Suara.com - Kasus perusakan Masjid Miftahul Huda yang dibangun Jemaah Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Sintang, Kalimantan Barat sudah memasuki tahap persidangan.
Diketahui, sebanyak 21 pelaku perusakan Masjid Miftahul Huda saat ini sedang menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Pontianak.
Ketua Komite Hukum Jemaah Ahmadiyah Indonesia Fitria Sumarni mengungkapkan, sidang pemeriksaan sudah berjalan selama empat kali.
"Persidangan ini sudah berjalan 4 kali yang pertama tanggal 18 November 2021, 25 November 2021, 2 Desember 2021 dan 9 Desember 2021," ujar Fitria dalam jumpa pers secara virtual, Rabu (15/12/2021).
Baca Juga: Jubir: Penyerangan Masjid Ahmadiyah Sintang karena Aktivasi Isu Musiman
Namun pihaknya menyayangkan proses pemeriksaan di persidangan, bukan mengarah kepada tindak pidana pengerusakan dan penghasutan kekerasan yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum, tetapi mengarah kepada Fatwa MUI No 11 tahun 2005 tentang Ahmadiyah yang menganggap Ahmadiyah keluar dari Islam dan ajarannya sesat dan menyesatkan.
Ia menilai kejanggalan persidangan saat dihadirkannya saksi dari MUI Kalimantan Barat.
"Kenapa? karena dalam pemeriksaan yang seharusnya mendalami kasus perusakan Masjid Ahmadiyah justru menjadi persidangan yang mendalami Ahmadiyah versi MUI. MUI kemudian menerangkan tentang fatwa MUI dan juga SKB dan menjelaskan tentang kesesatan Ahmadiyah," ucap dia.
Fitria melanjutkan, kejanggalan lain dalam persidangan yakni pertanyaan-pertanyaan yang diajukan yakni soal siapa Mirza Ghulam Ahmad dan soal fatwa tentang MUI.
"Kejanggalan lain adalah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saksi dari Jemaat Ahmadiyah. Misalnya ditanyakan tentang siapa Mirza Ghulam Ahmad, apakah tahu tentang fatwa MUI," tutur Fitria.
Baca Juga: Masjid Dirusak, Jubir Ahmadiyah Singgung Isu yang Diaktivasi dan Penyerangan Musiman
Bahkan hakim kata Fitria menasehati kepada terdakwa dan saksi agar tidak taqlid buta.
"Hakim menasehati terdakwa dengan berkata kepada saksi berdua jangan taqlid buta. Artinya betul belajar dan mempelajari. Ada nasehat dari Ketua Majelis agar, saksi jangan taqlid," kata dia.
Dalam persidangan tersebut, Fitria menceritakan terdakwa juga memberi nasehat soal kesesatan Ahmadiyah.
Terdakwa, kata Fitri, juga meminta saksi dari Ahmadiyah untuk bertobat karena ajaran tersebut dianggap mengajarkan kesesatan.
"Terdakwa menyampaikan ceramah tentang kesesatan Ahmadiyah, bahkan mengupas tentang seolah-olah lebih paham daripada orang Ahmadiyah sendiri dan kemudian meminta agar para saksi yang hadir di persidangan itu untuk bertaubat kembali kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala," ucap dia
Selain itu, di persidangan kedua pada 25 November 2021 lalu, Majelis Hakim tidak meminta keterangan saksi dari Ahmadiyah yakni Nasir Ahmad yang hadir secara virtual di Kantor LPSK Jakarta. Pasalnya kata Fitria Nasir Ahmad menyaksikan langsung peristiwa perusakan masjid
"Dalam persidangan ini adalah tidak dimintanya keterangan saksi Nasir Ahmad dari JAI yang telah hadir online di kantor LPSK Jakarta, padahal ini Nasir Ahmad menyaksikan langsung peristiwa perusakan masjid," tutur Fitria.
Karena itu, pihaknya menduga hakim dalam persidangan melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim untuk berlaku adil.
"Dengan banyaknya pertanyaan tentang keyakinan dan tidak diberikannya kesempatan kepada saksi Nasir Ahmad untuk menyampaikan keterangan kiranya patut diduga Hakim telah melanggar prinsip dasar kode etik dan pedoman perilaku Hakim untuk berlaku adil. Karena tuntutan yang paling dasar daei keadilan adalah memberi kesempatan yang sama," katanya.