Suara.com - Sejumlah warga mengaku telah mendapatkan vaksin dosis ketiga atau booster dengan berbagai cara, walaupun sejatinya sejak Juli sampai saat ini baru tenaga kesehatan yang berhak mendapatkannya.
Mereka menjelaskan cara yang mereka lalui seperti mendapat akses dari pejabat daerah, akses dari rumah sakit, hingga kantor yang mengubah status mereka menjadi tenaga kesehatan.
Kebocoran itu, menurut organisasi pemantau, LaporCovid-19, disebabkan oleh tata kelola distribusi vaksin yang tidak transparan dan tidak akuntabel.
Sepanjang Agustus 2021, LaporCovid-19 setidaknya menerima 18 laporan kebocoran vaksin booster. Namun belum ada data, berapa sejauh ini yang telah mendapatkan booster walaupun belum berhak.
Baca Juga: Studi Oxford: Vaksin Booster AstraZeneca Ampuh Lawan Varian Omicron
Baca juga:
- Covid-19: Siapa yang menerima vaksin booster di Indonesia?
- Sanksi pelanggar aplikasi Pedulilindungi: 'negara ini senang sekali menghukum warganya'
- 'Saya menjalani karantina di rumah, mengapa dibilang menghindar?'
Terkait adanya dugaan kebocoran dosis ketiga, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menegaskan itu dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang sulit dimonitor.
Kemenkes juga telah meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit distribusi vaksin.
Pemerintah baru memulai untuk melaksanakan program booster selain untuk nakes, pada Januari 2022 mendatang, dengan prioritas lanjut usia.
Epidemiolog menilai pemberian vaksin booster menunjukkan ketidakadilan ketika masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan vaksin sama sekali, atau vaksin lengkap.
Baca Juga: Ada Masyarakat Curi Start Dapat Booster Vaksin Covid-19, Begini Respon Satgas
Hingga saat ini dari target nasional 208 juta, vaksinasi dosis pertama mencapai 74,18%, dan dosis kedua sebesar 52,46%.
BBC News Indonesia mewawancarai sejumlah orang yang mendapat vaksin booster, dan semua identitas mereka dirahasiakan.
Jawa Barat: Diubah jadi nakes, kenalan bupati hingga rumah sakit
Saiful, 41 tahun, bekerja sebagai pegawai swasta di Jawa Barat. Ia mendapatkan vaksin pertama dan kedua jenis Sinovac pada Maret tahun ini.
Pada Agustus lalu, Saiful bersama sekitar 70 rekan kerjanya mendapat vaksin booster jenis Moderna. Ia menjelaskan, vaksin tersebut diurus oleh tempat kerjanya.
"Pihak SDM membuat pakta integritas lalu dikasih ke pemberi vaksin. Saya tidak tahu apa isinya, yang buat SDM, lalu kami dipanggil dan mendapat booster Moderna," kata Saiful kepada wartawan BBC News Indonesia, Raja Eben Lumbanrau, Kamis (23/12).
Saiful mengatakan, vaksin booster yang ia terima tidak terdaftar di pedulilindungi.id, aplikasi yang dikembangkan untuk membantu pemerintah terkait dalam melakukan pelacakan untuk menghentikan penyebaran Covid-19.
5 pertanyaan tentang Omicron:
- Apa itu Omicron?
- Dari mana Omicron berasal?
- Seperti apa gejala terinfeksi varian Omicron?
- Dapatkan booster vaksin mengatasi Omicron?
- Apa yang bisa kita pelajari dari Afrika Selatan?
Masih di Jawa Barat, Mawar, seorang ibu rumah tangga berusia 64 tahun, juga menerima vaksin booster jenis Pfizer atas bantuan dari temannya yang merupakan pemilik rumah sakit.
"Di sana mengadakan booster untuk nakesnya. Saya ditawari karena ada kelebihan vaksin. Saya dimasukkan dalam kategori nakes," kata Mawar yang menerima booster sekitar bulan November lalu.
"Saya ikut booster karena ini peluang langka dan besar, kapan lagi? Saya juga harus menjaga diri, jadi alangkah baiknya saya ambil," ujarnya yang mendapat vaksin pertama dan kedua Sinovac sejak Maret lalu.
Saat vaksin, Mawar melihat ada belasan orang yang mendapatkan vaksin booster. Ia pun mengaku, vaksin ketiganya tidak terdaftar di aplikasi pedulilindungi.id.
Mawar mengatakan, langkah itu diambil karena pemerintah terlalu lambat untuk memberikan vaksin booster kepada kelompok lansia, terlebih lagi munculnya ancaman varian baru Covid-19 dan rendahnya efikasi vaksin Sinovac sekitar 65,3%.
"Saya tahu itu salah, tapi di sisi lain, saya butuh demi keselamatan saya," katanya.
Sementara itu, Yogi, berusia sekitar 30 tahunan, warga Jawa Barat memiliki pengalaman lain dalam mendapatkan vaksin booster.
"Saat itu, ada acara dengan salah satu bupati di Jawa barat. Kemudian, beliau menawarkan kepada kerabat saya karena merupakan orang dekat. Lalu saudara saya menawarkan ke saya. Kurang lebih 2-3 hari kemudian kami datang rumahnya (untuk divaksin di rumah)," kata Yogi yang mendapatkan vaksin booster Moderna.
Yogi menjelaskan, alasannya menerima vaksin booster karena ia bekerja di perusahaan yang mewajibkan karyawan bekerja di kantor sepanjang hari.
"Saya ketakutan dalam diri ketika tidak mendapatkan vaksin terbaik," katanya.
Sumatera Barat dan Sumatera Utara: Bantuan dari para pejabat daerah
Di Sumatera Barat, Citra, 43 tahun, mendapatkan vaksin ketiga November lalu dengan alasan tuntutan pekerjaan yang berisiko tertular Covid-19, walaupun ia bukan nakes.
"Vaksin sebelumnya pada Februari, Sinovac pula, sudah sembilan bulan, lama. Saya kerja kontak dengan banyak orang, berisiko pula, apa bedanya sama nakes? Sama kok," kata Citra kepada kepada wartawan di Padang, Halbert Chaniago, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Baca juga:
- Vaksin Covid-19 'dijual ilegal' ke masyarakat di Sumut, bagaimana pengawasan stok vaksin?
- Dua menteri diduga terlibat konflik kepentingan bisnis PCR, Jokowi diminta bertindak
- Selebgram lolos karantina dengan bayar Rp40 juta, epidemiolog ingatkan bahaya ketika varian Delta menyebar
Citra memutuskan menerima vaksin booster karena rencana pemerintah memberikan vaksin tahun depan terlalu lambat.
Citra menjelaskan, ia mendapatkan akses vaksin booster dari akses pejabat di Sumatera Barat. Prosesnya, ujarnya, sama dengan saat vaksin pertama dan kedua.
"Saya diminta menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan melakukan screening seperti biasa," katanya.
Menurutnya, setelah melakukan vaksinasi itu, dirinya tidak menerima pesan singkat seperti saat vaksinasi sebelumnya.
"Untuk bukti mendapatkan vaksinasi booster memang belum, karena programnya kan belum diberlakukan. Saya menerima bukti melakukan vaksinasi boosternya nanti pada Januari 2022 saat programnya sudah dimulai," katanya.
Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Barat, Arry Yuswandi mengatakan tidak mendapatkan informasi tentang adanya masyarakat umum yang telah mendapat vaksin booster.
"Kalau ada yang mendapatkan vaksin ketiga, berarti itu ada yang salah memberikan vaksin. Karena programnya kan belum dimulai," katanya.
Arry mengatakan, kejadian itu muncul mungkin disebabkan karena banyaknya orang yang melakukan vaksinasi dan tidak terpantau oleh vaksinator.
"Saya banyak diminta oleh pejabat di Sumatera Barat seperti anggota DPRD untuk melakukan vaksinasi booster, karena belum bisa, tidak saya berikan. Programnya kan belum ada, jadi kami meminta masyarakat untuk bersabar. Karena masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan vaksinasi pertama dan kedua," katanya.
Perkembangan vaksinasi di Sumatera Barat, Rabu (22/12), dengan total sasaran sekitar 4,4 juta orang adalah, vaksinasi dosis pertama sebesar 2,7 juta (63,23%), vaksinasi dosis kedua yaitu 1,6 juta (38,19%), dan vaksinasi dosis ketiga sebesar 26.161 orang (0,59%) untuk tenaga kesehatan.
Di Sumatera Utara, Andi, 52 tahun, mengaku menerima vaksin booster Moderna pada Agustus lalu.
Andi mengaku mendapat tawaran vaksin booster dari seorang kepala daerah yang saat itu sedang melangsungkan vaksinasi untuk kalangan nakes.
"Kemudian kepala daerah itu menawari saya, dan saya ikut vaksin ketiga," kata Andi kepada wartawan di Medan, Fahri BB, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Kepala Dinas Kesehatan Pemprov Sumatra Utara, Ismail Lubis, enggan memberi komentar mengenai adanya warga yang telah memeroleh booster vaksin tanpa mengikuti aturan yang berlaku. "Bentar ya, lagi ini bentar," kata Ismail.
Sebelumnya, beredar pembicaraan Presiden Joko Widodo dengan sejumlah pejabat dalam rekaman video kunjungan ke Kalimantan Timur, Selasa (24/08). Dalam rekaman itu, sejumlah pejabat mengaku telah mendapatkan suntikan dosis ketiga.
Baru-baru ini, dilansir dari Kompas.com, pejabat utama dan perwira menengah, serta keluarga di Kodam XVI Pattimura mulai menerima vaksin booster.
Mengapa kebocoran vaksin booster terjadi?
Kepala Advokasi LaporCovid-19, Agus Sarwono, mengatakan, kemunculan penyelewengan penggunaan vaksin booster disebabkan tata kelola distribusi vaksin yang buruk, yaitu tidak transparan dan tidak akuntabel.
"Kami menemukan, bahkan vaksin booster ada yang diperjualbelikan di beberapa tempat, padahal vaksin adalah barang publik dan dibeli dengan APBN.
"Seharusnya pemerintah memprioritaskan kepada distribusi vaksin merata dan fasilitas kesehatan menyadari pentingnya vaksin," kata Agus.
Untuk itu, Agus mendesak pemerintah untuk membuka data persediaan dan distribusi vaksin yang dimiliki.
"Supaya data tentang vaksin terbuka secara detail, jenis apa, tersalur kemana saja, kapan kadaluarsanya. Sehingga di bawah, mereka hati-hati menggunakan vaksin dan tidak melakukan tindakan kecurangan," kata Agus.
Sepanjang Agustus 2021, LaporCovid-19 menerima 18 laporan kebocoran vaksin booster yang diberikan kepada masyarakat umum. Jumlah itu diprediksi lebih banyak karena tidak adanya sistem pengawasan yang transparan terkait penggunaan vaksin.
Pemerintah pusat: Itu dilakukan oleh oknum
Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmidzi, mengatakan dugaan penyelewengan itu dilakukan oleh oknum yang sulit dimonitor.
"Seperti korupsi, kalau ada peluang dan menawarkan, ada kedua belah pihak, jadi oknum-oknum itu yang sulit dimonitor, dikendalikan. Yang penting kami berharap bahwa dinkes provinsi, kabupaten dan kota melakukan pengawasan dan diharapkan jangan sampai terjadi hal tidak sesuai aturan," kata Nadia.
Kementerian Kesehatan juga telah meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit distribusi vaksin. Nadia menjelaskan, hingga saat ini audit masih berproses.
"Kalau kami mendapatkan selisih dari jumlah orang yang seharusnya divaksin dibandingkan dengan stok vaksin, dan ditambah perkiraan dosis sisa terbuang, maka kami tentunya bisa mengklarifikasi, bertanya kepada dinkes provinsi terkait selisih dosis vaksin yang tidak seharusnya itu," katanya.
Nadia berharap agar masyarakat tidak melakukan vaksinasi dosis ketiga karena tujuan utama saat ini adalah agar semua orang mendapatkan vaksin, di tengah jumlahnya yang terbatas.
"Kalau sebagian saja belum divaksin maka ada celah virus masuk ke tubuh dan berkembang, bereplikasi hingga bermutasi. Jika semakin tinggi ketimpangan vaksinasi maka pandemi ini menjadi memanjang dan kemudian tidak bisa diselesaikan dalam waktu cepat," kata Nadia.
Berdasarkan data hingga Kamis, 23 Desember 2021, 75 per 100 penduduk sasaran vaksinasi sudah mendapatkan satu dosis.
Data vaksinasi Covid-19 di Indonesia mencapai 154,4 juta (74,18%) untuk vaksinasi dosis pertama, lalu 107,1 juta (52,46%) untuk vaksinasi dosis kedua, dan 1,2 juta untuk vaksinasi dosis ketiga dengan target sasaran vaksinasi nasional sekitar 208 juta.
- Bisakah kita berharap pada vaksin Merah-Putih buatan Indonesia?
- Apakah keberhasilan vaksin China telah memudar di Asia?
- WHO serukan penangguhan vaksin booster di negara maju agar negara seperti Indonesia tambah pasokan
Kemenkes menegaskan vaksin booster hingga saat ini hanya diberikan kepada tenaga kesehatan maupun tenaga pendukung kesehatan yang telah mendapatkan dosis pertama dan kedua vaksin Covid-19, diperkirakan jumlahnya ada sekitar 1,5 juta orang.
Aturan itu tercantum dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Nomor: HK.02.01/1/1919/2021 tentang Vaksinasi Dosis Ketiga Bagi Seluruh Tenaga Kesehatan, Asisten Tenaga Kesehatan dan Tenaga Penunjang yang Bekerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Pemerintah baru akan melaksanakan program booster selain untuk nakes, pada Januari 2022 mendatang, dengan prioritas lanjut usia.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, menambahkan jenis vaksin booster akan ada dua, yaitu yang dibiayai oleh negara untuk lansia dan non-lansia yang masuk kategori penerima bantuan iuran oleh BPJS Kesehatan, dan vaksin booster berbayar atau program mandiri.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko menilai, pemberian vaksin booster menunjukkan ketidakadilan ketika masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan vaksin sama sekali, atau vaksin lengkap.
"Vaksin booster itu bisa diberikan jika vaksinasi kedua telah selesai atau mencapai 70-80%," kata Yunis.