Suara.com - Insiden kecelakaan kapal yang menewaskan belasan 'pekerja migran ilegal' Indonesia di perairan Johor Bahru ke Malaysia, disebut melibatkan 'mafia' dan 'sindikat' penyelundup manusia.
Kapal yang ditumpangi sekitar 50 WNI yang diduga kuat sebagai pekerja migran ilegal mengalami kecelakaan dalam perjalanannya dari Tanjung Pinang di Kepulauan Riau ke Johor Bahru di Malaysia Rabu (15/12) lalu.
Hingga Kamis (16/12) sore, sebanyak 14 orang dinyatakan selamat. Namun, 19 orang meninggal dunia, sementara 17 orang lainnya hingga kini masih dalam pencarian.
Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menyebut insiden ini menjadi "pintu masuk" untuk "membuka tabir" keterlibatan "mafia dan sindikat" dalam penempatan ilegal pekerja migran ke Malaysia melalui Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, yang terus berulang.
Baca Juga: Jenazah TKI Korban Kapal Tenggelam Bergelimpangan di Pantai Malaysia
"Polanya kita sudah tahu, pintu keluar masuk kita juga sudah tahu, tapi kita ingin lebih membongkar siapa di baliknya, baik bandar, baik pemodal yang selama ini ada di balik penempatan tidak resmi ke Malaysia melalui Kepulauan Riau," ujar Kepala BP2MI, Benny Rhamdani, Kamis (16/12).
Baca juga:
- Malaysia temukan 5 jenazah lagi korban kapal terbalik 'tenaga kerja ilegal' dari Indonesia
- Indonesia dan Malaysia gagas kesepakatan soal perlindungan pekerja migran, tapi 'kekerasan masih bisa terus terjadi'
- 'Wajah bengkak, luka bakar, gigitan anjing' - Upaya mencari keadilan bagi Adelina Lisao
Duta Besar Indonesia di Malaysia, Hermono, mencatat setidaknya ada lima insiden penyelundupan pekerja migran tak berdokumen dari Indonesia ke Malaysia dalam tiga bulan terakhir. Padahal, Malaysia sampai saat ini masih menutup diri dari pekerja asing.
"Karena mereka tidak bisa masuk ke Malaysia melalui jalur yang benar, maka mereka menggunakan jalur yang ilegal. Tapi sebetulnya ini masalah klasik," kata Hermono kepada BBC News Indonesia, Kamis (16/12).
Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo mengatakan banyak pekerja migran Indonesia mempertaruhkan nyawa menempuh "jalan pintas" tersebut karena "dianggap jalur yang termurah meskipun risikonya sangat tinggi".
Baca Juga: Penyebab Kapal Tenggelam Pembawa TKI di Perairan Malaysia
'Jalur penyelundupan'
Belum diketahui bagaimana nasib mereka yang hingga kini masih dalam pencarian, namun mereka yang "hilang" bisa jadi sudah meninggal, atau "selamat tapi bersembunyi karena menghindari penangkapan aparat," kata Dubes Indonesia untuk Malaysia, Hermono,
"Mereka ini tujuannya jelas untuk bekerja di Malaysia," terangnya, menjelaskan alasan keberangkatan puluhan WNI itu ke Malaysia dengan menempuh perjalanan yang berisiko menggunakan kapal motor.
"Malaysia sendiri sampai saat ini masih tertutup untuk pekerja asing," kata Hermono.
Kendati Malaysia hingga kini masih menutup diri bagi pekerja asing, namun penempatan pekerja tak berdokumen dari Indonesia ini masih terus terjadi.
Ia mencatat, dalam tiga bulan terakhir ada sekitar lima hingga enam kali insiden penyelundupan pekerja migran tak berdokumen asal Indonesia ke Malaysia.
"Ada yang meninggal, ada yang tertangkap hidup-hidup, ada juga musibah besar seperti sekarang ini."
Modus yang biasa dilakukan, jelas Hermono, kapal yang ditumpangi pekerja migran itu tidak merapat ke pantai, namun berhenti agak jauh dari pantai di pesisir Malaysia.
Para penumpang kemudian turun dari kapal, lalu melanjutkan perjalanan ke garis pantai dengan berenang. Modus itu dilakukan untuk "menghindari penangkapan oleh aparat Malaysia," kata Hermono.
"Jadi mereka turun, ditinggal begitu saja. Selamat syukur, nggak selamat ya nasib. Namanya juga kriminal ya, dia kan nggak punya concern dengan keselamatan orang-orang yang dibawanya," ujarnya.
"Ini kan dari bertahun-tahun, jalur kepulauan Riau, Batam, dan sekitarnya itu menjadi jalur penyelundupan pekerja migran, sampai sekarang tidak ada tuh yang ketangkep. Ini kan aneh," cetusnya.
Baca juga:
- Pengakuan seorang penyelundup di balik perdagangan manusia dari Afghanistan ke Eropa
- Perempuan Indonesia 'dikirim ke China' dalam 'perdagangan manusia dengan 'modus perjodohan'
- TKI di Malaysia disiksa, 'luka sayat dan bakar di sekujur tubuh' - mengapa kekerasan terus berulang?
