Suara.com - Teruntuk perempuan korban kekerasan seksual, mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Percayalah bahwa kami akan selalu membersamai perjuangan ini.
Salam,
LBH APIK Jakarta.
Permohonan maaf ini ditulis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK di akun Twitter-nya pada Kamis kamis(16/12), sesaat setelah Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) gagal masuk ke agenda sidang paripurna, sebagai inisiatif DPR untuk kemudian disahkan menjadi Undang-Undang.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK adalah salah satu lembaga yang aktif mendampingi korban kekerasan seksual.
"Ini merupakan pukulan yang berat bagi kami ketika harus kembali mengulang advokasi seperti tahun-tahun sebelumnya, sementara perempuan korban kekerasan seksual membutuhkan aturan hukum yang berpihak terhadap korban," dalam pernyataan tersebut.
Image: https://twitter.com/LBHAPIK/status/1471386285570867201 Supplied.
Padahal, DPR telah menyepakati draf RUU TPKS dalam Rapat Pleno Baleg DPR RI pada hari Rabu (08/12), meski Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak dan Fraksi Partai Golkar meminta penundaan.
Namun, upaya untuk membawa RUU ini ke rapat paripurna gagal, usai rapat Badan Musyawarah yang semestinya berlangsung Rabu (15/12) sebagai syarat paripurna batal terselenggara.
"Belum diagendakan (paripurna), enggak jadi Bamus," kata Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya.
Kesalahpahaman tentang 'Sexual Consent'
Kesalahpahaman tentang persetujuan seksual adalah salah satu penyebab maju-mundurnya pengesahan RUU TPKS sebelum disepakati di pleno Baleg.
Anggota parlemen dari partai PKS, Ledia Hanifa, mengatakan undang-undang tersebut dianggap melegalkan perzinahan dengan frasa seperti "persetujuan untuk melakukan hubungan seksual" atau persetujuan seksual dalam rancangan tersebut.
Namun, Komnas Perempuan sebagai penggagas RUU ini mengatakan masih banyak yang salah paham tentang RUU ini dan meminta semua pihak untuk membaca isinya dengan saksama.
"Jadi supaya tidak ada kesalahpahaman, kami mendorong anggota parlemen untuk membaca dari perspektif yang adil kepada perempuan, kepada korban, dari perspektif yang lebih empati," kata Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini.
"Jangan diarahkan ke prasangka, seperti 'RUU ini mengkampanyekan perzinahan' dan 'melegalkan hubungan sesama jenis', yang sama sekali tidak diatur di sana."
"Itu kan artinya mereka enggak baca. Padahal, jika kembali ke perintah agama, yang pertama kali diminta adalah 'Iqro' (artinya 'baca!')," tutur Rini.
Padahal, menurut Dian Indraswari, Direktur Eksekutif Yayasan Pulih, persetujuan seksual perlu dimasukkan ke dalam peraturan sebagai payung hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual.
Dian menambahkan, dalam masyarakat yang menganut budaya patriarki, seringkali masih ada anggapan jika perempuan menolak berhubungan badan artinya adalah bukan menolak yang sesungguhnya.
“Melainkan sebagai sinyal tantangan untuk ditundukkan, karena perempuan dan anak seringkali ditempatkan dalam posisi subordinat pada masyarakat,” tutur Dian.
Menurutnya, relasi yang sehat mensyaratkan kesetaraan dan penghormatan kepada pasangan sehingga 'consent' atau persetujuan kedua belah pihak sangat diperlukan.
“Termasuk dalam pernikahan, UU PKDRT memuat pasal tentang marital rape, artinya dalam hubungan suami-istri juga perlu persetujuan untuk melakukan hubungan seksual.”
Kasus Novia Widyasari Rahayu
Desakan untuk segera mengesahkan RUU TPKS kian menguat sejak Kamis tiga pekan yang lalu (02/12), Indonesia digemparkan oleh kasus Novia Widyasari Rahayu, yang bunuh diri di sebelah makam ayahnya.
Sebelum mengakhiri hidupnya, Novia diketahui aktif di platform media online Quora. Tulisan-tulisan Novia sendirilah yang kemudian mengungkap alasan ia bunuh diri.
Di media itu, Novia menceritakan bagaimana ia mengalami depresi karena diperkosa sebelum dipaksa aborsi oleh pacarnya yang berprofesi sebagai polisi dan keluarga pacarnya, bahkan sampai dua kali.
Oleh beberapa pamannya sendiri, ia juga dipojokkan dan dianggap membuat malu keluarga.
Menurut catatan Komisi Nasional Perempuan, Novia telah berupaya meminta bantuan ke dua lembaga bantuan hukum di daerahnya, yang menyarankan korban untuk segera melaporkan tindakan pelaku ke Propam, karena pelaku adalah anggota kepolisian.
Mabes Polri mengaku tidak pernah menerima laporan dari Novia Widyasari.
Novia juga mengadukan kasusnya kepada Komnas Perempuan pada pertengahan Agustus 2021, tapi Komnas Perempuan mengaku baru berhasil menghubungi Novia sekitar tiga bulan kemudian.
“Saat itu memang terjadi lonjakan kasus yang kami terima, yaitu 400-500 kasus per bulan, sehingga ada keterbatasan staff dalam proses pengaduan dan rujukan,” tutur Theresia Iswarini, komisioner Komnas Perempuan.
“Kami sudah mencoba melakukan pembenahan internal dan menambah kapasitas staf, tapi tetap tidak terkejar,” tambahnya yang mengaku ada tujuh orang staf saat ini yang bertugas di unit pengaduan dan rujukan.
Menurut Komnas Perempuan, Novia adalah korban kekerasan, yang jumlahnya sudah bertumpuk dan berulang-ulang dalam durasi hampir dua tahun sejak 2019.
Korban kekerasan seksual juga disebutkan terjebak dalam siklus kekerasan saat masa pacaran yang menyebabkan mereka berisiko pada tindak eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi.
Kekerasan dalam pacaran dan persetujuan seksual
Dalam keterangannya yang disampaikan pada Komnas Perempuan, pemaksaan aborsi juga didukung oleh keluarga Randy yang kemudian menuduh Novia sengaja menjebak pelaku agar dinikahi.
“Selain berdampak pada kesehatan fisik, korban juga mengalami gangguan kejiwaan yang hebat. Ia merasa tidak berdaya, dicampakkan, disia-siakan, berkeinginan menyakiti diri sendiri dan didiagnosa obsessive compulsive disorder (OCD) serta gangguan psikosomatik lainnya.”
Kasus kekerasan dalam pacaran seperti yang dialami oleh Novia merupakan jenis kasus kekerasan di ruang privat personal yang ketiga terbanyak dilaporkan ke Komnas Perempuan.
Pada kurun 2015-2020 tercatat 12.000 kasus 'dating violence' yang dilaporkan atau sekitar 20 persen dari total kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
Namun, menurut Komnas Perempuan, pengaduan yang diterima rata-rata berakhir pada kebuntuan.
“Latar belakang relasi pacaran sering menyebabkan peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban dianggap serta-merta telah ada consent dari keduanya.”
Yayasan Pulih adalah lembaga bantuan psikologis dan penguatan psikososial yang menawarkan konseling dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual dan sejak 2012 telah mengkampanyekan stop kekerasan dalam pacaran.
Dalam kampanye stop kekerasan dalam pacaran yang dimulai oleh Yayasan Pulih sejak tahun 2012, Dian Indraswari mengatakan banyak korban kekerasan selama pacaran enggan melapor karena takut disalahkan dan tidak dipercaya baik oleh teman, guru atau dosen dan bahkan orangtua.
“Alih-alih melindungi, masyarakat patriarki lebih cenderung menyalahkan dan menyudutkan penyintas atau korban, termasuk media di Indonesia yang lebih fokus pada latar belakang korban daripada tindakan pelaku.”
Dalam kasus Novia, inilah yang terjadi, saat paman-pamannya juga ikut menyudutkannya.
‘Kalau saja saya tahu’
Beberapa teman Novia juga mengaku tidak pernah dicurhati Novia tentang Randy.
Syadiah, sudah lama berteman dengan Novia. Tapi ia tidak pernah mendengar cerita tentang Randy dari Novia.
“Saya berteman dengan Novia sejak kelas 1 SMP, dan masih sering ketemu saat kuliah.”
“Tapi semenjak dia pacaran dengan Randy, akses dengan teman-temannya jadi dibatasi.”
Meski sama-sama asal Mojokerto, Siti Zila baru berkawan akrab dengan Novia sejak tahun 2017 saat keduanya menempuh studi di kota yang lain di Jawa Timur, Malang.
“Saya kaget sekali mendengarnya, karena bagi saya dia itu anak yang pintar sekali, kritis, dan terlihat selalu ceria,” tutur Zila.
Sejak pandemi 2020, Novia pulang ke Mojokerto, sementara Zila tetap di Malang sehingga pertemanan mereka tidak lagi sedekat semula.
“Saya enggak tahu dia punya masalah seberat itu.”
“Dulu yang dia sering ceritakan ke saya bukan Randy, tapi pacar dia sebelumnya.”
“Kalau saja dia ngomong sama saya, kalau saja saya tahu, saya pasti akan sarankan dia ke Women Crisis Center di Malang, karena di sanalah dulu saya dapat bantuan saat saya jadi korban kekerasan pacar saya,” tutur Zila yang mengaku korban intimidasi dan percobaan perkosaan pacarnya.
Meski mengaku bukan situasi yang mudah, Zila berharap siapa pun yang menjadi korban kekerasan dalam pacaran seperti dirinya dan Novia mau 'speak up' setidaknya kepada satu atau dua orang terdekatnya.
"Yuk bisa yuk, speak up. Minimal untuk minta perlindungan. Ini sebenarnya banyak perempuan-perempuan korban kekerasan begini, tapi enggak kelihatan."
Polisi akhirnya menangkap dan memberhentikan secara tidak hormat Randy Bagus Hari Sasongko dari kepolisian.
Dalam pemeriksaan, Randy mengakui semua perbuatannya dan terancam hukuman lima tahun penjara.
Meski demikian, Komnas Perempuan menilai ujung dari kasus ini dan kasus-kasus kekerasan seksual lainnya harus berujung di pengesahan RUU TPKS.
Ketua DPR janjikan pengesahan RUU TPKS pada 2022
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya menegaskan, pembahasan draf RUU TPKS akan dilanjutkan di masa sidang berikutnya.
Ketua DPR RI Puan Maharani, yang menyerukan pengesahan RUU TPKS setelah kasus Novia menyeruak, mengatakan DPR hanya ingin mengikuti mekanisme.
"DPR mendukung agar RUU TPKS segera disahkan untuk menjadi suatu undang-undang yang bisa menjaga dan menyelamatkan hal-hal (kasus kekerasan seksual) yang saat ini banyak terjadi," ujarnya.
Puan menambahkan, tidak ada masalah apa pun terkait RUU TPKS sehingga akan diputuskan pada Masa Sidang III Tahun Sidang 2021-2022 yang dimulai pada 11 Januari 2022.
Pemerintah juga sudah membentuk tim gugus tugas RUU TPKS untuk mempercepat pengesahan aturan ini, yang beranggotakan KSP, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kejaksaan Agung, dan Polri.