Demokrasi dan Hoaks di Era Digital, Begini Cara Menyikapinya dengan Bijak

Selasa, 14 Desember 2021 | 16:47 WIB
Demokrasi dan Hoaks di Era Digital, Begini Cara Menyikapinya dengan Bijak
Demokrasi dan Hoaks di Era Digital. (Dok: Kominfo)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Perkembangan teknologi begitu pesat pada beberapa dekade terakhir ini, tak bisa dipungkiri hampir semua kebiasaan manusia berubah dan menjadi semakin mudah. dari yang awalnya harus ke kantor pos untuk saling bertukar kabar kini cukup membuka smartphone yang ukurannya hanya segenggaman tangan. Bisa bercakap-cakap melalui jejaring media sosial atau layanan pesan singkat.

Di dunia pendidikan, pelajar bisa mendapatkan pendidikan melalui kelas daring, pelayanan kesehatan dan keuangan bertransformasi menjadi aplikasi berbasis internet, apalagi dimasa pandemi seperti saat ini. Namun keberadaan teknologi digital yang semakin pesat tidak melulu hal positif yang didapat, melainkan dampak negatif-pun acap kali terjadi.

Fenomena Demokrasi Digital di Indonesia
Tidak hanya itu, demokrasi pun kini mulai bergeser ke ruang digital. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam politik dan pemerintahan mendorong munculnya fenomena ini.

Demokrasi digital membawa angin segar dalam demokrasi: proses memberikan pendapat dan berekspresi kian instan dan super gampang. Aspirasi rakyat kini bisa tersampaikan lebih mudah melalui berbagai saluran komunikasi dengan pemerintah, menghasilkan dinamika bernegara baru, yang kemudian menjadi pijakan bagi kebijakan dan regulasi publik.

Baca Juga: Kominfo Dorong Pengembangan Smart City di Indonesia

Demokrasi digital pun dapat menjadi media bagi pemerintah memahami pluralitas pandangan mengenai sebuah isu, menghadirkan ruang untuk partisipasi publik, bahkan untuk mencapai kesepakatan dalam topik yang relatif kompleks dan kontroversial. Baik pemerintah maupun masyarakat dapat berbicara bersama, sama-sama terlibat secara aktif dan bisa memutuskan persoalan publik secara argumentatif, dengan kebebasan dan kesetaraan.

Di sisi lain, ada pula tantangan dan dampak negatif dari demokrasi digital. Persoalan serius terkait perilaku negatif para netizen menjadi masalah nyata dalam pembangunan demokrasi digital yang lebih berkualitas. Demokrasi seakan hanya menjadi menjadi keriuhan penuh pergunjingan politik. Saling serang dengan menghembuskan isu SARA dan privasi pun menjadi tantangan tersendiri.

Pengabaian budaya debat rasional, kesantunan dalam berkomunikasi dan saling menghargai mulai mengganggu stabilitas politik dan demokrasi. Berbagai dampak berupa radikalisme, sektarianisme, terorisme dan hal lain yang bertentangan dengan Pancasila mulai bermunculan secara liar.

Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memiliki peran untuk meningkatkan kualitas demokrasi, meningkatkan ekspresi demokrasi yang bertanggung jawab dan memastikan demokrasi digital berjalan dengan baik.

"UU ITE memastikan ruang digital bersih dan ekosistemnya sehat agar tidak berpotensi menimbulkan kegaduhan, apalagi informasi hoaks yang berseliweran kerap mengandung ujaran kebencian, misinformasi maupun malinformasi yang harus ditindak tegas agar tidak menimbulkan permusuhan. Ruang digital juga harus dijaga dari hal negatif lain seperti pornografi, perdagangan seks dan narkotika," ungkap Johnny G. Plate, Menteri Kominfo.

Baca Juga: Kominfo: Isu Kesehatan Jadi Hoaks Paling Dominan Sejak 2018-2021

Idealnya, ruang demokrasi publik memang perlu diisi dengan konten positif yang membangun harapan, optimisme dan meningkatkan nasionalisme.

