Pengalaman Pastor dan Pendeta Asal Indonesia Melayani Gereja di Australia

SiswantoABC Suara.Com
Jum'at, 24 Desember 2021 | 11:08 WIB
Pengalaman Pastor dan Pendeta Asal Indonesia Melayani Gereja di Australia
Ilustrasi gereja. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Australia kekurangan pastor dan pendeta sudah lama menjadi pembahasan di kalangan umat Kristen, hingga mereka harus mendatangkan pemimpin umat dari negara lain, termasuk Indonesia.

Salah satunya adalah Pastor Firminus Wiryono SVD asal Nusa Tenggara Timur, yang saat ini bertugas melayani umat Katolik di Emerald, sebuah kota yang terletak sekitar 832 kilometer dari Brisbane, ibu kota negara bagian Queensland.

Pastor Yon, nama panggilannya, ditahbiskan menjadi imam di Maumere, Flores pada tahun 2016, kemudian menjadi pastor paroki di Melbourne.

"Saya sudah hampir dua tahun di Queensland dan sekarang melayani empat paroki untuk delapan komunitas di kota-kota kecil di dalam wilayah Emerald," ujar Pastor Yon kepada Sastra Wijaya dari ABC Indonesia.

Baca Juga: Polisi Jaga 135 Gereja di Jakarta Barat Saat Ibadah Natal

Wilayah Emerald hanya memiliki dua pastor, yakni Pastor Yon dan seorang lagi asal Vietnam.

Padahal sebelumnya ada lima hingga enam orang pastor yang melayani umat di wilayah ini.

Wilayah ini berada di bawah naungan keuskupan Rockhampton, yang sebelumnya memiliki 60 sampai 70 orang, namun Pastor Yon mengatakan pastor yang aktif hanya tinggal 17 orang.

Pastor Yon menceritakan pastor Katolik di Australia sebelumnya berketurunan Eropa, seperti Irlandia, Belanda, atau Inggris. Tapi saat ini kebanyakan berasal dari negara di luar benua Eropa, seperti Indonesia, India, Vietnam, dan Nigeria.

Ia mengatakan salah satu penyebab berkurangnya minat warga setempat untuk menjadi imam adalah menurunnya jumlah jemaat yang datang ke gereja secara rutin, seperti yang terjadi juga di negara lain.

Baca Juga: Ribuan Polisi Dikerahkan Buat Jaga 114 Gereja di Jaksel Saat Natal

"Kondisi Australia yang semakin sekuler, jadi kita lihat yang aktif ke gereja mereka yang sudah lanjut usia," jelasnya.

"Generasi di bawah mereka dulunya pernah dibaptis, tapi mereka tidak menjalankan kehidupan sebagai warga Katolik," jelas Pastor Yon.

Tak hanya itu, skandal pelecehan seksual di gereja Katolik, termasuk di Australia, semakin menyulitkan situasi, menurut Pastor Yon.

Tapi ia masih optimis dengan masa depan gereja di Australia.

"Tergantung bagaimana kita sekarang melakukan penyebaran kembali ajaran Kristen ke anak-anak muda, ke sekolah-sekolah Katolik."

Mulai tahun depan ia akan pindah dari Emerald untuk lebih banyak terlibat dalam pembinaan imam di kalangan anak muda Katolik.

Perbedaan melayani di Indonesia dan Australia

Pastor Aloysius Lamere MSC, akrab dipanggil Pastor Alo, sudah hampir 11 tahun bertugas melayani umat Katolik di Sydney dan Melbourne.

Sudah hampir 30 tahun Pastor Alo yang berasal dari Maluku ini mengabdi menjadi imam, dengan pengalaman bertugas di Karanganyar (Jawa Tengah), Jakarta, Kiribati hingga Fiji.

Sejak bulan Februari lalu, Pastor Alo melayani umat di Paroki St Thomas di Blackburn, Melbourne.

"Karena saya sudah terbiasa melayani dan belajar dari pastor lain di Australia, ketika saya pulang ke Indonesia, cara saya melayani sangat berbeda dengan pastor lain di Indonesia," katanya.

Menurut Pastor Alo, banyak umat gereja di Indonesia memandang imam sebagai tokoh yang pendapatnya harus didengar sepenuhnya.

"Di negara berkembang, pastor itu orang yang harus ditinggikan, harus dipatuhi, sementara di negara seperti Australia, pastor itu dianggap sebagai salah satu anggota masyarakat saja."

"Imam di sini tidak punya posisi yang lebih tinggi dibandingkan yang lain."

Dari pengalamannya, kebanyakan umat Katolik di Australia tidak terlalu menuntut pastor untuk bisa lebih dari mereka, meski membutuhkan pastor.

Tak hanya itu, ada pula perbedaan dengan materi khotbah.

"Di Indonesia kalau kita berkotbah, umat mengharapkan pastornya memberikan jalan, atau petunjuk mengenai kehidupan."

"Sementara di sini kita hanya memberikan pendapat kita saja."

Gereja dengan jemaat beragam budaya

Pendeta Ignatius Bagoes Seta asal Surabaya, Jawa Timur, sudah menjadi pendeta Gereja Presbiterian di kawasan Heidelberg, Melbourne sejak tahun 2017.

Ia menceritakan keberagaman etnis jemaatnya, ada yang berasal dari Eropa juga Asia, seperti India dan China.

"Kami tidak pernah membagi jemaat menjadi kebaktian sendiri, melainkan semua duduk di satu kebaktian."

"Dengan demikian kami melihat identitas kami sebagai gereja multi-etnis," katanya kepada ABC Indonesia.

Tapi ia mengatakan gereja Protestan, seperti Presbiterian tidak mengalami kekurangan pendeta.

"Masih banyak pendeta lokal dan calon pendeta lokal yang menjalani pendidikan, dan dipersiapkan untuk pelayanan."

"Fenomena pendeta atau pastor dari negara Asia yang melayani di sinode kami murni karena panggilan dan bukan karena kurangnya tenaga lokal," katanya.

Pendeta Bagoes Seta sebelumnya pernah bertugas selama delapan tahun di Indonesia sejak menjadi pendeta di tahun 2002.

"Perbedaan utama adalah pendekatan kepada jemaat," ujarnya.

"Kita bisa menyampaikan hal yang sama, yakni berita Injil Kristus, tetapi dalam cara penyampaian dan penguraian itu yang perlu berbeda, contoh utama adalah ilustrasi yang diberikan."

Ia juga mengatakan banyak pengkhotbah dari luar Australia yang memandang "enteng" masalah ini, misalnya menerjemahkan humor dari negara asal tapi kemudian mendapatkan reaksi yang berbeda.

Memenuhi panggilan spiritual

Ferdinand Haratua yang lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara, pernah bekerja di bidang pemasaran iklan, sebelum memutuskan melanjutkan pendidikan di Australia.

Ia meninggalkan pekerjaannya untuk belajar teologi kemudian di tahun 2018 mendirikan gereja bernama Rock City di kawasan Nunawading, sekitar 25 kilometer dari pusat kota Melbourne.

Gerejanya adalah bagian dari Gereja Baptis Australia dengan jumlah jemaat 30-50 orang yang berlatar belakang etnis berbeda.

"Ada orang Australia kulit putih, ada juga dari Indonesia, Vietnam, Malaysia. Mereka multi-etnis, sama seperti masyarakat Australia saat ini," katanya.

Ferdinand mengaku merasa terpanggil untuk menjadi pelayan gereja setelah mengamati adanya kebutuhan spiritual dari warga di Australia.

"Dari pengalaman saya sendiri ada teman kerja yang bunuh diri, banyak orang yang mengalami kecemasan, depresi dalam hidup mereka, padahal dari sisi materi mereka tidak kekurangan, rumah besar, mobil ada, karier bagus," katanya.

Ia mengaku tidak keberatan jika penghasilannya saat ini hanya seperempat dari apa yang diperolehnya ketika bekerja di bidang pemasaran dan periklanan.

"Tapi saya merasa puas dengan apa yang saya lakukan sekarang bisa menjadi bagian Tuhan untuk membantu yang lain," kata Ferdinand.

"Jadi pendeta juga banyak tantangan, karena hidup itu tidak pernah berhenti," tambahnya.

Ia mengatakan berbeda dengan saat masih bekerja kantoran yang bisa pulang ke rumah dan berhenti berpikir soal pekerjaan.

Menurutnya hidup jemaat menghadapi berbagai masalah dan saat itulah ia harus memainkan perannya.

REKOMENDASI

TERKINI