Suara.com - Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mengungkapkan selama tiga tahun terakhir, praktik kriminalisasi terhadap jurnalis menggunakan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE tercatat cukup banyak.
Ketua Bidang Advokasi AJI Erick Tanjung yang tergabung dalam KKJ mengatakan, pola kriminalisasi kepada jurnalis terus dilakukan berulang dengan menggunakan pasal karet UU ITE.
"Pola kriminalisasi terhadap jurnalis terus berulang menggunakan dua pasal karet UU ITE, yaitu Pasal 27 ayat (3) terkait pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat (2) terkait ujaran kebencian terhadap Suku, Ras, Agama dan Antar Golongan (SARA)," ujar Erick, Kamis (16/12/2021).
Para jurnalis yang mendapat kriminalisasi yakni Saldi yang divonis penjara 2 tahun oleh Pengadilan Negeri Pasarwajo, di Buton Sulawesi Tenggara karena melanggar pasal 45 Ayat 2 juncto 28 ayat 2, pasal 45 ayat 3 jo pasal 27 ayat 3 UU ITE.
Baca Juga: Vonis Bebas Stella Monica Diapresiasi, Jaksa dan Polisi yang Terlibat Harus Diperiksa
Setelah menjalani masa hukuman 1,5 tahun, Saldi akhirnya bebas pada 17 Maret 2021.
Kedua, Diananta Putra Sumedi, Pemimpin Redaksi Banjarhits/Kumparan.com yang divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Kotabaru, Kalimantan Selatan dan dihukum penjara 3 bulan 15 hari.
Diananta didakwa melanggar Pasal 28 UU ITE karena menayangkan berita berjudul "Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel".
Erick menuturkan, putusan majelis hakim tersebut menjadi ancaman serius bagi kemerdekaan pers, karena Diananta sebagai jurnalis yang menjalankan fungsi pers, dalam menyebarkan informasi yang dilindungi UU Pers. Juga pada fakta persidangan tidak ditemukan adanya dampak kerusuhan atau keributan, akibat pemberitaan.
Hal tersebut djelaskan kuasa hukum Diananta dalam Nota Pembelaan. Sukirman (pelapor) yang mengakui di lapangan tidak ada permasalahan konflik etnis.
Baca Juga: Soal Sanksi UU ITE, Jokowi Minta Jangan Ada Kriminalisasi Kebebasan Berpendapat
“Terhadap pemberitaan tersebut tidak ada keributan atau kerusuhan setelah berita yang ditulis terdakwa itu naik ke Platform,” kata Sukirman ketika itu.
Ketiga, pada 23 November 2021, Majelis hakim Pengadilan Negeri Palopo, Sulawesi Selatan memutuskan jurnalis berita.news Muhamad Asrul, bersalah dengan pidana penjara 3 bulan penjara, dalam nomor perkara 46/Pid.Sus/2021/PN Plp, karena melanggar Pasal 45 ayat 1 jo Pasal 27 ayat 3 UU ITE.
Meskipun vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum, dengan pidana 1 tahun penjara, namun putusan majelis hakim tersebut telah menjadi ancaman dan menghambat kemerdekaan Pers di Indonesia.
Kata Erick, hakim dalam pertimbangannya menegaskan berita.news telah memenuhi ketentuan Standar Perusahaan Pers yang diatur dalam UU Pers, dan menolak dakwaan jaksa serta mengakui berita yang ditulis Asrul merupakan produk jurnalistik dan sekaligus mengamini status Asrul sebagai jurnalis.
"Namun, adanya semua pertimbangan itu, Asrul tetap divonis bersalah, tetapi hakim tidak memerintahkan untuk melakukan penahanan terhadap Asrul," ucap dia.
Erick menjelaskan, selain ketiga kasus tersebut, pasal karet UU ITE terus menghantui jurnalis lainnya.
Salah satunya kriminalisasi yang menimpa jurnalis Aceh, Bahrul Walidin. Jurnalis metroaceh.com ini dilaporkan setelah menulis berita berjudul “Rizayati Dituding Wanita Penipu Ulung” yang terbit di media online, pada 20 Agustus 2020.
"Kasus ini telah masuk tahap penyidikan, meskipun sebelumnya Dewan Pers melalui pernyataan penilaian dan rekomendasi (PPR) nomor 41/PPR-DP/X 2020 telah menilai dan menegaskan, bahwa berita yang ditulis Bahrul merupakan produk jurnalistik," kata Erick.
