara.com - Saat ingat Natal di Indonesia, pastel tutup buatan sang ibu adalah salah satu yang pertama muncul di benak Peter Lazaro.
Namun tahun ini, Peter yang bekerja sebagai manajer proyek teknologi harus merayakan Natal di Sydney, bukan Semarang.
"Suasana perayaan, gereja, dan misa bisa tergantikan, karena pada intinya sama," ujar Peter kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.
"Tapi tidak ada yang bisa menggantikan masakan ibu," katanya.
Baca Juga: Pendeta Gilbert Tak Ambil Pusing Soal Ucapan Natal: Semua Punya Kaidah, Saling Hargai Saja
Peter terbang ke Sydney pada tahun 1982 untuk melanjutkan SMA, kemudian sempat bekerja di Indonesia selama enam tahun, sebelum memutuskan kembali ke Australia untuk menetap.
Sekarang ia akan merayakan Natal ditemani istri dan kedua anaknya di Sydney, namun tidak pernah lupa kesepian yang pernah dirasakannya 39 tahun lalu.
"Waktu saya pertama sampai di Australia, selama beberapa tahun awal, saya tidak bisa pulang setiap tahun karena jumlah uang terbatas," ujar Peter.
"Memang ada teman yang merayakan Natal bersama, tapi rasanya berbeda, apalagi di negara asing tanpa saudara, rasanya bisa sepi sekali."
Tahun ini pun rencana Peter untuk jalan-jalan ke luar Australia dibatalkan, melihat semakin banyaknya kasus varian Omicron.
Baca Juga: 1,2 Juta Kendaraan Tinggalkan Jabodetabek sebelum Natal 2021
Lagu Natal diiringi gamelan
Peter merupakan satu dari delapan penyanyi dalam album "Sounds of Christmas from Asia Pacific", yang menampilkan lagu-lagu Natal dalam berbagai bahasa.
Kevin Bathman, salah satu produsernya, mengatakan lagu-lagu tersebut direkam dan diproduksi pada bulan Juli hingga Oktober, saat Sydney sedang menjalani'lockdown'.
Selain ada lagu Natal dalam Bahasa Indonesia, ada juga bahasa Samoa, Tagalog, Fiji, Tamil, bahasa Jepang, Tongan, dan Mandarin.
"Menurut saya album ini memiliki pesan yang dalam dan juga membawa suasana kekeluargaan dan kampung halaman juga," ujar Kevin.
Peter mengaku sangat senang ketika ditawari untuk berpartisipasi dalam pembuatan album yang melibatkan musisi dari berbagai latar belakang budaya.
Ia membawakan lagu yang dinyanyikannya ketika kecil berjudul "Pada Tengah Malam Terdengar Pujian" dengan alunangamelan.
"Saya setuju berpartisipasi karena saya adalah migran. Saya tahu rasanya kesepian, dan merasa kalau saya tidak terwakili selama bertahun-tahun," katanya.
Hingga saat ini, album tersebut sudah terjual 800 CD yang sebagian keuntungannya akan disumbangkan ke program khusus perempuan yang dilakukan sebuah organisasi Aborigin, serta organisasi yang membantu penampungan pencari suaka dan pengungsi.
Sisa keuntunganakan digunakan untuk memproduksi album lain di tahun depan.
Awalnya, lagu-lagu dalam album tersebut akan ditampilkan secara langsung di Pitt Street Mall, pusat kota Sydney, tapi Kevin mengatakan acara tersebut terpaksa dibatalkan karena bertambahnya jumlah kasus COVID-19.
Selalu ingat suasana Natal di Filipina
Jinky tiba di Australia lewat program migran berketerampilan di tahun 1999.
Ia ingat saat merasa kesepian di tengah Natal dan pernah merayakan Natal di pub, bukannya di gereja.
Sudah puluhan tahun Jinky merayakan Natal di Australia, namun ia tak akan pernah lupa suasana perayaan di Filipina.
"Ibu saya suka sekali menghadiri misa, bahkan saat kami sudah sangat ngantuk, kami tetap datang," ujar Jinky yang berusia 47 tahun.
Dalam album tersebut, Jinky menyanyikan lagu berjudul "Anong Bata Ito?" yang berarti "Anak Apa Ini"?
Ia sendiri yang memilih lagu dan menerjemahkannya sendiri karena sangat merasakan maknanya.
Lagu tersebut menggambarkan kecemasan dan kebahagiaan yang dirasakan Bunda Maria saat mengetahui bahwa bayi yang dikandungnya akan menjadi "juru selamat", ujarnya.
"Serupa dengan saya, saya adalah ibu dari dua orang anak yang sempat kehilangan dua anak juga."
"Jadi saya tahu perasaannya, kegembiraannya, tapi di saat yang sama kecemasan karena saya melahirkan dua anak saya di usia yang sangat tua, 37 dan 44 tahun."
Tetap menjaga budaya Samoa
Kiarateulia Lattimore, yang akan melahirkan anak pertamanya tahun depan, menyadari pentingnya memahami banyak bahasa dan terhubung dengan kebudayaan asli.
Kiara punya darah keturunan Samoa dan dibesarkan di keluarga yang berbicara dalam bahasa Spanyol dan Yunani.
Keputusannya untuk membawakan lagu "Le Po Paia" dalam bahasa Samoa, atau "O Holy Night" mendorongnya untuk mendalami bahasa tersebut.
"Saya senang karena bisa mencoba dan menyempurnakan pengucapan beberapa kata, terutama yang berkaitan dengan nyanyian Natal," ujarnya.
"Banyak kata yang tidak biasanya digunakan sehari-hari."
Setiap Natal, Kiara sering mengunjungi rumah kakek dan neneknya di Samoa sebelum pindah ke Australia pertengahan tahun 2000.
Namun, kedekatan dengan tradisi Samoanya tetap dibawa ke Australia, termasuk saat menyajikan makanan yang menggunakan kentang bakar dan sup kacang.
"Kami selalu berkumpul untuk berdoa, dengan tujuan agar anak-anak yang tidak tumbuh dengan kebudayaan Samoa, tetap bisa berdoa dalam bahasa Samoa," katanya, yang juga seorang guru di Wollongong, New South Wales.
Natal di Australia lebih 'komersial'?
Peter mengatakan saat ia melihat hiasan Natal di jalanan pusat kota atau di mal, perayaan Natal di Australia memang "lebih meriah di Indonesia".
"Lebih banyak tukar kado dengan teman-teman, keluarga, dan lainnya," ujarnya.
Tapi, ia merasa hal ini malah "memudarkan" makna Natal, yang menurutnya adalah tentang kelahiran Yesus, meski ia juga tetap senang melihat Natal bisa dirayakan oleh semua orang.
Sementara Jinky merasa Natal di Australia "menjadi lebih komersial", sehingga menekankan pentingnya menjelaskan makna Natal yang sebenarnya kepada orang-orang di Australia.
Kiara, yang mengaku sangat taat menjalankan tradisi Adven sesuai kepercayaan Katoliknya, menghargai mereka yang merayakan Natal dengan cara berbeda.
"Jika mereka yang bukan Kristen merayakan Natal untuk berkumpul dengan keluarga, saya mendukungnya," ujarnya.
"Jadi, jikaNatal menjadi kesempatan untuk beristirahat dan kembali menjalin silaturahmi ... saya berharap kita semua menikmatinya."
"
Artikel ini diproduksi dari laporan dalam bahasa Inggris