Suara.com - Laut Indonesia menyimpan banyak sumber daya alam yang berpotensi menjadi sumber obat. Baru-baru ini, seorang peneliti mulai mengeksplorasi invertebrata laut untuk menemukan penawar kanker payudara.
Peni Ahmadi, ilmuwan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mencari senyawa bioaktif dari invertebrata laut di Indonesia yang dapat dimanfaatkan untuk menciptakan pengobatan yang lebih aman dan memberi lebih sedikit efek samping.
Proposal penelitiannya, 'Potent Drug-lead from Indonesian Marine Invertebrates to Suppress Breast Cancer', mendapatkan penghargaan L'Oreal-UNESCO for Women in Science 2021.
Penghargaan berupa beasiswa penelitian itu diberikan kepada ilmuwan perempuan muda berprestasi di bidang sains hayati dan non-hayati. Tahun ini, Peni menjadi salah satu dari empat peneliti perempuan Indonesia yang meraih penghargaan tersebut.
Baca Juga: Tanda-Tanda Kanker Payudara, Yuk Rajin Cek Mulai Sekarang
Ilmuwan berusia 33 tahun itu meneliti produk alami laut sejak kuliah, dan memilih terapi kanker sebagai topik studi pasca doktoralnya. Pada penelitian terbaru ini, ia mulai berfokus pada kanker payudara.
Kepada BBC News Indonesia, Peni mengatakan ia terdorong melakukannya setelah menyaksikan orang-orang terdekatnya menderita kanker payudara. Beberapa di antara mereka mengalami kondisi yang begitu parah, hingga payudaranya berdarah dan bahkan harus diangkat.
"Kita sesama perempuan merasa… Kalau bisa aku ingin mengurangi rasa sakit dia. Maksudnya, ingin mencari obat yang bisa meringankan dan membantu menyembuhkan," katanya dengan haru.
Dalam penelitian ini, Peni menyelam di beberapa lokasi di Indonesia untuk mengambil sampel berbagai jenis invertebrata laut. Namun, ia mengatakan, potensi terbesar kemungkinan ada pada spons laut (marine sponge).
'Spongebob' untuk penawar kanker
Terkenal dengan penggambarannya sebagai karakter dalam sebuah serial kartun, spons adalah organisme dari filum Porifera yang hidup di bawah laut. Organisme ini - sesuai namanya - punya tubuh berpori dan mendapatkan nutrisi dan mineral dengan cara menyaring air laut.
Baca Juga: Manfaat Daun Kelor atau Moringa Leaf, Baik untuk Penderita Diabetes hingga Kanker
Karena tidak bisa bergerak dan mempertahankan diri secara fisik, spons mengeluarkan senyawa bioaktif - yaitu, senyawa yang berdampak pada sel atau jaringan organisme hidup - untuk mengusir predator.
"Senyawa-senyawa itu mempunyai aktivitas sebagai anti kanker atau anti-anti yang lainnya," kata Peni kepada BBC News Indonesia.
Senyawa tersebut merupakan produk sampingan dari metabolisme, sehingga disebut metabolit sekunder. Jenis metabolit sekunder yang dihasilkan spons laut akan dipengaruhi oleh lingkungan tempat hidupnya, imbuh Peni.
"Misalnya di laut dalam, ia akan menghasilkan senyawa metabolit sekunder untuk bertahan hidup di daerah tersebut. Jadi dengan beradaptasi, spons akan menghasilkan senyawa metabolit sekunder."
Peni telah mengidentifikasi beberapa senyawa potensial, yang sebagian besar merupakan golongan flavanoid, terpenoid, dan alkaloid.
Ia berharap dapat menemukan senyawa yang dapat menjadi bahan alternatif untuk obat. Bahan itu kemudian akan dikombinasikan dengan sistem pengantaran obat yang sudah ia rancang bersama rekan-rekan peneliti di RIKEN Institute Jepang. Melalui kombinasi tersebut, ia ingin mengembangkan pengobatan kanker yang disebut terapi target (targeted therapy).
Kanker disebabkan oleh sel yang membelah secara liar dan menyebar ke jaringan sekitarnya. Dewasa ini, kebanyakan pasien kanker menjalani kemoterapi untuk menghentikan pembelahan sel tersebut dan membunuhnya.
Namun, obat kemoterapi biasanya ikut menyasar sel sehat sehingga menimbulkan efek samping.