Jika mengacu pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menkominfo RI, Kapolri, dan Jaksa Agung RI, tentang Pedoman Implementasi UU ITE, pada Pasal 27 ayat (3) huruf l, maka karya jurnalistik dikecualikan atau bukan merupakan delik dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE.
Dalam keputusan tersebut tertulis: "Untuk pemberitaan di internet yang dilakukan institusi Pers, yang merupakan kerja jurnalistik yang sesuai dengan UU 40 Tahun 1999 tentang Pers, diberlakukan mekanisme sesuai dengan UU Pers sebagai lex specialis, bukan Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Erick mengatakan, masih langgengnya kriminalisasi terhadap jurnalis menggunakan UU ITE, menjadi bukti SKB yang dibuat ketiga lembaga tersebut, belum memberikan perlindungan bagi jurnalis.
Penerbitan pedoman implementasi tidak menghilangkan permasalahan substansial pasal-pasal karet UU ITE. Selain itu, SKB hanya mengikat tiga lembaga yang membuat keputusan bersama, dan tidak mengikat lembaga peradilan.
Salah satu contoh pada vonis jurnalis Muhamad Asrul, majelis hakim tidak sama sekali memakai SKB dalam pertimbangannya.
Catatan Advokasi Kasus Kekerasan Terhadap Jurnalis dan Media
KKJ dalam catatan akhir tahun menyampaikan bahwa media massa mampu membentuk opini masyarakat. Sehingga jurnalis harus dapat melaksanakan tugas jurnalistiknya secara profesional. Karena itu, profesi ini harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun.
Namun dalam melaksanakan fungsinya, jurnalis atau media, seringkali berhadapan dengan ancaman baik kekerasan fisik maupun non fisik. Sehingga jurnalis dan atau media rentan menjadi korban kekerasan.
Kekerasan terhadap jurnalis atau media merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), yang jika pelanggaran itu terjadi, maka terdapat hak-hak asasi manusia lainnya, yang juga terlanggar seperti hak atas informasi kepada masyarakat.
Komite Keselamatan Jurnalis mencatat selama 3 tahun terakhir, sejak 2019 sampai 2021, angka kekerasan terhadap jurnalis dan media tidak menunjukan penurunan, bahkan mengalami kenaikan pada tahun 2019 dan 2020.
Kenaikan kekerasan itu kerap mengikuti peristiwa politik di tanah air, baik pemilu atau pembahasan dan pengesahan peraturan perundang- undangan kontroversial.
Sejak dideklarasikan pada 5 April 2019, atau selama hampir 3 tahun terakhir, Komite Keselamatan Jurnalis telah melakukan advokasi terhadap 33 kasus kekerasan terhadap jurnalis ataupun media.
Kategori kekerasan mencakup kekerasan fisik dan kekerasan non fisik, serta serangan digital.
Adapun bentuk advokasi yang telah dilakukan Komite berupa pendampingan litigasi hingga non litigasi berupa aksi solidaritas, siaran pers, lobbi atau negosiasi kepada pihak terkait, diskusi publik, kampanye digital serta pelaporan ke Aparat Penegak Hukum (APH), hingga penyiapan fasilitas rumah aman (safe house) bagi jurnalis yang menjadi korban kekerasan.
Berikut catatan advokasi yang telah dilakukan Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) selama hampir 3 tahun terakhir:
Pada tahun 2019, KKJ telah mengadvokasi 12 kasus
Setelah satu bulan komite dideklarasikan, terjadi peristiwa politik yang cukup memprihatinkan.
KKJ mencatat hasil Pemilu 2019 yang memenangkan Joko Widodo - Ma'ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia berujung ricuh, disertai kekerasan, di sekitar kantor Badan Pengawan Pemilu (Bawaslu), Jakarta, pada 21-22 Mei 2019.
"Korban bukan hanya berasal dari massa yang melakukan aksi demonstrasi, namun banyak jurnalis yang menjadi korban saat sedang meliput peristiwa yang berakhir ricuh tersebut," tutur Erick.
AJI Jakarta dan LBH Pers mencatat total 20 jurnalis menjadi korban kekerasan, diantaranya mengalami intimidasi, persekusi, ancaman, penamparan, perampasan alat kerja, penghalangan liputan, penghapusan video dan foto hasil liputan, pelemparan batu hingga pembakaran motor.
