Suara.com - Ketua Komite Nasional Indonesia untuk Program MOST(Management Sosial of Transformation)-UNESCO yang juga Peneliti Utama Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi (BRIN) Tri Nuke Pudjiastuti mengatakan komitmen pemenuhan hak terhadap penyandang disabilitas di kementerian/lembaga belum sepenuhnya ramah kepada disabilitas.
Ia pun menyoroti pemenuhan akses dasar pendidikan bagi penyandang disabilitas.
"Satu saja satu kasus akses pendidikan karena itu menjadi akses dasar, itu ternyata masih terlalu banyak yang tidak mendapatkan kesempatan," ujar Nuke dalam diskusi Inklusi Disabilitas dalam Riset untuk Pembentukan Regulasi secara virtual, Senin (13/12/2021).
Nuke menyebut, pada kenyataannya banyak infrastruktur di sekolah yang tidak ramah untuk para penyandang disabilitas.
Baca Juga: BRIN Targetkan Kembangkan Puluhan Purwarupa Alkes dan Kendaraan Listrik hingga 2024
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), kata Nuke, mengakui banyak sekolah yang infrastrukturnya belum ramah untuk penyandang disabilitas.
"Bahkan ketika sekolah menyatakan 'oke kami membukanya (infrastruktur untuk penyandang disabilitas)' tetapi pada kenyataan tidak ramah infrastruktur di sekolah itu untuk para penyandang disabilitas. Ini diakui oleh kemendikbud sendiri betapa masih banyak sekolah, sekolah yang infrastrukturnya belum ramah disabilitas," tutur Nuke.
Nuke melanjutkan meski sudah ada tujuh dari delapan peraturan pemerintah turunan UU Penyandang Disabilitas, namun masih banyak tantangannya. Tantangannya yakni dari mulai akses sosial, pendidikan, ekonomi dan politik
"Pada kenyataannya tetap masih banyak tantangan apakah akses sosial, pendidikan ekonomi akses politik. Bahkan ketika kita perhatikan regulasi-regulasi yang ada di yang dikeluarkan pada level permen, karena itu harus ada turunanya dari PP kemudian permen," ucap dia.
Nuke pun mencontohkan persoalan akses pekerjaan terhadap penyandang disabilitas.
Baca Juga: Penyandang Disabilitas Bekerja di Perusahaan Penyalur Produk Fesyen Jepang
Meski penyandang disabilitas mendapatkan kesempatan, namun terdapat persyaratan yang sama dengan masyarakat yang normal. Sehingga hal tersebut akan sulit bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan akses pekerjaan yang sama.
"Contoh persoalan pekerjaan ya mereka diberi kesempatan ada kuota untuk mereka , tetapi ketika persyaratannya itu disamakan persis, itu artinya tidak ada afirmatif regulasi maupun kebijakan di dalam upaya mereka bisa mendapatkan akses, sebagaimana layaknya warga negara," katanya.
Tak hanya itu, ia juga menyoroti akses politik untuk penyandang disabilitas yang dinilai belum ramah.
Menurut Nuke, hal tersebut harus dipikirkan agar para penyandang disabilitas bisa mendapatkan akses dan dapat menjadi pemilih yang aktif di Pemilu 2024 mendatang.
"Kalau kita lihat nanti 2024 ini pasti akan jadi suatu masalah tersendiri ketika tidak ada afirmativ kebijakan atau mulai dari regulasinya sampai diturunkan pada kebijakannya, seperti apa supaya mereka bisa mendapatkan akses ikut di dalam melaksanakan hak votenya dia menjadi menjadi pemilih yang aktif," kata Nuke.
Karena itu, Nuke menilai banyak persoalan-persoalan regulasi dari peraturan turunan UU yang belum ramah terhadap penyandang disabilitas.
"Jadi cukup banyak persoalan-persoalan regulasi turunan yang saat ini sebenarnya belum ramah terhadap penyandang disabilitas," katanya.