Hoaks dalam Demokrasi Digital
Seiring dengan berkembangnya demokrasi digital, kita mulai lebih akrab dengan hoaks–berita bohong yang tidak memiliki sumber pasti. Pemutarbalikan fakta yang dapat diakses dengan mudah dan cepat ini menjadi hal yang sangat berbahaya bagi terwujudnya demokrasi digital yang sehat.

Hoaks sengaja dibuat untuk meresahkan masyarakat biasanya menyebarkan kebencian, penipuan, provokasi, propaganda dan pembentukan opini publik.

Menguatnya fenomena hoaks di Indonesia disebabkan penggunaan algoritma, automasi, big data atau penggunaan fitur-fitur di media sosial yang bisa dimanfaatkan untuk mempengaruhi kebutuhan publik.

Hoaks, dengan demikian, adalah unsur yang merusak, alih-alih memperkuat, demokrasi. Keterlibatan warga negara untuk turut memantau pemerintah dengan cara propaganda politik melalui menyebarkan berita bohong tidak memberi manfaat apa-apa. Hoaks justru memperburuk hubungan antara warga dengan pemerintah karena materi yang menghubungkan keduanya kebohongan, alias berita yang dibuat-buat.

"Saat ini pemerintah menjalankan berbagai upaya melalui lembaga pendidikan dan inisiatif masyarakat, serta bagaimana mendorong startup muda untuk mengembangkan solusi penyelesaian masalah sosial. Demokrasi digital mestinya bisa menciptakan kebaikan bagi bangsa," ungkap Menteri Sekretaris Negara, Prof. Dr. Pratikno.

“Melakukan banyak kebaikan dan memberitakan kebaikan itu penting, agar informasi yang masuk ke masyarakat hal-hal yang baik, bukan berita-berita palsu,” tambahnya.

Menertibkan dan memberantas berita palsu dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya melalui kampanye literasi, inisiatif pengecekan fakta, dan penetapan langkah-langkah hukuman untuk mencegah penyebarannya.

Kementerian Kominfo mengandalkan tiga pendekatan dalam menanggulangi maraknya hoaks dan konten negatif di Indonesia. Ketiga pendekatan itu mencakup tingkat hulu, menengah, dan hilir. Terkait pendekatan di tingkat hulu, Kementerian Kominfo gencar melakukan literasi digital. Kominfo telah bekerja sama dengan 108 komunitas, akademisi, lembaga pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk memberikan literasi digital.

"Ini untuk mendidik masyarakat guna menyebarkan informasi yang akurat serta menghentikan penyebaran konten negatif dan hoaks,” tambah Johnny G Plate.
Di tingkat menengah, Kementerian Kominfo mengambil langkah pencegahan. Kementerian misalnya menghapus akses konten negatif yang diunggah ke situs web atau platform digital.

Kementerian melakukan langkah tersebut apabila menemukan akun yang mendistribusikan hoaks dan konten palsu terkait Covid-19. Kementerian juga bekerja sama dengan platform media sosial seperti Facebook, Twitter, hingga YouTube dalam melakukan tindakan penghapusan akses.

Di tingkat hilir, Kementerian Kominfo berkolaborasi dengan pihak kepolisian guna mencegah penyebaran informasi yang salah dan menyesatkan di ruang digital.
Polri juga memiliki Virtual Police, yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberi peringatan dan mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber.

"Kami munculkan virtual police sebagai upaya memberikan peringatan. Kalau masih dilakukan, resikonya akan melanggar undang-undang. Virtual Police dan Visual Alert hadir untuk menghilangkan kesan polisi yang represif, dan mengedepankan upaya preemtif dan preventif, inilah wajah baru kami dalam penegakan hukum dunia maya," Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menerangkan.

Pendekatan-pendekatan di atas tersebut sifatnya pentahelix, yakni melibatkan instansi pemerintah, komunitas akar rumput, media konvensional, masyarakat sipil, serta akademisi.

