Suara.com - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Kesehatan Masyarakat meminta pemerintah untuk mencabut aturan pengecualian karantina mandiri dan pengurangan durasi karantina bagi para pejabat negara.
Aturan yang diminta cabut itu adalah Surat Edaran Kasatgas Nomor 25 Tahun 2021 Tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Internasional Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Koalisi menilai aturan ini diskriminatif dan tidak adil karena terlalu memberikan perlakuan istimewa kepada pejabat yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat di masa pandemi.
"Virus SARS-CoV 2 tidak mengenal jabatan, tidak mengenal jenis kelamin, tidak mengenal umur, dan tidak mengenal waktu. Pengistimewaan pejabat dalam aturan karantina tidak bisa diterima, diskriminatif, dan tidak adil," kata Firdaus Ferdiansyah dari LaporCovid-19, Jumat (17/12/2021).
Baca Juga: Asal Usul Nama Omicron pada Varian Terbaru Virus Corona
Selain itu, Surat Edaran Kasatgas 25/2021 ini dinilai masih berpotensi membuat celah masuknya varian baru Covid-19 dari luar negeri.
Pengecualian aturan karantina terhadap pejabat ini tentu tidak berdasarkan ilmu kesehatan masyarakat, banyaknya pelanggaran karantina yang dilakukan pejabat, warga negara asing hingga selebritas harusnya menjadi evaluasi bagi pemerintah.
"Karenanya, pengetatan dan pemusatan karantina harus dipatuhi oleh setiap orang termasuk pejabat," tegasnya.
Terlebih ada potensi suap seperti yang sudah dilakukan selebritas Rachel Vennya terhadap petugas agar bebas karantina dengan memberi uang sebanyak Rp40 juta.
Aturan yang tidak tegas ini membuat penanganan pandemi menjadi kacau karena masyarakat menjadi tidak percaya lagi kepada pemerintah.
Baca Juga: Telusuri Masuknya Varian Omicron, Pemerintah Diminta Bentuk Tim Khusus
"Wajar jika masyarakat semakin tidak percaya kepada pemerintah. Pengistimewaan pejabat dalam aturan karantina menegaskan bahwa politisi busuk selalu menutupi kesalahan pejabat," ucap Firdaus.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Kesehatan Masyarakat terdiri dari LaporCovid-19, Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lokataru Foundation, Hakasasi.id, Transparency International Indonesia (TII).
Lalu, LBH Jakarta, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), LBH Masyarakat, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dan Yayasan Desantara.