Sedangkan terapi target dapat menyasar sel-sel kanker saja. Jenis terapi ini sudah tersedia saat ini, namun biayanya sangat mahal.
"Kenapa kita memanfaatkan yang alam, pertama kita ingin mencari alternatif baru obat baru yang memang aktif tapi tidak berbahaya, kita akan mendesain itu. Dan yang kedua, kita kombinasikan dengan (sistem) kita karena kita ingin mengurangi efek samping yang berbahaya," Peni menjelaskan.
Potensi sumber daya laut
Dengan penelitian ini, Peni juga ingin menggali potensi sumber daya alam laut Indonesia. Sebagai salah satu negara dengan perairan terluas dan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, Indonesia adalah lahan 'basah' (secara literal maupun figuratif) untuk penemuan senyawa baru.
Sejauh ini ada sekitar 850 spesies spons laut yang sudah diidentifikasi dari Indonesia. Sebuah studi telaah yang diterbitkan baru-baru ini menemukan, berdasarkan publikasi ilmiah antara tahun 1995-2016, ada 430 senyawa dengan potensi aktivitas farmakologis - seperti antimikroba, antikanker, antivirus, dsb. - berasal dari spons laut. Lebih dari setengahnya merupakan senyawa baru.
Menurut studi tersebut, sebagian besar senyawa dari spons laut yang memiliki potensi antikanker berasal dari golongan alkaloid (23 senyawa), steroid dan terpenoid (16 senyawa), dan peptida (8 senyawa).
Dr. Andi Kurniawan, dosen program studi kimia di Universitas Lampung serta mantan dosen pembimbing Peni Ahmadi, telah meneliti senyawa bioaktif dari spons laut sejak tahun 1997 bersama kelompok penelitiannya. Ia mengatakan telah menemukan banyak senyawa dengan potensi anti kanker.
Salah satunya yang paling efektif adalah Cortistatin, senyawa steroid alkaloid dari spesies spons Cortisium simplex. Senyawa ini punya "struktur yang unik" dan berkhasiat sebagai anti-angiogenesis, yaitu menghentikan sel tumor membuat pembuluh darah kapiler baru untuk mendapatkan nutrisi.
"Nah strategi kita - ibarat perang - adalah menutup sumber makanan itu, ya enggak usah ditembakin mati sendiri nanti. Senyawa ini memutus proses itu," Andi menjelaskan.
Senyawa lainnya, Agosterol A dari Spongia sp. (kemungkinan besar nama spesies Spongebob), disebut sebagai reversal agent. Senyawa ini digunakan untuk menyasar sel kanker yang resisten obat, bukan untuk membunuhnya secara langsung, namun membuatnya berhenti memompa keluar obat dari dalam sel.
Namun Andi mengatakan sekarang ia telah mengalihkan fokusnya dari spons laut ke bakteri yang hidup pada tubuh hewan tersebut. Bakteri itu dikultur di laboratorium dan kemudian digunakan untuk menghasilkan senyawa bioaktif melalui proses fermentasi.
"Microfactory, istilahnya. Jadi biar mikroorganisme yang menjadi pabrik farmasinya, setelah banyak baru kita panen," kata Andi.
Dalam makalah yang diterbitkan Oktober lalu, Andi dan rekan melaporkan bahwa bakteri Aktinomiset yang diisolasi dari enam spons dan satu invertebrata laut yang disebut tunicate, diambil dari Bali, menghasilkan senyawa anti-kanker melalui fermentasi di substrat kulit udang.
Awal tahun lalu, sekelompok peneliti dari Amerika Serikat dan Malaysia mengonfirmasi bahwa senyawa bernama manzamine A, yang diekstrak dari spons Acanthostrongylophora di Teluk Manado, Sulawesi Utara mampu menghentikan pertumbuhan kanker serviks.
Berhenti di laboratorium
Eksplorasi sumber obat baru sangatlah penting, karena para ilmuwan terus mencari zat kimia yang dapat menyasar mutasi-mutasi gen pada sel kanker secara spesifik.
Banyak obat kanker menyasar protein yang terlibat dalam pembelahan sel, disebut tubulin, sehingga turut memengaruhi sel yang sehat. Selain itu, beberapa sel kanker yang resisten (karena sudah bermutasi) dapat lolos dari obat. Karena itulah kita membutuhkan obat-obatan yang beragam.
"Alam itu kan sangat beragam, jadi kita berharap siapa tahu dari alam itu sudah ada molekul yang bisa dengan pas menargetkan mutasi-mutasi gen tersebut," kata Ahmad Rusdan Utomo, pakar genetika kanker dan dosen di Universitas Yarsi.
Namun, proses pengembangan obat anti kanker tidaklah mudah.
Setelah menemukan senyawa potensial, para peneliti harus mensintesis senyawa tersebut di laboratorium dan kemudian memproduksinya secara massal supaya bisa diuji klinis.
Sintesis perlu dilakukan karena jumlah senyawa yang didapatkan langsung dari spons laut sangat sedikit - jadi supaya tidak mengeksploitasi organisme tersebut.
Banyak penemuan di area ini berhenti di laboratorium, kata Ahmad, karena Indonesia belum memiliki kapasitas yang memadai untuk tahapan-tahapan berikutnya.
Untuk melakukan sintesis kimia, para ilmuwan membutuhkan bahan-bahan seperti enzim yang belum bisa diproduksi di Indonesia. Bahan-bahan ini harus diimpor dari luar negeri dengan harga mahal.
"Apapun sumbernya, apakah biota laut, tanaman, maupun hutan, bottleneck kita itu di sintesa kimia. Itu yang selalu menjadi hambatan. Jadi teman-teman [ilmuwan] sudah menemukan banyak zat yang berpotensi anti-kanker tapi terhenti di masalah produksi massal," ujarnya.
BACA JUGA:
- Foto-foto yang mengubah cara kita melihat lautan
- Kerusakan terumbu karang di Raja Ampat lebih besar dari yang 1.600m2?
- Indonesia ‘penghasil teripang terbesar dunia’, tapi teripang kini ‘sulit ditemukan’
Dalam hal ini Indonesia ketinggalan dari negara-negara Asia seperti Bangladesh dan India, imbuhnya. "Itu banyak obat-obat kanker yang berbasis sintesa kimia. Alur kimianya sudah ada di Google, jelas banget, tapi Indonesia enggak bisa melakukan itu."
Menurut Ahmad, demi kemandirian dalam produksi obat, pemerintah Indonesia perlu membangun industri kimia di dalam negeri. Produksi molekul kimia memerlukan investasi besar, sementara kebutuhannya sedikit, sehingga nyaris tak ada pihak swasta yang tertarik.
"Karena itung-itungan bisnisnya enggak masuk, padahal kemampuan itu kita sangat butuh di Indonesia," kata Ahmad. "Apalagi uji klinis itu success rate-nya kecil sekali … di kanker, yang lolos itu kurang dari 1 persen sehingga tidak banyak perusahaan industri yang mau gambling."
Tantangan lainnya muncul karena ancaman dari perubahan iklim, yang menyebabkan kenaikan suhu dan pengasaman air laut (ocean acidification).
Menurut pakar biologi laut dari Institut Pertanian Bogor, Beginer Subhan, dua kondisi tersebut dapat membuat spons lebih rentan terhadap serangan penyakit, menghambat reproduksi, serta mengganggu pola makannya.
"Spons makan dengan cara menyaring air. Dengan peningkatan suhu, berdasarkan penelitian, itu memengaruhi laju penyaringannya, jadi menurun, makannya jadi sedikit," kata Beginer.
Spons laut juga terkait erat dengan ekosistem terumbu karang. Berdasarkan pengamatan LIPI (sekarang BRIN) pada 2017, lebih dari 35 persen terumbu karang Indonesia berada dalam kondisi jelek, meskipun ada proses pemulihan dalam beberapa tahun terakhir.
Namun demikian, Beginer mengatakan eksplorasi sumber obat dari spons menegaskan pentingnya menjaga laut Indonesia, karena di situ ada begitu banyak potensi yang belum tergali.
Hal itu jugalah yang ingin dicapai Peni Ahmadi dalam penelitian ini, sehingga ia memutuskan untuk mengambil sampel dari wilayah Indonesia timur serta pulau-pulau terluar. Sejauh ini, kata Peni, ia sudah melakukan sampling di sekitar kepulauan Biak, Anambas, Natuna.
"Untuk tambahan lain, di daerah timur juga masih banyak biota. Jadi sebelum dimanfaatkan orang lain, kita yang orang Indonesia manfaatin dulu lah, maksudnya kita optimalkan apa yang kita punya," ujarnya.