Kisah Aktivis Perempuan Myanmar Ditangkap, Lalu Diancam Diperkosa

SiswantoBBC Suara.Com
Senin, 13 Desember 2021 | 17:31 WIB
Kisah Aktivis Perempuan Myanmar Ditangkap, Lalu Diancam Diperkosa
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sejumlah perempuan di Myanmar diketahui mengalami penyiksaan, pelecehan seksual, dan diancam diperkosa di dalam penjara, menurut sejumlah laporan yang diterima BBC.

Lima perempuan yang pernah ditahan lantaran ikut protes menentang kudeta militer awal tahun ini mengaku telah dilecehkan dan disiksa di tempat tahanan setelah mereka ditangkap.

Nama-nama narasumber itu diubah untuk melindungi privasi dan keselamatan mereka.

Peringatan: Artikel ini mengandung deskripsi kekerasan yang bisa membuat tidak nyaman

Baca Juga: Junta Myanmar Bakar 11 Warga hingga Tewas, Ada Mahasiswa jadi Korban

Sejak militer Myanmar mengambil alih kekuasaan Februari lalu, rangkaian unjuk rasa meletus di penjuru negeri - dan para perempuan turut memainkan peranan penting dalam gerakan perlawanan ini.

Baca juga:

Kalangan kelompok HAM mengatakan militer Myanmar menggunakan taktik penculikan, penyanderaan serta penyiksaan dan kekerasan itu semakin luas sejak kudeta terjadi.

Per 8 Desember 2021, setidaknya 1.318 warga sipil tewas selama pihak militer memberangus gerakan pro-demokrasi, termasuk 93 perempuan, menurut Asosiasi Bantuan Hukum Tahanan Politik (AAPP), organisasi HAM nirlaba.

Sedikitnya delapan perempuan tewas saat berada dalam penahanan, empat di antaranya disiksa sampai mati di sebuah pusat interogasi.

Baca Juga: Hasil Piala AFF Hari Ini: Singapura Menang Tipis atas Filipina, Myanmar Tekuk Timor Leste

Total warga sipil yang sudah ditahan sebanyak 10.200 orang, termasuk lebih dari 2.000 perempuan.

Aktivis Demokrasi Ein Soe May dipenjara selama hampir enam bulan. Pada 10 hari pertama, ia ditahan di salah satu pusat interogasi terkenal, di mana dia mengaku mendapat kekerasan seksual dan penyiksaan.

Soe May mengatakan kepada BBC, suatu pagi, saat membuat poster untuk unjuk rasa, dia ditangkap dan digelandang masuk ke belakang sebuah mobil van.

"Saat saya tiba, itu sudah malam (di suatu lokasi yang dirahasiakan). Mata saya ditutup, dan berusaha untuk menghindari benda-benda imajiner selama menuju ruang interogasi, sehingga mereka bisa mempermainkan saya," kata Soe May.

Dia lalu diinterogasi oleh orang-orang yang menangkapnya dan untuk setiap jawaban yang tidak mereka sukai, mereka akan memukulnya dengan tongkat bambu.

Soe May mengaku juga berulang kali ditekan untuk merinci mengenai kehidupan seksualnya. Seorang penjaga mengancam: "Kamu tahu apa yang kami lakukan pada perempuan yang berakhir di sini? Kami memperkosa dan membunuh mereka."

Dia kemudian diserang secara seksual ketika matanya masih ditutup. "Mereka melorotkan pakaian saya, menyentuh saya, mengeskpos tubuh saya," katanya.

Tutup matanya kemudian dilepas, dan dia melihat seorang penjaga menyisakan satu peluru di pistolnya.

Saat dia tidak memberikan rincian mengenai rekan-rekannya, mereka akan menyuruhya buka mulut dan "memaksakan ujung pistol itu masuk ke dalam mulut," katanya.

Pusat tahanan sementara

Menurut peneliti dari Human Rights Watch (HRW) di Myanmar, Manny Maung, lokasi pusat interogasi "bisa di mana saja, baik dari tempat penahanan sementara, ruangan di barak militer, atau di bangunan yang sudah tidak terpakai".

Hal ini juga diakui oleh seorang pengacara di Myanmar yang berbicara kepada BBC, tapi meminta namanya disembunyikan untuk alasan keselamatan. Dia mengaku bisa mewakili para penyintas yang mengalami penyiksaan dan kekerasan seksual selama interogasi berlangsung.

"Salah satu klien saya merupakan korban salah tangkap. Saat dia menjelaskan bahwa dia bukanlah orang yang dituduhkan militer, dia malah mendapat siksaan berupa batang besi yang digelindingkan di bagian tulang keringnya, berulang kali. Sampai ia pingsan," kata pengacara itu.

Perempuan itu kemudian "dikirim ke pusat interogasi lainnya, di mana dia mengaku bertemu dengan seorang penjaga. Jika ia ingin bebas, maka harus tidur dengan penjaga itu," tambahnya.

Pengacara ini menggambarkan sistem hukum Myanmar yang buram, di mana kuasa hukum seperti dirinya terkadang tak memiliki daya.

"Kami berupaya untuk menentang (penangkapan dan interogasi itu), tapi kami diberi tahu kalau proses itu legal dan (para interogator) sudah mendapat perintah."

Meskipun sulit untuk memverifikasi keterangan Soe May, BBC berbicara kepada perempuan lain yang pernah ditahan, yang juga mengaku mendapat penyiksaan dan kekerasan seksual di pusat interogasi.

"Mereka memaksa saya untuk menunjukkan tiga jari (simbol perlawanan terhadap militer di Myanmar), satu jam kemudian seorang penjaga mengelus rambut saya untuk mengintimidasi," katanya.

Perempuan lain, yang dibawa ke pusat interogasi di kota kecil Shwe Pyi Thar mengatakan: "Mereka menarik para perempuan dari ruangan. Beberapa perempuan kembali dengan kancing baju yang sudah terlepas atau hilang."

'Berita palsu'

BBC menjelaskan kesaksian Soe May kepada Wakil Menteri Informasi Myanmar, Mayor Jenderal Zaw Min Tun. Namun, ia membantah adanya penyiksaan yang dilakukan oleh militer, dan menganggapnya sebagai 'berita palsu'.

Awal tahun ini, militer mempublikasikan foto seorang perempuan yang ditahan. Wajahnya bengkak karena pukulan, dan sudah tak lagi bisa dikenali. Gambar ini kemudian viral.

Dia masih berada di tahanan, dan menghadapi tuduhan kasus penggunaan senjata.

BBC lalu bertanya kepada Mayor Jenderal Zaw Min Tun, kenapa militer tidak menyamarkan bekas luka itu.

Dia menjawab: "Ini terjadi saat proses penangkapan. Mereka berusaha lari, dan kami menangkap mereka."

Ruang tahanan isolasi

Kekerasan tidak hanya terjadi di tempat-tempat interogasi rahasia.

Seorang aktivis yang berusia 50an tahun, yang kami sebut Lin, menggambarkan kepada BBC bagaimana dia ditempatkan di ruang isolasi lebih dari 40 hari di dalam penjara Insein Yangon.

Tak ada apa-apa di dalam ruang tahanan itu, selain pakaian yang ia gunakan - bahkan tidak ada obat-obatan yang dia butuhkan. Selama penahanan, dia semakin lemah.

"Saya terbaring di kegelapan, dan khawatir saya akan mati," katanya. "Kadang-kadang, saya mendengar teriakan dan tangisan dari sel terdekat. Saya terus berpikir, siapa lagi yang dipukuli."

Dia mengenang kembali, suatu hari seorang petugas pria masuk ke dalam selnya dengan beberapa petugas perempuan.

"Ketika mereka pergi, saya perhatikan petugas pria sedang merekam saya," katanya.

Dia kemudian menyampaikan keluhan, tapi dibalas petugas itu "percuma".

Peneliti HRW Manny Maung mengatakan kepada BBC bahwa sering kali penjara yang berkapasitas hanya 100 orang malah diisi 500 tahanan perempuan. Untuk tidur, mereka harus bergantian, karena mereka semua tak bisa berbaring dalam waktu yang bersamaan.

Mereka juga tak mendapatkan kebutuhan dasar sanitasi, katanya, sambil menambahkan langkah itu "mengabaikan hak fundamental para tahanan".

Perempuan yang pernah dibawa ke pusat interogasi di Shwe Pyi Thar juga punya pengalaman dengan penjara ini.

"Perempuan yang baru tiba di pusat interogasi itu penuh luka yang belum sembuh, ada juga yang sedang menstruasi, dan baru boleh mandi setelah tujuh hari ditahan," katanya.

Soe May dibebaskan setelah mendapat pengampunan bersama lebih dari 5.000 tahanan pada Oktober lalu. Ia mengatakan, perlawanannya itu setimpal dengan ketakutan untuk kembali ditangkap.

"Saya tahu, selalu ada kemungkinan saya kembali ditangkap, dan saya mungkin mati, tapi saya ingin melakukan sesuatu untuk negeri saya," katanya.

"Meskpun saya tidak merasa aman, saya ingin melanjutkan upaya menjadi bagian dari perlawanan ini."

Ilustrasi oleh Davies Surya dan Jilla Dastmalchi


BBC 100 Women menyusun daftar 100 perempuan berpengaruh dan inspiratif di penjuru dunia setiap tahun. Kami membuat film dokumenter, feature, dan wawancara tentang kehidupan mereka - cerita yang menempatkan perempuan sebagai pusatnya.

Ikuti BBC 100 Women di Instagram, Facebook dan Twitter. Mari bergabung dalam percakapan dengan menggunakan tagar #BBC100Women.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI