Suara.com - Terungkapnya kasus-kasus dugaan perkosaan yang belakangan ini diekspos oleh publik, termasuk yang menimpa belasan santriwati di Bandung, menjadi 'momentum untuk mendorong DPR' segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang 'sudah terlalu lama' disusun di Senayan, menurut pakar hukum tata negara.
"Seandainya tidak ada peristiwa-peristiwa itu dan dibesarkan oleh kita semua untuk mendorong DPR, saya kira bisa lebih berlarut-larut lagi," ujar ahli hukum tata negara dan pegiat Jaringan Pembela Hak Asasi Perempuan Korban Kekerasan Seksual, Bivitri Susanti, kepada BBC Indonesia, Rabu (15/12).
Badan Legislasi DPR pekan lalu mensahkan RUU TPKS menjadi usul inisiatif DPR dan semula akan dibawa ke rapat paripurna 16 Desember 2021. Namun rencana itu ditunda.
Sementara Wakil Ketua Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, mengatakan khawatir kasus-kasus kekerasan seksual yang membanjir dan sudah diketahui oleh masyarakat akan tidak tertangani bila RUU TPKS tidak kunjung disahkan.
Baca Juga: Mahasiswi Universitas Udayana Diduga Alami Kekerasan Seksual, Ini Kronologinya
"Paripurna besok (Kamis) belum mengagendakan RUU TPKS. Jadi kami sudah komunikasi dengan pimpinan dan memang belum ada Bamus [Badan Musyawarah DPR] sehingga mungkin untuk disahkan sebagai hak inisiatif DPR pada sidang berikutnya, pertengahan Januari," kata Ketua Panitia Kerja RUU TPKS di DPR, Willy Aditya, saat dihubungi BBC News Indonesia Rabu (15/12).
Kalaupun dibahas dan disetujui di paripurna, seperti diungkapkan anggota Baleg DPR, Diah Pitaloka, RUU itu masih harus dibahas oleh pemerintah bersama pakar dan masyarakat sehingga masih memakan waktu "tiga sampai enam bulan" lagi bila prosesnya lancar.
Baca juga:
- Dugaan perkosaan belasan santri perempuan di Bandung: 'Saat itu kami bersyukur ada pesantren gratis, ternyata...'
- Kasus bunuh diri mahasiswi korban dugaan perkosaan: 'Bukti nyata polisi belum bisa diharapkan merespons cepat kekerasan seksual'
- Mengapa 'tanpa persetujuan korban' dimaknai pelegalan kebebasan seks'?
Mengapa RUU TPKS ini dipandang sebagai kemajuan?
Diah Pitaloka, anggota Badan Legislasi DPR, menyebut pengesahan RUU TPKS menjadi usul inisiatif DPR di tingkat Baleg untuk dibawa ke rapat paripurna DPR merupakan suatu kemajuan pesat setelah disusun bertahun-tahun.
Diah mengungkapkan bahwa pembahasan RUU ini mengalami kemajuan pesat dari sisi substansi. Pergantian nama dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual menunjukkan kemajuan itu setelah mendapat masukkan dari fraksi-fraksi.
Baca Juga: Kasus Kekerasan Seksual Marak Terjadi di Indonesia, RUU TPKS Didesak Segera Sahkan
"Kalau Penghapusan kan lebih pada pelayanan, lebih datar dan sifatnya lebih advokasi. Tapi kalau Tindak Pidana lebih mengerucut dan titik beratnya ada pada proses hukum. RUU ini jadi bersifat lex specialis, merupakan turunan atau penajaman dari undang-undang yang ada."
RUU ini, lanjutnya, akan lebih menajamkan proses hukum yang selama ini tidak mudah bagi korban dalam memperjuangkan keadilan. Ini mempertajam sekaligus melengkapi dari berbagai undang-undang yang ada menyangkut tindak pidana kekerasan seksual, karena di KUHP sendiri lebih dirangkum dalam pasal-pasal kesusilaan, dan ini tentu berbeda pendekatan kalau ada tindak pidana.
"Nah ini dapat mempertegas atau membantu dari berbagai persoalan yang muncul di undang-undang yang sudah ada yang tidak dapat dieksekusi karena seringkali kesulitan bukti, kesulitan saksi.
"Dengan RUU ini juga ada parameter atau paradigma baru terhadap hukum yang ada dan selain itu ada pola-pola seperti memberi bantuan hukum dan bantuan psikologi dengan pendekatan hukum yang lebih maju dalam rangka perlindungan perempuan dan anak," ujar Diah.
Wakil Ketua Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, sepakat bahwa sebagai lex specialis RUU TPKS ini memang perlu dibuat secara spesifik, "karena kasus kekerasan seksual sangat kompleks, tidak hanya perkosaan atau pelecehan seksual tapi menyangkut kasus-kasus yang beragam dan perlu diakomodir oleh sebuah peraturan khusus."
Begitu pula penamaan RUU TPKS tidak hanya mengatur definisi pidana kekerasan seksual dan hukumannya, namun juga mengatur penanganan dan pemulihan korban.
Bila RUU ini disahkan jadi UU, menurutnya, maka akan mendorong dengan cepat pentingnya penambahan lembaga-lembaga layanan di pemerintahan dan di masyarakat.
"Selama ini lembaga-lembaga layanan itu sangat sedikit sekali, sehingga ketika kasusnya membludak jadi tidak tertangani," kata Mariana.
Butuh berapa lama lagi untuk disahkan?
Sebagai anggota Badan Legislasi DPR, Diah Pitaloka mengungkapkan bahwa RUU TPKS ini apabila disetujui di rapat paripurna pekan ini masih harus dibahas lagi sebelum akhirnya disahkan menjadi undang-undang.
Menurutnya RUU ini akan dibahas lagi dengan pemerintah, dan juga akan ada masukan lagi dari para ahli dan masyarakat.
"Dari rapat paripurna akan dibahas, apakah akan dibahas di Baleg atau AKD [Alat Kelengkapan Dewan] lainnya, tapi kemungkinan besar di Baleg. Jadi tetap akan ada pembahasan lagi," kata Diah.
Menurut Diah, itu masih butuh beberapa bulan lagi untuk pembahasan lebih lanjut, sebelum dibawa lagi ke paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang, kemungkinan pada tahun 2022.
Baca juga:
- Dugaan pelecehan seksual di universitas: Peraturan Menteri soal pencegahan kekerasan seksual 'rawan digembosi'
- Korban dugaan pemerkosaan Kapolsek Parigi 'sering menangis histeris', mampukah sanksi tegas Kapolri ditegakkan?
- Dugaan perkosaan anak di Luwu Timur, mengapa hingga muncul tagar #PercumaLaporPolisi?
"Sejujurnya ini tergantung pada dinamika di DPR dan masyarakat, karena opini di masyarakat sangat berpengaruh pada kerja-kerja di DPR. Kalau lancar sih Insya Allah menurut saya ini bisa 3 sampai 6 bulan lah mengikuti proses di DPR, semoga lancar," ujar politisi PDIP itu, merujuk pada perpanjangan masa sidang, jadwal, dan lain-lain.
Menurut pengamat hukum tata negara, Bivitri Susanti, RUU ini baru di tahap penyusunan, namun sudah terlalu lama, dari tahun 2016 dibahas tapi tidak jadi terus sehingga akhirnya didorong menjadi RUU usul inisiatif DPR.
Menurutnya, tidak selayaknya suatu RUU dibahas - dan ini baru di tahap penyusunan - memakan waktu sedemikian lama. Ini sangat berbeda saat dibandingkan ketika pemerintah bersama DPR membuat UU Cipta Kerja dengan hanya hitungan bulan. "Cuma 3 atau 4 bulan disusun kemudian mulai dibahas, 9 bulan sudah selesai. Padahal tebalnya 1183 halaman."
Apakah kemajuan RUU TPKS itu dipicu oleh maraknya kasus-kasus perkosaan?
Menurut Bivitri, bukan berarti DPR menggenjot penyusunan RUU TPKS akibat maraknya kasus-kasus perkosaan.
Namun, tidak dipungkiri terungkapnya kasus-kasus perkosaan itu, seperti yang diduga menimpa para santriwati oleh guru mereka di Bandung beberapa waktu lalu, menjadi momentum untuk mendorong DPR, karena pembahasan RUU ini sudah dipandang 'kelamaan.'
"Nah RUU ini dari 2016, berarti sudah lima tahun disusun oleh DPR. Jadi [kasus-kasus dugaan perkosaan] yang belakangan ini terjadi memang momentum bagi kawan-kawan semua yang ingin segera punya UU TPKS ini untuk mendorong DPR, minimal cepetan jadi RUU Usul Inisiatifnya supaya bisa segera dibahas.
Seandainya tidak ada peristiwa-peristiwa itu dan dibesarkan oleh kita semua untuk mendorong DPR, saya kira bisa lebih berlarut-larut lagi," ujarnya.
Dia pun berharap, apabila sudah selesai disusun, maka pembahasan RUU itu dengan pemerintah jangan sampai memakan waktu lama lagi.
Apa yang terjadi bila RUU TPKS tak kunjung disahkan?
Sebagai Wakil Ketua Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin khawatir kasus-kasus kekerasan seksual yang membanjir dan sudah diketahui oleh masyarakat akan tidak tertangani bila RUU TPKS tak junjung disahkan.
"Atau tidak ada yang bisa membela korban maupun tidak ada alasan yang bisa mencegah pelaku untuk melakukannya lagi. Peraturan itu penting karena dianggap sebagai produk budaya juga, bukan hanya sebagai produk hukum semata. Artinya masih akan dianggap sepele oleh pihak-pihak yang menganggap [kejahatan] ini hanya hal yang remeh."
Sementara itu Bivitri, yang juga dikenal sebagai pegiat Jaringan Pembela Hak Asasi Perempuan Korban Kekerasan Seksual, menilai bila aturan itu tak juga disahkan maka kondisi darurat kekerasan seksual di Indonesia akan terus berlanjut. Itu karena tidak ada perubahan yang sistemik.
"Jadi akhirnya, mau tidak mau, kita-kita masyarakat sipil yang harus bergerak sendiri. Misalnya dengan memviralkan kasusnya dulu supaya bisa ditangani. Kemudian membuat infografis untuk melakukan pencegahan," katanya.
Ini dipandang sebagai kondisi yang tidak baik dalam suatu negara karena seharusnya hal-hal seperti itu ditangani secara sistemik oleh negara.
Bila terlalu lama lagi menunggu aturan tersebut, dia yakin angka kasus kekerasan seksual akan terus naik. "Padahal dalam konteks kekerasan seksual itu, satu korban saja sudah terlalu banyak. Kita pun sebagai warga juga akan bersalah secara kemanusiaan karena tidak membantunya."