Kenali dan Hadapi Hoaks dengan Bijak
Tapi menghadapi hoaks bukan hanya peran pemerintah. Masyakarat pun diharapkan semakin bijak menangkal hoaks. Terdapat beberapa langkah sederhana untuk membantu netizen mengidentifikasi menghindar dari berita hoaks:

Judul Provokatif
Hoaks seringkali menggunakan judul sensasional yang provokatif. Meskipun isinya terlihat disadur dari berita resmi, namun isinya diubah agar menimbulkan persepsi tertentu yang diinginkan pembuat hoaks. Saat menemukan berita semacam ini, carilah referensi lain dari situs resmi dan bandingkan isinya.

Cermati alamat situs
Jika informasi diperoleh dari situs dengan link, cermatilah alamatnya. Jika belum terverifikasi sebagai institusi media resmi atau blog, informasinya bisa jadi meragukan. Di Indonesia, lebih dari 43.000 situs mengklaim diri sebagai portal berita, namun yang terverifikasi tidak sampai 300 saja. Potensi menyebarkan berita palsu di internet sangat besar dan harus diwaspadai.

Periksa fakta
Dari mana berita berasal dan siapa sumbernya? Apakah dari institusi resmi? Jika berasal dari pegiat ormas, tokoh atau pengamat, perhatikannya keberimbangan sumbernya. Berita juga harus dibedakan, mana yang fakta dan opini. Opini biasanya memiliki kecenderungan bersifat subjektif.

Cek keaslian foto dan video
Tak hanya teks yang bisa dimanipulasi dan menjadi hoaks, konten lain berupa foto dan video pun kerap diedit untuk memprovokasi pembacanya. Cek keaslian foto melalui Google dengan melakukan drag-and-drop di Google Images. Gambar serupa akan muncul, sehingga bisa dibandingkan.

Ikut grup diskusi anti-hoaks

Sudah cukup banyak fanpage dan grup diskusi anti hoaks, misalnya Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax (FAFHH), Fanpage & Group Indonesian Hoax Buster, Fanpage Indonesian Hoaxes, dan Grup Sekoci. Di grup-grup diskusi ini, netizen bisa ikut bertanya apakah suatu informasi merupakan hoax atau bukan, sekaligus melihat klarifikasi yang sudah diberikan oleh orang lain. Semua anggota bisa ikut berkontribusi sehingga grup berfungsi layaknya crowdsourcing yang memanfaatkan tenaga banyak orang.

Jadilah lebih kritis
Sadarilah kalau semua orang bisa menulis berita di internet, tapi tidak semuanya memiliki kapasitas dan bisa mempertanggungjawabkannya. Pastikan suatu berita memang valid, prioritaskan pola pikir logis dan cek ulang data saintifiknya.

Saring sebelum sharing
Berita hoaks berhenti saat seseorang melakukan langkah-langkah di atas sebelum berbagi. Jika menemukan berita hoaks, laporkan konten ke Kementerian Kominfo agar segera ditindak tegas. Lakukan screen capture dan copy link, lalu kirim ke [email protected].

Menjadi masyarakat di era digital memiliki tantangannya sendiri. Kebebasan yang dimiliki seharusnya bisa digunakan untuk memfasilitasi hal-hal positif yagn membangun masa depan bangsa. Tidak hanya diartikan bebas tanpa aturan, etika dan norma. Penyampaian kritik harus tetap dilakukan dengan baik dan objektif meskipun medianya berbeda.

Mempelajari literasi digital akan membawa masyarakat untuk berpendapat dengan lebih hati-hati, memikirkan dampak positif atau negatif. Masyakarat juga bisa lebih cakap digital dan mengendalikan diri.

Ruang untuk masyarakat beraspirasi di dunia maya masih terbuka bebas, selama tidak melanggar hak orang lain. Dalam dunia dengan otonomi demokrasi marilah kita bersama saling menjaga agar iklim ini tetap sehat dan penuh manfaat.

Advertorial Subdirektorat Informasi dan Komunikasi Politik dan Pemerintahan, Direktorat Informasi dan Komunikasi Politik, Hukum, dan Keamanan, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika @ Desember 2021

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI