Suara.com - Wakil Ketua Bidang Akademik dan Penelitian di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menyoroti sikap DPR RI yang tidak memprioritaskan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Menurutnya, DPR RI lebih memprioritaskan pembahasan undang-undang yang memiliki nilai ekonomi serta nilai politiknya.
Bivitri melihat sikap DPR RI terhadap RUU TPKS itu sama dengan Rancangan Undang Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) dan RUU Masyarakat Adat. Dua rancangan undang-undang itu juga masih belum masuk ke dalam pembahasan rapat.
"RUU TPKS ini kan kering ya, sama keringnya dengan RUU PPRT dan RUU Masyarakat Adat. Itu kering banget enggak ada faedahnya buat anggota DPR. Nilai ekonomisnya enggak ada," kata Bivitri dalam konferensi pers secara virtual, Rabu (15/12/2021) malam.
Dengan demikian, Bivitri menganggap kalau cara pandang DPR RI terhadap kekerasan seksual yang terjadi saat ini berbeda dengan masyarakat. DPR RI dinilainya tidak memiliki kepekaan terhadap situasi darurat tersebut.
Baca Juga: RUU TPKS Batal Dibawa Ke Paripurna, PSI Ke DPR: Jangan Jadi Pemberi Harapan Palsu
"Sehingga mereka memperlakukan RUU ini parameternya itu cuma parameter ekonomi politik. Sense of crisisnya tak ada sama sekali," ujarnya.
Bivitri juga mencontohkan dengan rekam jejak DPR RI dalam proses legislasi. Semisal pada 2017, DPR RI hanya meloloskan 6 RUU, 5 RUU pada 2018, 14 RUU pada 2019, 37 RUU pada 2020 dan 7 RUU pada 2021.
Itu juga menurutnya mayoritas RUU kumulatif terbuka yang kovenan internasional.
"Jadi teman-teman bisa lihat dari rekam jejak itu bahwa dugaan atau hipotesis saya barangkali ada benarnya. Karena ini untuk menjelaskan saja. Kita udah gila-gilaan kemarahannya, tapi bagi sebagian anggota DPR ini lewat aja."
Baca Juga: Sufmi Dasco Ahmad Diapresiasi sebagai Pimpinan DPR Terpopuler di KWP Awards 2021