Kepala BP2MI, Benny Rhamdani, mengatakan insiden ini membuktikan bahwa penempatan-penempatan ilegal masih terus dilakukan oleh pihak-pihak yang disebutnya sebagai "mafia" dan "sindikat".
Benny menambahkan, tewasnya pekerja migran Indonesia dalam kecelakaan kapal itu sebagai "pintu masuk untuk membongkar kejahatan sesungguhnya".
Ia memastikan pihaknya akan membentuk tim khusus untuk melakukan investigasi menyeluruh penempatan ilegal para pekerja migran yang oleh "mafia" dan "sindikat" tersebut.
"Kita ingin juga mengejar siapa yang terlibat, baik langsung atau secara tidak langsung, mengetahui tapi membiarkan peristiwa ini dan penempatan secara resmi ini terus terjadi di wilayah Kepulauan Riau."
"Harus ada tindakan yang harus kita katakan tindakan tegas dan extraordinary yang harus dilakukan oleh negara. Investigasi menyeluruh ini adalah bagian dari tindakan extraordinary yang kita lakukan atas kejahatan yang bisa dikategorikan luar biasa yaitu kejahatan perdagangan manusia," jelas Benny.
Perdagangan manusia melalui penempatan ilegal ini, lanjut Benny, melibatkan banyak pihak. Pemilik modal, bandar, kaki tangan di lapangan, calo, oknum yang memiliki atribut kekuasaan.
Senada, Wahyu Susilo dari Migrant Care menyebut, keterlibatan sindikat dalam penempatan ilegal pekerja migran ini memiliki jaringan yang luas, "baik dengan aparat Malaysia maupun aparat Indonesia".
"Sindikat itu ada terutama di kawasan-kawasan perbatasan, kemudian jejaringnya dengan birokrasi. Artinya, ini terkait juga dengan integritas petugas kita yang ada di pelabuhan perbatasan," ujar Wahyu.
'Standar ganda'
Kendati Malaysia menutup pintu bagi pekerja asing, mengapa pekerja migran asal Indonesia masih tertarik untuk bekerja di negara tetangga tersebut? Bahkan, dengan cara yang tidak resmi.
Wahyu Susilo dari Migrant Care menjelaskan, selain kedekatan budaya dan historis, faktor ekonomi membuat pekerja migran Indonesia tertarik bekerja di Malaysia.
Apalagi, celah-celah untuk bekerja di negara itu secara tak resmi acap kali terbuka lebar karena, menurutnya, standar ganda pemerintah Malaysia.
"Suatu saat ketika punya kebutuhan tenaga kerja yang tinggi, mereka tutup mata. Perbatasan dibuka, [sehingga] tidak sedemikian ketat."
"Tapi ketika mereka tidak membutuhkan, ketika pekerja migran dianggap sebagai ancaman, itu mereka punya kebijakan deportasi," jelas Wahyu.
Ia menambahkan pengguna terbesar pekerja migran tak berdokumen asal Indonesia adalah perkebunan kelapa sawit di Malaysia.
Migrant Care memperkirakan ada sekitar 2,5 juta pekerja migran Indonesia yang masuk secara tak resmi di negara tersebut, dua kali lipat dari jumlah pekerja migran resmi yang sebanyak 1,2 juta orang.
Sementara Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono, yang sempat menjadi pejabat di Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), mengatakan pada umumnya para pekerja migran Indonesia "kena bujuk calo" untuk bekerja di Malaysia.
"Pada umumnya mereka ini very low education, uneducated persons (kurang berpendidikan) sehingga mudah dipengaruhi oleh calo-calo atau pihak yang mengorganisir. Tapi sebetulnya, it's a syndicate. Ini adalah sindikat yang melakukan aktivitas kriminal berulang-ulang," ujar Hermono.
Secara finansial, lanjut Hermono, gaji yang diterima oleh rata-rata para pekerja migran tak berdokumen asal Indonesia tidaklah besar, hanya berkisar 1.200 ringgit, atau Rp3,6 juta.
"Dan ada pertimbangan-pertimbangan lain yang buat mereka kerja di luar negeri itu suatu kebanggaan tersendiri, meskipun di sini sengsara juga. Dengan gaji sebesar itu, Rp3,6 juta, nggak gampang juga di Malaysia untuk hidup dengan biaya yang sekarang ini," katanya.
Menyoal aktivitas penempatan ilegal yang berulang-ulang Benny Ramdhani dari BP2MI mengatakan ada "tindakan tegas dan luar biasa yang harus dilakukan negara".
"Investigasi menyeluruh ini adalah bagian dari tindakan extraordinary yang kita lakukan atas kejahatan yang bisa dikategorikan luar biasa yaitu kejahatan perdagangan manusia," jelasnya.
Adapun BP2MI mencatat ada sekitar 4,4 juta pekerja migran Indonesia yang bekerja di 150 negara. Namun, World Bank mencatat, sesungguhnya ada sekitar 9 juta pekerja migran Indonesia yang bekerja di seluruh dunia.
"Berarti ada 4,6 juta orang Indonesia yang bekerja di negara-negara penempatan yang mereka tidak tercatat secara resmi dan saya meyakini 90% dari 4,6 juta itu yang berangkat secara tidak resmi dan diberangkatkan oleh sindikat penempatan ilegal," cetus Benny.
Tonton kembali video ini: