Suara.com - Nigeria - negara paling padat di Afrika - dengan cakupan vaksinasi hanya sekitar 5% menghancurkan lebih dari satu juta dosis vaksin AstraZeneca karena mendekati masa akhir pemakaian.
Cakupan vaksinasi rata-rata negara-negara lain di Afrika, termasuk Afrika Selatan mencapai 24%.
Penghancuran vaksin ini dilakukan setelah pemerintah mengklaim sebagian dosis vaksin yang disumbangkan negara-negara Barat hanya memiliki masa berlaku beberapa minggu lagi setelah tiba.
Para pejabat kesehatan dan wartawan Rabu (22/12) lalu menyaksikan truk-truk yang mengangkut ribuan boks berisi botol vaksin yang dibuang di tempat pembuangan sampah di ibu kota Abju, dan dihancurkan dan dikubur dengan menggunakan buldoser.
Baca Juga: Enam Orang Ini akan Rumuskan Susunan Pengurus PBNU 2021-2026, Siapa Saja?
Vaksin ini tak bisa disalurkan tepat waktu, yang akhirnya membuat vaksin-vaksin tersebut kedaluwarsa pada bulan lalu.
Vaksin yang tak terpakai dan kedaluwarsa ini dibuat oleh AstraZeneca dan dikirim dari Eropa, kata beberapa sumber di Nigeria kepada Reuters.
Nigeria mendapatkan vaksin ini melalui skema berbagi vaksin COVAX, yang digalang oleh aliansi vaksin GAVI dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Baca juga:
- Bagaimana vaksin pertama diciptakan?
- Bisakah kita berharap pada vaksin Merah-Putih buatan Indonesia?
- Dosis ketiga vaksin Covid - efektif atau hanya buang-buang vaksin?
Sumber ketiga mengatakan saat diterima, batas akhir pemakaian vaksin ini antara empat hingga enam pekan.
Baca Juga: Kemenkes Akui Hoaks Vaksinasi Covid-19 Jadi Hoaks Kesehatan Terparah
Ia mengatakan, otoritas kesehatan Nigeria "sudah berusaha menyalurkan vaksin-vaksin ini, namun gagal mengejar batas akhir".
Data menunjukkan, Nigeria -- setelah sempat kesulitan mendapatkan vaksin - menerima 700 juta dosis vaksin AstraZeneca dari Inggris bulan Agustus, dan 800 juta dari Kanada pada September, dan 500 juta dosis dari Prancis bulan Oktober.
Pada saat yang hampir bersamaan, Nigeria menerima empat juta dosis vaksin Moderna dan 3,6 juta dosis vaksin Pfizer dari Amerika Serikat.
Dalam kondisi ideal, vaksin AstraZeneca bisa bertahan setidaknya enam bulan.
Namun, Kementerian Kesehatan Nigeria mengatakan saat diterima vaksin ini "mendekati batas akhir penggunaan, yang menyebabkan komplikasi distribusi di lapangan".
"Kami tak punya waktu banyak, hanya sekitar beberapa pekan untuk menggunakan vaksin-vaksin ini, setelah dipotong dengan lamanya pengangkutan, pengecekan, dan pengiriman ke para pengguna," kata Osagie Ehanire, menteri kesehatan Nigeria.
Ia mengatakan vaksin datang beruntun, yang bisa menyebabkan antrean distribusi menjadi semakin panjang.
Pemerintah mengatakan vaksin-vaksin yang kedaluwarsa akan dihancurkan dan "sekarang dengan berat hati menolak vaksin yang mendekai batas akhir penggunaan atau yang tak bisa diterima tepat waktu".
Baca juga:
- Vaksin Covid-19: Uni Eropa didesak terapkan 'paspor vaksin'
- Vaksin Covid-19 buatan Moderna diklaim hampir 95% efektif beri perlindungan
- Apakah keberhasilan vaksin China telah memudar di Asia?
Nigeria bukan satu-satunya negara di Afrika yang menghadapi masalah vaksin dengan batas akhir penggunaan yang pendek.
Malawi dan Sudan Selatan juga memiliki masalah serupa.
Negara lain, seperti Republik Demokratik Kongo, memutuskan mengembalikan stok vaksin yang terpakai agar bisa dipakai oleh negara-negara lain.
Juli lalu, WHO mengatakan sekitar 450.000 dosis vaksin kedaluwarsa di delapan negara Afrika sebelum vaksin-vaksin ini disuntikkan ke warga. Penyebabnya, vaksin diterima dalam kondisi mendekati batas akhir pemakaian.
Di Eropa, sejumlah negara kesulitan memaksimalkan pemakaian vaksin.
Pada Januari, para pejabat di Inggris mengatakan vaksin yang dibuang sekitar 10%. Pada April, menteri kesehatan Prancis kepada media mengatakan, sekitar 25% vaksin AstraZeneca, 20% vaksin Moderna, dan 7% vaksin Pfizer terbuang, menurut data yang dikumpulkan Reuters.
WHO dan organisasi Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit Afrika sudah menyerukan perubahan mekanisme pengiriman vaksin untuk mencegah pemborosan atau pembuangan vaksin.
Dalam pernyataan bersama, mereka mengatakan menetapkan rencana vaksinasi dengan batas akhir yang pendek membebani sistem kesehatan yang sudah kewalahan.
Mereka ingin semua sumbangan vaksin memiliki batas akhir pemakaian setidaknya 2,5 bulan saat tiba di negara penerima.
Mereka juga mendesak negara penerima diberi tahu akan ada sumbangan vaksin satu bulan sebelum vaksin-vaksin ini dikirim.
Di luar itu, mereka meminta pengiriman vaksin disertai pula dengan pasok penting lain, seperti jarum suntik.