Suara.com - Vonis hukuman empat bulan penjara dengan ketentuan delapan bulan hukuman percobaan dan denda 50 juta rupiah terhadap Rachel Vennya dalam kasus pelanggaran kekararantinaan kesehatan, menuai kritik dari masyarakat karena dinilai terlalu ringan. Apalagi dalam persidangan muncul fakta bahwa selebgram itu membayar Rp40 juta demi bisa lolos dari karantina sepulang dari Amerika Serikat pada September lalu.
Pakar hukum pidana, Asep Iwan Iriawan, mengatakan vonis yang dijatuhkan terhadap Rachel Vennya merupakan kewenangan hakim yang sudah ditentukan oleh undang-undang. Keputusan itu, kata dia, hampir sama dengan kasus pelanggaran kekarantinaan lainnya.
"Kasus itu kan ancamannya satu tahun. Jadi boleh hakim menjatuhkan (vonis itu). Yang tidak boleh itu hakim menjatuhkan lebih dari satu tahun," kata Iwan.
Di sisi lain, epidemiolog Masdalina Pane mengatakan penerapan ketentuan karantina perlu tindakan yang disiplin. Jika itu tidak dilakukan, menurutnya, akan berdampak pada kesehatan masyarakat yang lebih luas seperti yang terjadi pada pertengahan tahun ini.
Baca Juga: Rachel Vennya Tak Dibui, Slamet Maarif Bandingkan Kasus Dengan HRS: Tidak Adil
"Itu kan terjadi karena kegagalan kita melakukan cegah tangkal terhadap Delta yang masuk ke Indonesia," kata Masdalina.
Baca juga:
- PPKM Level 3 dicabut, libur akhir tahun jadi ujian bagi Indonesia apakah mampu tekan kasus Covid
- Mungkinkah muncul varian baru Covid yang berbahaya di Indonesia?
- Covid di Indonesia dapat mencapai 400.000 kasus, varian baru perlu diwaspadai
Dalam persidangan pada Jumat (10/12), selebritas Instagram (selebgram) Rachel Vennya mengaku membayar Rp40 juta kepada pihak yang membantunya meloloskan diri dari karantina selepas pulang dari Amerika Serikat. Pada waktu itu, ketentuan durasi karantina setelah perjalanan luar negeri adalah delapan hari.
Rachel mengaku kepada hakim bahwa dia tidak mau menjalani karantina karena merasa tidak nyaman. Dalam perjalanan sebelumnya, Rachel pernah menjalani karantina selama lima hari, sepulang dari Dubai.
Pengakuan Rachel inilah yang membuat khalayak di media sosial geram dan menilai vonis hakim terhadap dirinya tidak adil dan terlalu ringan. Apalagi hakim meringankan hukuman Rachel karena dia berperilaku sopan dan tidak berbelit-belit saat memberikan keterangan.
Baca Juga: Ternyata Satgas yang MInta, Petugas Bandara Akui Terima Rp40 Juta dari Rachel Vennya
Pakar hukum pidana, Asep Iwan Iriawan, mengatakan vonis yang dijatuhkan terhadap Rachel Vennya merupakan kewenangan hakim yang sudah ditentukan oleh undang-undang. Terkait kesopanan, Iwan menjelaskan hakim memang punya pertimbangan tertentu untuk memberatkan maupun meringankan hukuman.
"Nah, ketika menjatuhkan putusan, hakim harus pertimbangkan berat ringannya hukuman. Sopan santun itu, itu salah satunya, boleh meringankan karena itu dia mengakui, menyesali. Itu wewenangnya hakim. Sekali lagi ini kewenangannya yudikatif," kata Iwan.
Iwan mengatakan beberapa kasus pelanggaran protokol kesehatan sebelumnya, juga memiliki vonis yang ringan, seperti kasus Wakil Ketua DPRD Tegal Wasmad Edi Susilo yang menggelar konser dangdut di tengah pandemi Covid-19. Dia divonis enam bulan penjara dan denda Rp50 juta dengan percobaan selama satu tahun.
