Suara.com - Komnas Perempuan turut angkat bicara terkait catatan sepanjang tahun 2021 yang dirilis Amnesty International Indonesia soal pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Indonesia. Dalam pantauannya, Komnas Perempuan turut mencatat adanya pelanggaran HAM yang tentunya menyasar sektor perempuan.
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani menyebutkan, pelanggaran HAM terhadap perempuan sepanjang 2021 tidak lepas dari pandemi Covid-19 yang menghajar Tanah Air. Artinya, kasus pelanggaran HAM terhadap perempuan luput dari perhatian publik.
"Banyak kasus-kasus pelanggaran HAM dan khususnya kekerasan terhadap perempuan yang hilang dari mata publik karena perhatian kita ataupun perhatian dari penyelenggara negara ini banyak sekali terkait dengan penyelenggaraan pandemik," kata Andy melalui akun Youtube Amnesty International Indonesia, Senin (13/12).
Dalam pandangan Andy, pandemi Covid-19 kerap meningkatkan risiko kerentanan kekerasan dan diskriminasi berbasis gender. Tidak sampai situ, selama masa wabah, sektor perempuan juga kerap mengalami diskriminasi dari tumpukan identitas lainnya.
Baca Juga: Banyak Kasus Kekerasan Seksual Mencuat, DPR: Ini Momen RUU TPKS Harus Segera Disahkan
Andy memaparkan, sepanjang 2021, angka kasus kekerasan terhadap perempuan yang masuk dalam pemantauan Komnas Perempuan berjumlah 4.500 kasus. Aduan itu masuk dalam rentan waktu Januari hingga Oktober 2021.
"Dari Januari sampai Oktober itu sudah ada 4.500 kasus yang diadukan yang artinya sudah dua kali lipat dari yang kami terima pada tahun 2020 sekalipun proses verifikasinya masih berjalan," jelas Andy.
Pada titik tersebut, kata Andy, pihaknya cukup senang dengan banyaknya aduan yang masuk. Artinya, kesadaran untuk melaporkan kasus terkait kekerasan terhadap perempuan trennya melonjak.
Di satu sisi, ada hal yang cukup mengkahwatirkan, yakni kapasitas untuk menangani pelaporan pelaporan ini tidak sebanding dengan cepatnya pengaduan dan pengungkapan kasus. Misalnya, lewat media sosial yang kemungkinan besar justru banyak korban yang terlambat untuk ditangani, maupun ditangani secara parsial.
"Menurut kami yang paling mengerikan adalah persoalan-persoalan kronik yang sebetulnya sudah ada Jauh sebelum situasi pandemik atau pelaporan ini meningkat dengan drastis itu seperti terus hadir dan bahkan kadang-kadang rasanya tidak ada perbaikan yang berarti," ungkap Andy.
Baca Juga: Darurat Kekerasan Seksual, Dalam Setahun di Semarang Ada 3 Kasus Pelecehan