Kemudian kasus kekerasan terhadap jurnalis kembali terulang saat aksi demonstrasi penolakan revisi UU KPK dan RKUHP, di gedung DPR RI, Jakarta, pada 22-28 September 2019. AJI Jakarta dan LBH Pers mencatat sekitar 15 jurnalis yang diduga menjadi korban kekerasan oleh aparat.
Jurnalis tersebut mengalami kekerasan fisik, perampasan alat kerja, penghalangan liputan, dan penghapusan video dan foto hasil liputan, pelemparan batu hingga pembakaran motor.
Komite Keselamatan Jurnalis melakukan advokasi terhadap 3 jurnalis di Makassar yang diduga menjadi korban pemukulan aparat polisi, saat meliput aksi demonstrasi tersebut.
Pada saat itu, LBH Pers Makassar mendampingi proses pelaporan ke polisi dan memberikan bantuan hukum sampai di pengadilan.
Komite Keselamatan Jurnalis menyediakan safe house atau rumah aman bagi jurnalis Aljazeera, Febriana, yang menjadi korban kekerasan dalam bentuk perundungan di media sosial hingga mendapat ancaman teror, melalui sebuah pesan singkat. Febriana menjadi korban doxing atau pelacakan dan pembongkaran identitas di media sosial untuk tujuan negatif.
Korban merasa keselamatan dirinya terancam dan merasa gerak geriknya diawasi, sehingga membutuhkan rumah aman.
Pada tahun yang sama, Komite melakukan advokasi untuk jurnalis Indonesia, Veby Mega Indah, yang bekerja untuk Suara Hongkong News. Mata kanan Veby tertembak peluru kepolisian Hong Kong, saat meliput aksi protes pemerintah pada 29 September 2019.
Selain melakukan kampanye di media sosial, perwakilan Komite Keselamatan Jurnalis melakukan audiensi dengan Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar negeri (Kemenlu) Judha Nugraha.
Dalam audiensi tersebut, Komite Keselamatan Jurnalis mendorong Kemenlu aktif untuk melakukan pendampingan dan perlindungan kepada Veby Mega Indah, serta mendesak kepolisian Hong Kong mengusut tuntas kasus penembakan tersebut
Pada 2020, KKJ mengadvokasi sekitar 15 kasus
Pada 2020, satu kasus menjadi catatan serius, yakni upaya penghalang-halangan hingga penahanan terhadap jurnalis asing, wartawan Mongabay asal AS, Philip Jacobson. Komite menggalang solidaritas untuk wartawan Mongabay yang ditahan Imigrasi Palangka Raya, karena menggunakan visa bisnis untuk melakukan peliputan.
Pada tahun yang sama, kasus kriminalisasi terhadap jurnalis menggunakan UU ITE cukup banyak. Dua diantaranya terhadap jurnalis Banjarhits/Kumparan.com
Diananta Putra Sumedi dan jurnalis berita.news Muhamad Asrul. Diananta divonis bersalah Pengadilan Negeri Kotabaru dan dihukum penjara 3 bulan 15 hari. Dia diputus melanggar Pasal 28 Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena menayangkan berita berjudul "Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel".
Sementara Asrul, sempat ditahan di Polda Makassar selama 36 hari, sejak 30 Januari 2020. Dia ditahan di Polda Sulawesi Selatan, setelah dilaporkan oleh pejabat publik di Palopo, Farid Kasim Judas.
Asrul dilaporkan karena tiga berita dugaan korupsi yang ditulisnya. Korban divonis bersalah melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Palopo, dan dihukum 3 bulan penjara pada 3 November 2021.
Serangan siber terhadap media dan jurnalis, juga menjadi salah satu pola kekerasan yang mengkhawatirkan sepanjang 2020.
Komite kata Erick juga mencatat sejumlah kasus, diantaranya intimidasi, teror, dan doxing terhadap jurnalis Detik.com setelah menulis berita tentang rencana Jokowi akan membuka mall di Bekasi di tengah pandemi Covid-19. Selanjutnya peretasan terhadap website Tempo.co dan Tirto.id.
Pada 2021, KKJ mengadvokasi 6 kasus
Salah satu kasus yang menjadi perhatian serius pada tahun 2021, adalah serangkaian kekerasan yang dialami jurnalis Tempo, Nurhadi.
Nurhadi mengalami kekerasan fisik dan intimidasi, ketika melakukan peliputan terkait kasus dugaan suap, yang diduga melibatkan pejabat Ditjen Pajak Kemenkeu, Angin Paryitno AJI.
Pengadilan Negeri Surabaya, saat ini sedang menyidangkan dua terdakwa pelaku penganiayaan tersebut, yakni Purwanto dan Muhammad Firman Subkhi yang merupakan personel polisi aktif di Surabaya.
Meskipun proses hukum belum menyentuh aktor intelektual penganiayaan ini, setidaknya dorongan agar penyidik menggunakan UU Pers terhadap pelaku diterapkan. Kedua pelaku penganiayaan terhadap jurnalis tersebut, didakwa dengan Pasal 18 ayat 1 UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers dibarengi pidana dalam KUHP.
Kekerasan Jurnalis di Sumatera Utara
Dilihat dari aspek geografi, Sumatera Utara menjadi provinsi yang sangat beresiko terjadi serangan terhadap jurnalis. Sejumlah kasus penganiayaan, teror hingga pembunuhan menimpa jurnalis, diantaranya Mara Salem Harahap (Marsal Harahap). Pimred lassernewstoday.com ini tewas karena luka tembakan, Sabtu, 19 Juni 2021.
Komite mencatat berdasarkan hasil penyidikan Polda Sumatera Utara, diketahui motif pembunuhan Marsal Harahap karena adanya dugaan pemerasan terhadap pemilik Ferrari Kafe, Bar and Resto di Medan.
Motif ini juga ditemukan di sejumlah kasus lainnya seperti penyiraman air keras terhadap jurnalis Jelajah Perkara.com di Medan.
Cap Hoaks untuk Berita Terkonfirmasi
Seperti di tahun-tahun sebelumnya, serangan siber terus mengintai media yang kritis. Namun pada tahun ini, ada pola baru serangan terhadap media di dunia maya.
Aparat kepolisian seringkali memberikan cap hoaks terhadap produk jurnalistik.
Serangan semacam ini dialami media projectmultatuli.org, Kompas.com, Republika. Praktik semacam ini berbahaya untuk kemerdekaan Pers, karena telah merendahkan dan dapat menghilangkan kepercayaan publik terhadap media.
Saat ini, Dewan Pers yang berwenang untuk menilai suatu produk jurnalistik melanggar kode etik atau tidak, sehingga aparat kepolisian atau lembaga pemerintah lainnya tidak pantas memberi label sebuah produk jurnalistik sebagai hoaks atau informasi palsu.
Undue Delay Kasus Kekerasan terhadap Pers
Beberapa tahun terakhir, angka kekerasan terhadap jurnalis ataupun media cukup tinggi. Kondisi itu diperparah dengan data, bahwa sejumlah kasus kekerasan yang dilaporkan ke kepolisian tidak menemui titik terang proses penyelidikan atau penyidikannya. Bahkan beberapa kasus yang diadvokasi LBH Pers bersama AJI, juga belum tuntas prosesnya di aparat penegak hukum, atau mengalami undue delay.
Berikut kasus -kasus kekerasan kepada jurnalis tidak menemui titik terang proses penyilidikan atau penyidikannya:
- Tri Kurnia
Kasus penganiayaan saat liputan demonstrasi Oktober 2019, status penyelidikan. - Nibras Nada Nailufar: Intimidasi dan penghalangan saat peliputan demonstrasi, Oktober 2019, status penyelidikan.
- Muh Darwin Fathir: Penganiayaan saat peliputan demonstrasi, September 2019, status tahap penyidikan
- Tempo.co: Peretasan website, Agustus 2020, status penyidikan.
- Tirto.id: Peretasan website, Agustus 2020, status penyidikan
- Cakrayudi Nuralam, Liputan 6.com: Doxing atau perubahan foto jurnalis, status penyelidikan.
Melihat data tersebut Komite kata Erick menduga adanya kesan kepolisian sengaja untuk mendiamkan perkara yang dilaporkan jurnalis pada tahap penyelidikan, atau penyidikan, hingga waktu yang tidak diketahui.
"Tidak jelasnya penyelesaian kasus kekerasan terhadap jurnalis di kepolisian, menjadi praktik buruk dalam negara demokrasi," ucap Erick.
KKJ menyampaikan salah satu indikator yang penting untuk melihat seberapa baik demokrasi sebuah negara, adalah negara yang mendukung kebebasan Pers.
Sementara untuk menilai situasi kebebasan Pers pada sebuah negara, salah satunya dilihat dari sejauh mana upaya terbaik negara, untuk memastikan dan perlindungan jurnalis dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya.
Jurnalis merupakan salah satu pilar demokrasi yang seharusnya mendapatkan perlindungan negara saat menjalankan tugas jurnalistiknya.
"Sejak disahkannya UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, telah jelas pula kedudukan Pers yang memiliki fungsi sebagai lembaga kontrol sosial (pasal 3), penegasan akan kemerdekaan Pers yang dijamin sebagai hak asasi manusia (pasal 4), hingga pengakuan wartawan sebagai sebuah profesi, dibuktikan dengan adanya
keterikatan untuk menaati sebuah kode etik jurnalistik (pasal 8)," kata Erick.
KKJ kata Erick menyebut salah satu penelitian yang dilakukan LBH Pers bersama ICJR dan IJRS pada awal 2021, menunjukkan kecenderungan jurnalis enggan melapor ke kepolisian saat menjadi korban.
Kata dia, sebanyak 60 persen dari 30 wartawan yang menjadi korban kekerasan, tidak pernah melapor ke pihak aparat penegak hukum.
"Alasan atas ketidakpercayaan korban tersebut sejalan dengan hasil data, bahwa sebanyak 25 persen responden menyatakan laporan kepada lembaga negara dan aparat penegak hukum, yang diterima tidak ditindaklanjuti. Bahkan 8,5 persen mengaku laporan yang dibuat, telah ditolak sejak awal," ucap Erick.
Proses penyidikan yang berlarut-larut, tanpa adanya kejelasan dari penyidik kata Erick dapat dianggap sebagai tindakan penghentian penyidikan secara materil.
Lanjut Erick, berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Surakarta, nomor 04/Pid.Pra./2011/PN.Ska. Dalam putusan permohonan yang dilakukan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) itu, hakim menyatakan “menimbang , bahwa penghentian penyidikan secara material telah terjadi apabila penyidikan telah berlangsung lama tanpa jelas kapan perkara akan dilimpahkan kepada Penuntut Umum.
"Dan mengenai hal ini tidak terdapat ukuran yang pasti , tetapi harus dinilai secara situasional kasus per kasus (case by case atau kasuistis), penilaian mana adalah merupakan kewenangan Hakim Praperadilan," tuturnya
Erick mengatakan berdasarkan data kasus kekerasan dan kriminalisasi jurnalis tersebut, menunjukkan ancaman terhadap jurnalis dalam melakukan kerja-kerja jurnalistiknya. Karena itu, KKJ kata Erick merekomendasikan melakukan kerja-kerja jurnalistiknya.
Pihak merekomendasikan Presiden Joko Widodo memerintahkan seluruh jajaranya, khususnya kepada aparat penegak hukum, termasuk Kepolisian Republik Indonesia untuk menghormati dan melindungi kerja-kerja dan karya jurnalistik.
Terutama, kata dia, memberikan teladan kepada masyarakat dengan menggunakan sengketa Pers ketika ada pihak yang keberatan terhadap sebuah berita atau produk jurnalistik. Bukan dengan mengedepankan kekerasan fisik, non fisik hingga pelabelan Hoax pada karya jurnalistik.
"Presiden Joko Widodo untuk segera memberikan surat perintah tentang mendesaknya revisi dan penghapusan pasal anti demokrasi dalam UU ITE,".
Kepolisian Republik Indonesia Bapak Jend Pol. Listyo Sigit Prabowo untuk melakukan evaluasi kepada anggotanya, yang tidak melakukan proses hukum kepada pelaku kekerasan terhadap jurnalis," papar Erick.
KKJ juga menghimbau kepada media ataupun jurnalis untuk tetap patuh pada kode etik jurnalistik dalam melaksanakan pekerjaannya.
"Menghimbau kepada pejabat publik dan masyarakat umum untuk menggunakan mekanisme sengketa Pers, jika terdapat karya jurnalistik yang dinilai merugikan dirinya, atau pihak lain," katanya.
Sebagai informasiKomite Keselamatan Jurnalis (KKJ) beranggotakan sepuluh lembaga yang terdiri dari organisasi pers, asosiasi pers dan organisasi masyarakat sipil, yaitu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Amnesty International Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), serta Federasi Serikat Pekerja Media Indonesia (FSPMI).
Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) yang dideklarasikan di Jakarta, 5 April 2019 bertujuan untuk mengadvokasi kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media, serta memperjuangkan kemerdekaan Pers.