Baca juga:
- Hal-hal yang perlu diketahui tentang varian Omicron
- Pembatasan kedatangan internasional di tengah lonjakan kasus dan varian baru, ‘karantina 14 hari, kalau tidak nanti kebobolan’
- Kedatangan WNA China ke Indonesia di tengah larangan mudik, 'Semua hal terkait Tiongkok selalu menjadi isu politik'
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan dalam pesan singkat kepada BBC Indonesia, pelanggaran ini dilakukan oleh oknum satgas karantina. Menurutnya, kasus ini merupakan pelanggaran aturan yang sudah masuk ke ranah hukum.
Satgas karantina terdiri dari lintas sektor, seperti Kementerian Kesehatan, otoritas bandara, Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), dan Kodam Jaya. Kementerian Kesehatan bertugas memastikan kelengkapan dokumen kesehatan para pelaku perjalanan.
Karantina perjalanan luar negeri jadi pencegahan masuknya varian baru
Epidemiolog Masdalina Pane mengatakan penerapan ketentuan karantina perlu tindakan yang disiplin karena dampaknya berkaitan dengan kesehatan masyarakat yang lebih luas. Pelaksanaan karantina, kata dia, harus mengikuti pengendalian wabah yang komandonya dilakukan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO).
"Sampai hari ini WHO belum pernah mengubah interim WHO tentang masa karantina, tetap 14 hari. Tinggal teknik karantinanya, yang di beberapa negara bisa dibicarakan. Tapi, masa karantina tetap 14 hari, no excuse," kata Masdalina.
Masa karantina yang tidak sesuai dengan masa inkubasi virus, dikatakan Masdalina, bakal meningkatkan risiko masuknya variant of concern ke Indonesia, seperti yang terjadi pada pertengahan tahun 2021 ketika Delta menyebar.
Oleh sebab itu Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia tersebut mengkritisi kebijakan pemerintah yang pernah memotong masa karantina menjadi lima atau bahkan tiga hari.
Masdalina menjelaskan pada 50%-60% kasus infeksi Covid, gejala muncul di hari kelima dan hari keenam. Jika masa karantina dihentikan pada hari kelima atau keenam, berarti masih ada kemungkinan 40% dari kasus itu yang berpotensi menyebarkan virus di masyarakat.
Pada sekitar 5% kasus infeksi Covid, gejala baru terlihat pada hari ke-10. Bahkan bagi yang memiliki daya tahan tubuh lebih kuat, gejala baru muncul di hari ke-14 dan terjadi pada 1% kasus infeksi Covid, artinya ada kemungkinan penyebaran sebesar 1%. Masdalina mengatakan, jangka waktu paling aman adalah di hari ke-21.
"Kadang-kadang pemerintah maunya yang enak. Alasannya mempertimbangkan ekonomi. Tapi, kalau kita lihat indeks kita di Bloomberg yang mengakomodasi ekonomi dan kesehatan buruk sekali. Dari 53 negara kita nomor 52," kata Masdalina.
Menurut dia, Indonesia baru bisa memangkas masa karantina jika layanan kesehatan yang ada bisa mencukupi, seperti Singapura. Jika tidak, pemerintah harus siap dengan konsekuensinya.
"Kalau kita mampu mengambil konsekuensi dari mengurangi masa karantina hanya lima hari atau tiga hari saja, yang terjadi itu seperti Delta kemarin. Begitu sudah menjadi transmisi di komunitas, kasus meningkat banyak, kapasitas pelayanan kesehatan nggak mampu untuk menampung mereka semua."
Dalam kasus Omicron kali ini, pemerintah menetapkan masa karantina untuk pendatang internasional dari daerah terjangkit berlangsung selama 14 hari. Di luar negara-negara itu, masa karantina berlangsung selama 10 hari. Sampai 9 Desember, kasus Covid-19 varian Omicron sudah ditemukan di 57 negara.
Selain soal ketetapan durasi karantina, Masdalina menyarankan pemerintah menerapkan sistem karantina mandiri yang didukung sistem informasi dan sistem kesehatan yang mapan. Dia mengatakan, aplikasi PeduliLindungi bisa digunakan untuk membantu dalam hal pengawasan.
"Kan kita punya infrastruktur sampai ke bawah, sampai ke tingkat RT, RW, yang bisa mengawasi mereka juga. Nah, itu didorong dengan aplikasi," katanya.