Apakah Rusia Berencana Serbu Ukraina, Negara-negara Barat Cemas

SiswantoBBC Suara.Com
Selasa, 14 Desember 2021 | 10:23 WIB
Apakah Rusia Berencana Serbu Ukraina, Negara-negara Barat Cemas
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Apakah militer Rusia sedang bersiap untuk berperang di Ukraina? Kecemasan kini melanda para pemimpin Ukraina dan negara-negara Barat.

Tujuh tahun lalu Rusia merebut bagian selatan Ukraina. Mereka juga menyokong milisi yang memulai konflik di wilayah yang luas di kawasan timur negara itu.

Rusia mengklaim tidak memiliki rencana untuk menyerang Ukraina. Namun Amerika Serikat mengancam akan menjatuhkan 'sanksi' besar yang belum pernah mereka terapkan.

Pertanyaannya, apa yang sebenarnya sedang terjadi?

Baca Juga: Jet Tempur Rusia Lacak Dua Pesawat Tempur Prancis di Laut Hitam

Baca juga:

Di mana Ukraina?

Ukraina berbatasan dengan Uni Eropa dan Rusia. Sebagai bekas bagian Uni Soviet, mereka memiliki ikatan sosial dan budaya yang mendalam dengan Rusia.

Bahasa Rusia juga digunakan secara luas di Ukraina.

Rusia sejak lama menolak langkah Ukraina bergabung dengan Uni Eropa. Permintaan utama Rusia kepada Ukraina adalah 'jangan pernah bergabung dengan NATO'.

Mereka juga meminta Ukraina tidak mengizinkan anggota NATO menempatkan persenjataan di negara itu.

Baca Juga: Petarung MMA Asal Rusia Mengamuk Dengar Agama Islam Dihina, Lawan Langsung Dibanting

Presiden Ukraina yang pro-Rusia jatuh pada tahun 2014. Tak lama setelahnya Rusia merebut dan mencaplok bagian selatan Semenanjung Krimea dari Ukraina.

Milisi yang didukung Rusia kemudian merebut sebagian besar dua wilayah timur Ukraina yang dikenal sebagai Donbas.

Apakah ada ancaman invasi yang nyata?

Konflik di sisi timur Ukraina itu berlanjut hingga hari ini.

Ukraina menyebut Rusia sudah mengirim tank, artileri dan sekelompok penembak jitu ke garis depan di daerah yang dikuasai milisi.

Namun perhatian terbesar menyoroti pasukan Rusia di luar perbatasan Ukraina. Dinas intelijen negara Barat yakin pasukan itu berjumlah hingga 100.000 orang.

Tidak ada tanda-tanda bahwa perang akan segera terjadi. Tidak diketahui pula apakah Presiden Rusia, Vladimir Putin, telah memutuskan untuk melakukan invasi.

Juru bicara pemerintahan Rusia di Kremlin mendesak semua pihak untuk tetap "berkepala dingin".

Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Ryabkov, memperingatkan bahwa ketegangan dapat mengarah pada situasi yang mirip dengan krisis rudal Kuba tahun 1962. Ketika itu AS dan Uni Soviet nyaris terlibat konflik nuklir.

Namun badan intelijen Barat dan Ukraina menilai invasi Rusia dapat terjadi pada awal tahun 2022.

"Waktu yang paling mungkin untuk mencapai kesiapan untuk eskalasi adalah akhir Januari," kata Menteri Pertahanan Ukraina, Oleksiy Reznikov.

Intelijen AS menuding sebanyak 175.000 tentara Rusia dapat dikerahkan untuk invasi pada awal Januari.

Direktur CIA, William Burns, menyebut Presiden Putin "menempatkan militer maupun dinas keamanan Rusia di tempat di mana mereka dapat bertindak dengan cara yang sangat luas".

Bagaimanapun, rencana Rusia ini bisa saja hanya siasat untuk mendapatkan jaminan dari NATO.

