Suara.com - Suara tangis bayi memecah keheningan pagi di kompleks Bea Cukai, Cilincing, Jakarta Utara. Rupanya bayi berumur satu bulan itu baru saja disuntik karena mengalami infeksi pada pusarnya sehingga menyebabkan demam.
Selain si bayi, tiga ibu muda yang tengah mengandung sedang menunggu giliran untuk diperiksa bidan Aminah. Mereka duduk di ruang tunggu sambil bergiliran ditimbang berat badannya.
Setiap pagi, posko kesehatan bidan Siti Aminah sudah ramai dikunjungi orang, yang kebanyakan hendak memeriksakan kehamilannya. Bidan Aminah tidak menyebut tempat praktiknya sebagai klinik. Dia lebih suka menyebutnya posko kesehatan.
Posko kesehatan bidan Aminah termasuk sederhana. Tidak ada peralatan medis berteknologi tinggi atau bahkan keluaran terbaru. Bidan Aminah hanya punya satu alat USG, itu pun hitam putih. Tapi, pasiennya terus berdatangan sepanjang hari.
Baca Juga: Said Aqil Sebut Masih Banyak Warga NU Hidup Miskin, Begini Respons Gus Yahya
"Berapa bu?" kata Sangidah menanyakan tarif usai memeriksakan bayi tetangganya yang dia bawa.
"Enggak usah," jawab bidan Aminah. "Besok datang lagi ya, itu nanahnya diperiksa lagi."
Begitulah cara bidan Aminah memberi pelayanan kesehatan kepada warga yang memang kebanyakan dari golongan masyarakat kurang mampu. Kata bidan Aminah, mereka merupakan warga dari perkampungan padat penduduk di sekitar posko kesehatannya. Bidan Aminah hafal betul bagaimana kondisi perekonomian mereka.
Baca juga:
- 'Meski sudah bukaan delapan harus tunggu hasil tes Covid-19' dan 'mau periksa disuruh pulang' : Tantangan kehamilan saat pandemi
- 'Saya kehilangan ibu akibat virus corona pada Hari Ibu'
- Mungkinkah ibu hamil dan menyusui mendapatkan vaksin Covid-19?
Sangidah, warga gang Poskota, Cilincing, Jakarta Utara mengaku mengenal bidan Aminah sejak 2005 lalu. Kala itu Sangidah menerima suntik KB dari bidan Aminah. Beberapa tahun belakangan, perempuan yang kini sudah menjanda itu membawa anak kerabat dan tetangganya untuk berobat di posko kesehatan Aminah.
Baca Juga: Penduduk Miskin RI 10,4 Juta Jiwa, 1,3 Juta di Antaranya Tinggal di Pesisir
"Suntik KB juga saya pernah di sini. Dulu cuma 8.000. Lebih murah, terus juga orangnya baik."
Bidan Aminah tidak hanya melayani ibu hamil atau anak-anak yang sakit. Ketika BBC Indonesia berkunjung ke posko kesehatannya pada awal Desember lalu, ada seorang pasien bernama Tarmi yang sudah dirawat inap selama satu bulan.
"Waktu datang ke sini lidah saya kayak kejang, tensinya naik. Jadi buat jalan aja kayak orang mau jatuh gitu, pusing. Di sini diobatin. Enggak tambah keluar uang. Tiap hari juga makannya terjamin. Alhamdulillah ditolong sama ibu Aminah," kata Tarmi.
Tarmi adalah warga Warakas, Jakarta Utara, seorang janda yang memiliki satu anak yang masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Sudah dua tahun tubuh sebelah kiri Tarmi tidak bisa digerakkan. Bidan Aminah mengatakan Tarmi menderita stroke. Untungnya ada seorang ustaz yang membawanya ke posko kesehatan bidan Aminah.
Demi alasan kemanusiaan, bidan Aminah mau tidak mau merawat Tarmi. Siti Aminah memang memiliki latar belakang bidan, tapi pendidikan keperawatan dan kesehatan masyarakat, serta pengalamannya di perawatan umum komando angkatan darat dan pengetahuannya di bidang pengobatan herbal, membuat dia berani merawat Tarmi.
"Terpaksa. Secara kemanusiaan dia sudah stroke, dia enggak ada keluarga, anaknya juga yatim, siapa yang nolong? Saya berbuat karena lillahi ta'ala, saya sudah pengalaman."
Sekarang, Tarmi sudah sembuh dan sudah pulang ke rumahnya.
Subsidi silang dan rejeki dari membantu orang
Pelayanan kesehatan yang dilakukan bidan Aminah membuat banyak orang bertanya-tanya, dari mana dia mendapatkan uang untuk membeli keperluan posko kesehatannya, seperti obat-obatan? Ternyata tidak semua orang yang datang ke bidan Aminah tergolong warga tidak mampu.
Tidak jarang juga pasien yang mampu membayar pengobatan atau pemeriksaan yang dilakukan bidan Aminah. Mereka telanjur nyaman dengan pelayanan bidan Aminah dan dia pun tidak mematok tarif yang terlalu tinggi.
"Lahiran normal ya Rp500.000, kalau pakai infus ya beda harganya," ujar bidan Aminah. Dari uang itulah bidan Aminah membeli stok obat-obatan dan perlengkapan lain untuk posko kesehatannya.
Namun, kenyataan tidak selalu semulus itu. Ada kalanya bidan Aminah tidak punya uang untuk operasional posko kesehatannya.
"Iya pernah, sampai sedih. Eh, enggak lama orang bayar utang yang sudah lama. Jadi, membantu orang jangan takut miskin."
Dulu, sebelum membuka posko kesehatan, bidan Aminah selalu berkeliling ke kawasan-kawasan kumuh di Ibu Kota menggunakan mobil ambulans miliknya, mulai dari ujung timur, utara, hingga ke ujung barat.
Bersama ambulans kesayangannya itu, dia membantu orang-orang yang dia temui. Dari situlah dia mendapat julukan bidan kaum pinggiran.
"Saya tuh suka nolong-nolong orang. (Waktu itu) Di bantaran kali sana ada bayi mati dijejeli pisang. Di kolong jembatan, ada pasien meninggal," kata bidan Aminah menceritakan pengalamannya lebih dari 10 tahun lalu.
Dari temuan-temuannya di lapangan itu, bidan Aminah tergerak hatinya untuk memberikan edukasi kepada warga agar mereka bisa hidup lebih sehat lagi.
Dibantu tokoh sekitar yang sukarela meminjamkan lahan kosong untuknya, bidan Aminah akhirnya bisa memberikan pengobatan massal buat warga bantaran kali kala itu. Dia mengajak warga melakukan senam dan memberikan edukasi soal pemberian air susu ibu (ASI) untuk bayi.
Kepedulian bidan Aminah terhadap lingkungan sekitarnya didapat dari orang tuanya. Dulu, kata dia, orang tuanya yang juga berprofesi sebagai bidan, kerap melakukan hal yang sama. Bidan Aminah selalu ingat pesan orang tuanya, "Harus peduli dengan orang lain."
Kini, setelah 24 tahun menjadi bidan kaum pinggiran di Ibu Kota, bidan Aminah ternyata masih menyimpan cita-cita lain, yaitu membangun rumah sehat.
Tak berbeda dengan posko kesehatannya yang sudah ada saat ini, di rumah sehatnya kelak, bidan Aminah tetap akan melayani orang-orang yang kurang mampu.
Syaratnya, mereka hanya tinggal membawa surat keterangan miskin dari RT maupun RW setempat. Bagi warga yang mampu membayar, mereka hanya tinggal membayar biaya administrasi.
"Enggak usah bertele-tele. Masa orang pendarahan ditanya uang dulu. Enggak mungkin, keburu mati," ujar bidan Aminah.
Tidak punya BPJS Kesehatan
Bidan Aminah mengatakan kebanyakan pasien yang datang ke poskonya tidak memiliki BPJS Kesehatan. Jangankan BPJS Kesehatan, keluarga saja mereka tidak punya, kata bidan Aminah.
Belum lama ini bidan Aminah juga menolong ibu hamil yang ditolak di beberapa rumah sakit. Meski tidak tahu persis alasan penolakan rumah sakit-rumah sakit itu, dia tetap membantu persalinan ibu hamil itu.
"Pembukaan sudah delapan sentimeter, ketuban sudah tidak ada. Mau diapain? Sebagai bidan harus melakukan sumpah jabatan, sumpah medis," kata bidan Aminah.
Pada Oktober, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) mengungkap sekitar 10,8 juta penduduk dengan tingkat kemiskinan ekstrem belum mendapatkan akses program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan. Pemerintah berjanji akan menyelesaikan masalah ini paling tidak pada 2024.
Dalam sistem JKN, fakir miskin dan orang tidak mampu tergolong sebagai penerima bantuan iuran, yang dibantu oleh pemerintah.
Pakar kesehatan masyarakat Hermawan Saputra mengatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi hal ini, termasuk soal pendataan dan pemahaman masyarakat. Di sinilah peran pemerintah daerah sampai ke level RT RW diperlukan.
"Banyak sekali kejadian tuh begini, masyarakat sudah tidak mampu memang, tapi tidak dapat informasi yang memadai untuk mengikuti prosedur jaminan kesehatan ini. Mereka tidak tahu cara daftarnya, atau bahkan mereka tidak punya KTP, sehingga juga tidak bisa diurus kartu KIS-nya misalnya dan itu tentu saja wilayah pemerintah desa," kata Hermawan.
Namun, memiliki KTP saja ternyata tidak cukup. Humas BPJS Kesehatan, Iqbal Anas Ma'ruf, menambahkan jika warga miskin tidak masuk ke dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), mereka tetap tidak tercatat sebagai penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan. Kata dia, pendataan ini merupakan ranah Kementerian Sosial.
"Kalau dia miskin, punya NIK, tapi enggak masuk ke DTKS kan tetap saja enggak bisa masuk. Kan masalahnya bukan NIK, masalahnya belum ter-update di data terpadu Kementerian Sosial.
Saat ini Kementerian Sosial melakukan pemutakhiran data PBI jaminan kesehatan sebulan sekali, setelah sebelumnya sempat dilakukan enam bulan sekali. Data Kemensos per September mencatat ada lebih dari 12 juta warga miskin yang tidak masuk DTKS.