Suara.com - Sekelompok perempuan duduk, muram dan diam, di luar sebuah gubuk jerami di sebuah desa di Negara Bagian Nagaland, timur laut India.
Di dalam, seorang perempuan muda yang baru saja menikah 10 hari yang lalu, menangis.
"Siapa yang akan menjaga saya sekarang?" tanya Monglong, 25 tahun.
Suaminya, Hokup Konyak, adalah salah satu dari enam orang yang tewas awal bulan ini di Distrik Mon, dekat perbatasan Myanmar, ketika pasukan keamanan India menembaki sekelompok buruh tambang batu bara yang baru pulang kerja.
Baca Juga: Ogah Disuntik Vaksin Covid-19, Pria di India Ini Nekat Kabur hingga Panjat Pohon
Baca juga:
- Bentrokan dua wilayah di India, mengapa dianggap 'seperti perang dua negara'?
- Tentara China-India bentrok bersenjatakan....batang besi dan paku
- Kekerasan anti-Muslim merebak di India setelah umat Hindu diserang di Bangladesh
Delapan warga sipil lainnya tewas setelah pasukan menembaki pengunjuk rasa yang marah dan menyerang kamp tentara. Seorang tentara juga tewas dalam bentrokan itu.
Ini adalah peristiwa kekerasan paling mematikan dalam beberapa tahun terakhir di Nagaland, yang sudah lama diguncang oleh pemberontakan yang dipimpin oleh kelompok-kelompok militan setempat.
Menteri Dalam Negeri India, Amit Shah, telah menyatakan "kesedihan mendalam" atas pembunuhan tersebut.
Namun pernyataan Shah di parlemen, bahwa tentara menembak karena truk yang membawa penduduk desa berusaha untuk tancap gas ketika diminta untuk berhenti, telah membuat para pengunjuk rasa semakin marah.
Baca Juga: MPV Kia Carens Meluncur di India
Mereka menuduh patroli tentara menghentikan truk dan dengan sengaja membunuh orang-orang itu.
Tentara telah menyatakan bahwa operasi yang gagal itu adalah hasil dari "kekeliruan identitas", dan bahwa mereka menyangka penduduk desa itu sebagai pemberontak.
Dewan desa Distrik Mon mengorganisir demonstrasi besar-besaran pekan lalu, menuntut permintaan maaf dari sang menteri atas klaimnya yang "keliru".
Kemarahan itu tidak menunjukkan tanda-tanda mereda.
Naga Hoho, dewan pemimpin tertinggi masyarakat adat Naga, memperingatkan bahwa aksi protes saat ini akan semakin keras sampai tuntutan mereka terpenuhi.
"Kami ingin komisi independen menyelidiki pembunuhan berdarah dingin itu terhadap anak-anak kami yang tidak bersalah. Pemerintah tidak dapat terus membuat kami menunggu," kata HK Zhimoni, kepala Naga Hoho, kepada BBC.
Pemerintah dan tentara telah memerintahkan penyelidikan terpisah atas insiden tersebut.
Para pengunjuk rasa juga menuntut permintaan maaf dari pemerintah atas pembunuhan itu, serta pencabutan Undang-Undang Kekuatan Khusus Angkatan Bersenjata (AFSPA).
Kelompok-kelompok etnis di timur laut India sudah lama menentang UU itu - undang-undang federal kontroversial yang memberi tentara kekuatan besar, termasuk perlindungan dari penuntutan bagi tentara yang secara keliru membunuh warga sipil.
Undang-undang tersebut telah disalahkan atas "pembunuhan palsu" dan para pegiat mengatakan aturan itu sering disalahgunakan.
Seruan untuk mencabut AFSPA digaungkan oleh badan hak asasi manusia Human Rights Watch, dan menteri utama Nagaland serta Negara Bagian Meghalaya di dekatnya.
Bahkan para pemimpin Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa di India, dan merupakan mitra koalisi di pemerintah Nagaland, setuju.
"Pasukan keamanan seharusnya melindungi manusia. Kami ingin mengatakan kepada menteri dalam negeri India Shah bahwa undang-undang AFSPA yang kejam ini tidak profesional, berdasarkan masukan intelijen yang tidak profesional, serta kegagalan total," kata Hosea Konyak, seorang pemimpin senior BJP dari distrik Mon.
Desa Oting tempat Mon tinggal - rumah bagi 12 dari 14 warga sipil yang tewas dalam insiden tersebut - tengah semangat-semangatnya mempersiapkan Natal ketika tragedi itu terjadi.
Semua toko di daerah itu kini tutup sebagai bentuk protes. Gereja lokal, dihiasi dengan bintang Natal, tampak sepi.
Anggota keluarga Langwang dan Thapwang - kembar berusia 25 tahun di antara buruh tambang yang tewas - mengatakan mereka hanya ingin dua saudara itu kembali.
"Kakak-kakak saya menafkahi kami berdelapan dengan pendapatan mereka. Sekarang mereka berbaring di kuburan, karena ulah tentara," kata adik laki-laki mereka, Nenwang, yang kehilangan penglihatan di mata kanannya setelah kecelakaan di masa kecil.
Setiap orang di komunitas yang erat itu punya cerita.
Tingai Konyak, seorang pengusaha lokal, mengatakan ia melakukan perjalanan setiap hari dengan rute yang sama dengan para penambang.
Tetapi pada hari penembakan, ia memutuskan untuk mengambil jalan memutar karena hari sudah gelap.
"Sekitar pukul tujuh malam, keluarga saya menelepon untuk menanyakan apakah saya mendengar suara tembakan. Saya akan sudah mati jika bukan karena jalan memutar," katanya.
Monglong, si pengantin muda, masih syok. Dia menunggu berjam-jam malam itu, berharap suaminya akan kembali.
Ketika ia menghubungi ponsel suaminya, seorang kawannya menjawab dan mengatakan kepadanya bahwa Hokup sedang dibawa ke rumah sakit.
"Saya bersikeras ingin bicara dengannya, tapi dia hampir tidak bisa melakukannya. Satu jam kemudian, semuanya berakhir," katanya.
Para penduduk desa sekarang berdoa untuk pemulihan cepat bagi dua orang yang selamat dari penembakan itu dan saat ini masih dirawat di rumah sakit.
Salah satu dari dua pria itu mengatakan kepada surat kabar The Indian Express bahwa pasukan keamanan menembak lurus ke arah mereka, tanpa memberikan sinyal untuk berhenti.
Pemerintah federal telah mengumumkan kompensasi masing-masing 1,6 juta rupee (sekitar Rp300 juta) kepada keluarga para korban. Tapi penduduk desa Oting menolak tawaran itu.
Mulai turun gerimis saat kami memulai perjalanan panjang kami pulang dari desa.
Tiba-tiba, seorang perempuan muda dengan bayi di lengannya berlari mengejar kami.
"Jika tentara dapat membunuh suami saya tanpa alasan, mereka harus datang ke sini dan mengadopsi anak saya juga," teriak Ngamlem, 29 tahun.
Suaranya bergema di telinga kami saat kami menuruni bukit.