Situasi yang nyaris serupa pernah terjadi April lalu. Saat itu Rusia menggerakkan pasukan dalam jumlah kecil dalam rangka latihan. Pasukan itu kemudian ditarik, walau beberapa kalangan menyebut tidak seluruh tentara Rusia mundur dari wilayah Ukraina.

Rusia tidak memberikan penjelasan yang jelas terkait itu.

Presiden AS, Joe Biden, melakukan panggilan video dengan Putin 7 Desember lalu dalam upaya menurunkan ketegangan. Namun belum ada kejelasan apakah ketegangan akan benar-benar mereda.

Apa yang Rusia katakan?

Rusia awalnya menyebut sejumlah foto satelit yang menunjukkan penumpukan pasukan di Krimea dan tidak jauh dari timur Ukraina sebagai hal yang mengkhawatirkan.

Meski begitu, awal Desember lalu, orang dekat Putin menegaskan Rusia berhak memindahkan pasukan di wilayah mereka.

Kepala Angkatan Bersenjata Rusia, Valery Gerasimov, mengatakan bahwa NATO telah terlalu banyak memusatkan perhatian pada pergerakan pasukan.

Dia berkata, "informasi yang beredar di media tentang rencana invasi Rusia ke Ukraina adalah bohong".

Rusia balik menuduh Ukraina menumpuk setengah pasukan mereka, sekitar 125.000 orang, di wilayah timur. Mereka menuding Ukraina berencana menyerang daerah yang dikendalikan milisi pro-Rusia.

Ukraina mengatakan bahwa itu hanyalah "omong kosong propaganda" yang dikatakan untuk menutupi rencana Rusia.

Rusia juga menuduh negara-negara NATO "menyokong" Ukraina dengan persenjataan.

Bantahan Rusia bisa menjadi pembenaran untuk aksi militer.

Vladimir Dzhabarov, orang nomor dua di Komite Urusan Internasional Dewan Federasi Rusia, menyebut pada awal Desember lalu, sekitar 500.000 orang Ukraina di daerah yang dikuasai milisi sudah memiliki paspor Rusia.

Jika para pemimpin milisi meminta bantuan Rusia, kata Dzhabarov, "tentu saja, kami tidak dapat meninggalkan rekan-rekan kami".

Seorang pejabat senior intelijen Barat memperingatkan bahwa jika Rusia menyerang Ukraina, konflik dapat meluas lebih jauh ke wilayah Eropa lainnya.

"Jangan buta. Jika Rusia memulai skenario apa pun, itu juga akan memulai tindakan terhadap anggota NATO," ujar seorang pejabat intelijen senior, yang meminta namanya tidak disebutkan.

"Memikirkan perang dapat dikendalikan oleh satu negara adalah bodoh," tuturnya..

Kekhawatiran itu juga digaungkan perwira militer senior Inggris.

"Pentingnya skenario terburuk dalam hal invasi skala penuh akan berada pada skala yang tidak terlihat di Eropa sejak Perang Dunia Kedua," kata Kepala Staf Pertahanan, Laksamana Sir Tony Radakin, 7 Desember lalu.

Radakin menyebut pengerahan kekuatan militer Rusia di perbatasan Ukraina "sangat mengkhawatirkan".

Meski ada peringatan dari AS dan NATO bahwa setiap invasi Rusia ke Ukraina akan memiliki "konsekuensi ekonomi yang parah," pengerahan militer Rusia di perbatasan terus berlanjut.

Seorang pejabat senior intelijen Barat menggambarkannya sebagai "stabil" daripada dramatis.

Badan intelijen Barat memperkirakan Rusia menempatkan sekitar 100.000 tentara di dekat perbatasan Ukraina. Tank dan artileri juga telah dikerahkan ke sana.

AS memprediksi kekuatan Rusia di kawasan itu bisa meningkat menjadi 175.000 tentara pada akhir Januari mendatang.

Pejabat pertahanan Barat berkata jika Rusia bisa saja menyerang Ukraina sekarang. Namun saat ini pasukan Rusia di perbatasan masih kekurangan beberapa elemen tempur penting, seperti dukungan logistik penuh, persediaan amunisi, rumah sakit lapangan, dan bank darah.

Pejabat intelijen menggambarkan peningkatan kekuatan itu itu berlangsung perlahan.

Para pejabat AS juga menyebut saat ini terjadi peningkatan "disinformasi" di media sosial Rusia.

Sementara itu, sumber pertahanan Barat lainnya telah menyatakan keprihatinan tentang peningkatan sinyal intelijen dan "obrolan" yang dipantau yang dapat menandakan kesiapan Rusia untuk menyerang.

Seperti apa situasinya jika perang benar terjadi?

Jika Rusia memutuskan untuk menyerang Ukraina, pejabat senior intelijen Barat mengatakan sejumlah besar orang akan mengungsi.

"Akan muncul pengungsi dalam jumlah yang sangat besar, kematian bisa diperkirakan akan tinggi seperti halnya kehancuran di Ukraina," katanya.

Perang yang meletus di Ukraina timur pada 2014 menewaskan 14.000 orang. Sekitar 1,4 juta orang saat itu diperkirakan juga mengungsi.

Namun pejabat itu mengatakan Rusia juga dapat memulai tindakan terhadap anggota NATO seperti perang dunia maya dan hibrida, dan bahkan serangan fisik.

"Jika ada kejadian di tempat lain, semua efek ini dapat diperluas," katanya.

Niat Putin

Negara Barat masih belum memahami rencana Putin. Namun pejabat senior intelijen Barat memperingatkan bahwa "opsi militer kemungkinan besar akan dibahas di Kremlin" jika tuntutan Rusia tidak dipenuhi.

"Apakah Putin akan memulai konflik? Dia belum mengambil keputusan," katanya.

Namun pejabat itu mencatat ada kombinasi retorika tajam dari Rusia, tuduhan diprovokasi oleh Ukraina dan NATO, kurangnya transparansi, serta rekam jejak yang mengkhawatirkan, termasuk pencaplokan Krimea pada tahun 2014.

"Ditambah lagi adalah krisis perbatasan baru-baru ini yang melibatkan ribuan migran di Belarus, serta dukungan separatis Rusia di Kaukasus dan di tempat lain," katanya.

Walau pejabat itu mengatakan sulit untuk mengatakan ini semua terkait secara strategis, itu menunjukkan bahwa ada masalah di sisi timur Eropa Timur.

Dia mengatakan situasi keamanan di Eropa tanpa preseden sejak berakhirnya era Tirai Besi dan Perang Dingin.

Tuntutan Rusia dan solusi diplomatik

AS dan NATO menjelaskan bahwa mereka menginginkan dialog dengan Rusia untuk menghindari konflik. Rusia pun ingin dialog itu berlanjut.

Pertemuan virtual Biden dan Putin awal pekan ini adalah awal dan akan ditindaklanjuti dengan lebih banyak pembicaraan dengan anggota NATO lainnya.

Tapi tuntutan Rusia dan apa yang disebut "garis merah" membuat diplomasi menjadi sulit.

Rusia menginginkan jaminan bahwa Ukraina tidak akan pernah diizinkan untuk bergabung dengan NATO dan bahwa anggota NATO tidak akan memiliki pasukan atau infrastruktur permanen yang berbasis di Ukraina; dan penghentian latihan militer di dekat perbatasan Rusia.

NATO menegaskan itu adalah aliansi defensif dan bukan ancaman bagi Rusia.

Namun aliansi tersebut juga menjelaskan bahwa mereka percaya Ukraina berhak membuat keputusan sendiri sebagai negara yang berdaulat dan tidak bersedia memberikan hak veto kepada Rusia atas masa depan Ukraina.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI