Buku Harian Rahasia Perempuan Afghanistan Setelah Taliban Berkuasa

SiswantoBBC Suara.Com
Senin, 13 Desember 2021 | 10:27 WIB
Buku Harian Rahasia Perempuan Afghanistan Setelah Taliban Berkuasa
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ketika Taliban menguasai Kabul pada 15 Agustus 2021, satu-satunya tembakan yang mereka lepaskan adalah tembakan perayaan. Tetapi bagi para perempuan Afghanistan, tembakan itu menandakan hilangnya hak dan kebebasan mereka.

Lima perempuan Afghanistan mengirimkan buku harian mereka kepada BBC 100 Women, yang menggambarkan bagaimana kehidupan mereka berubah drastis dalam waktu singkat.

15 Agustus - 'Hari Penghakiman'

Jam menunjukkan pukul 07.30 pagi ketika Maari berangkat bekerja, siap menyambut hari yang akan disibukkan dengan berbagai rapat dan konferensi.

Ketika melangkah keluar, dia mulai menyadari bahwa jalanan saat itu sangat sepi. Tetapi dia tetap berangkat, lalu mengeluarkan ponselnya untuk memeriksa kalender.

Baca Juga: Jerman Siap Tampung 25 Ribu Jiwa Warga Afghanistan yang Terancam Taliban

"Kamu tetap datang bekerja!" kata kolega prianya yang tercengang dengan kedatangan Maari di kantor mereka, yang merupakan sebuah kementerian.

"Saya rasa Kabul tidak akan jatuh ke tangan Taliban," jawab Maari.

Baca juga:

Dia baru saja meletakkan tas ketika bosnya mengonfrontasinya sambil berkata, "Pergilah dan beri tahu semua perempuan untuk pulang".

Maari melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Dia mendatangi setiap ruangan dan meminta semua karyawan perempuan pulang. Namun, Maari tetap tinggal, dan ketika bosnya memintanya untuk pergi, dia menolak.

Baca Juga: Curhat 3 Perempuan Afghanistan Setelah Taliban Kembali Berkuasa

"Selama rekan laki-laki tetap bertahan dan bekerja, saya akan tetap di sini," katanya.

Maari bukan karyawan sembarangan. Dia mantan tentara dan kini memiliki jabatan yang tinggi. Bosnya terpaksa menuruti kemauannya.

Seiring berjalannya waktu, laporan tentang Taliban yang memasuki Kabul sudah tidak mungkin untuk diabaikan. Bos Maari memutuskan menutup kementerian dan meminta seluruh karyawan pulang.

Di sudut kota lainnya, Khatera -seorang guru geografi- baru memulai kelasnya. Sebanyak 40 orang murid, yang semuanya laki-laki, membolak-balik buku mereka untuk menemukan halaman yang tepat.

Tak lama, guru-guru lain memasuki kelas, memegang ponsel mereka. Ada laporan yang saling bertentangan di Facebook: beberapa unggahan melaporkan Taliban sudah berada di Qargha, sebuah kota di pinggiran Kabul, unggahan lainnya melaporkan Taliban berada di Koht-e Sangi dan sudah berada di dalam kota.

Kepala sekolah segera menghentikan proses belajar dan memerintahkan semua orang pulang.

Ketika Khatera sampai di halte bus, dia melihat orang-orang berlarian ke segala arah, membawa barang bawaan dan anak-anak.

"Semua orang menjadi sargardaan," tulisnya. Sagardaan merupakan bahasa Dari, salah satu bahasa yang paling banyak digunakan di Afghanistan, yang berarti"hilang". "Situasinya seperti Hari Penghakiman."

Khatera kemudian berjalan. Mulanya dia tidak merasa khawatir, lalu dia menyaksikan tentara Afghanistan menuju bandara menyandang tas di punggung mereka, anak-anak mereka berjalan mengikuti di belakang, sambil memegang ujung selendang ibu mereka. Semua orang pergi meninggalkan Afghanistan.

Jantung Khatera mulai berdegup kencang. Dia kemudian berlari. Saat itu dia menyadari bahwa Taliban telah kembali.

"Ini adalah mimpi terburuk," gumamnya.

Baca juga:

Pada saat yang hampir bersamaan, seorang mahasiswa di Universitas Amerika Afghanistan, Zala, menerima email yang mengatakan bahwa dia akan dievakuasi ke Amerika Serikat dalam waktu 48 jam ke depan.

Dia kemudian pergi ke Shar-eNaw, sebuah kawasan di wilayah barat laut Kabul yang banyak pertokoan, untuk membeli kebutuhan perjalanannya.

Zala melihat orang-orang berlarian dan bertanya apa yang terjadi. Orang pertama yang dia cegat untuk menanyakan apa yang terjadi, sangat terburu-buru dan tidak sempat menjawabnya. Seorang pria kemudian memberi tahu Zala bahwa Taliban telah menguasai Kabul.

"Saya kehilangan semua kekuatan saya, tangan dan kaki saya gemetar. Bagaimana caranya agar saya bisa pulang?" Zara merenung. Dia menangis ketika melewati kafe dan restoran tempat dia biasa menemui teman-temannya untuk minum kopi dan mendengarkan musik.

Dia terlalu muda untuk merasakan pemerintahan Taliban pada 1990-an, tetapi dia banyak mendengar cerita mengerikan dari orang tuanya yang melalui masa itu. Apabila dia tidak segera menaiki pesawat yang akan mengevakuasinya, seperti itu lah masa depannya.

4 September - Protes para perempuan

Sebelum pengambilalihan kekuasaan, Wahida Amiri, seorang lulusan hukum berusia 31 tahun mengelola sebuah perpustakaan di jantung Kota Kabul. Dia telah mengoleksi hampir 5.000 buku dan bercita-cita mengembangkan jaringan perpustakaannya di seluruh Afghanistan. Dia ingin mendorong agar lebih banyak perempuan Afghanistan bisa membaca.

Bagi Wahida, kedatangan tentara Taliban yang berpatroli di jalan dan mendikte kehidupan orang-orang, perlu ditentang. Seiring berjalannya waktu, dia pun merasa semakin marah.

"Mengapa tidak ada yang bersuara? Mengapa tidak ada yang melakukan sesuatu?" tanya Wahida pada siapa pun yang dia temui.

Setelah dilarang bekerja, Wahida menghabiskan hari-harinya dengan duduk di balkon. Balkon itu dulunya menjadi tempat favorit Wahida di rumahnya, di mana dia bisa mendengar orang berbincang, kicauan burung, dan anjing yang menggonggong. Sekarang suasananya begitu sunyi.

Pada akhir Agustus, dia menghitung jumlah pesawat yang lepas landas dari bandara Kabul, terkadang ada 10 pesawat, terkadang 20 pesawat per hari, membawa orang-orang Afghanistan meninggalkan tanah air mereka.

"Jika semua orang pergi, siapa yang bertahan?" tanya dia. Apakah tidak ada lagi perempuan pelajar yang tersisa?

"Afghanistan telah terluka dan hancur berkeping-keping," pikirnya.

Suatu malam, seorang teman menelepon Wahida dan berkata, "Ayo kita protes".

Sejumlah perempuan lalu berkumpul di rumah temannya itu pada Jumat sore. Mereka menamai diri sebagai Gerakan Spontan Pejuang Perempuan Afghanistan. Pada hari berikutnya, 4 September 2021, mereka turun ke jalan menuntut kesetaraan.

Mereka kemudian bertemu di Foroshgah, sebuah pusat perbelanjaan, dan berencana berjalan sampai ke Istana Presiden. Saat baru berjalan sebentar, mereka dihadang oleh tentara Taliban.

"Mereka berjumlah banyak dan mengelilingi kami. Kami memberi tahu mereka bahwa aksi kami damai, tetapi mereka menembakkan gas air mata ke arah kami dan membuat kami terpojok," kata dia.

Pada hari-hari berikutnya, banyak perempuan mengatakan mereka dicegat, dicambuk, dan dipukuli menggunakan tongkat setrum.

7 September - 'Saya tidak takut dengan senjata Anda'

Hari itu merupakan hari di mana Taliban mendeklarasikan kemenangan di Lembah Panjshir, sebuah provinsi kecil di utara Afghanistan yang dikenal karena perlawanannya terhadap Uni Soviet dan Taliban pada 1990-an.

Pada 2021, Lembah Panjshir menjadi wilayah terakhir yang bertahan di luar kekuasaan kelompok militan itu.

Sebagai orang yang keluarganya berasal dari Lembah Panjshir, Wahida kembali turun ke jalan. Kali ini dia bersama saudara ipar dan enam teman laki-lakinya.

Saat berunjuk rasa menyerukan gencatan senjata di Panjshir, dia bertemu dengan sekelompok tentara Taliban bersenjata AK-47. Salah satu dari mereka mendekati Wahida dan mengancam, "Sebaiknya kamu pulang dan menyiapkan makan siang."

"Saya tidak takut dengan senjata Anda," kata Wahida. "Saya mampu mendebat topik apa pun yang Anda inginkan, dan saya tidak akan pulang untuk memasak."

Keesokan harinya, Taliban melarang aksi protes.

17 September - Menyelamatkan nyawa

Sementara itu, perempuan yang bekerja di bidang medis sulit diremehkan.

Mahera merupakan seorang dokter muda spesialis kebidanan dan ginekologi di salah satu rumah sakit di utara Afghanistan. Dia sempat diam di rumah selama seminggu setelah Taliban mengambil alih kekuasaan. Tetapi, dia kemudian ditelepon untuk kembali bekerja.

Namun, tidak mudah bekerja di bawah kepemimpinan Taliban.

"Mereka membentak semuanya," kata Mahera. "Ketika pasien mengeluh mengenai pelayanan yang kurang atau harga obat, mereka akan datang dan mengintimidasi kami. Mereka mengira kami lah yang memperlakukan pasien dengan tidak adil."

Banyak staf medis telah meninggalkan negara itu. Sebagian besar klinik telah ditutup. Mahera saat ini berkeliling ke 12 distrik untuk memberi perawatan dasar. Ini adalah pekerjaan yang penting, karena Afghanistan merupakan salah satu negara dengan tingkat kematian ibu dan bayi terburuk di dunia.

"Pada hari pertama saya kembali bekerja, saya mengenakan chaderi [pakaian yang menutup kepala hingga kaki]. Di balik itu, saya gemetar," katanya.

"Tetapi seiring berjalannya waktu, saya rasa Taliban sudah terbiasa dengan kami sehingga kami tidak perlu menggunakannya lagi."

25 September - Patah hati

Satu minggu setelah Taliban mengumumkan bahwa sekolah kembali dibuka untuk anak laki-laki di seantero negeri, Khatera menerima telepon yang memintanya untuk masuk sekolah.

Dia mengenakan pakaian sekolah dan berjalan menuju "tempat bahagia" baginya itu. Dia merindukan sekolah, merindukan bau kapur ketika menulis di papan tulis, juga murid-murid yang menanyainya tentang ibu kota. Dia merasa gembira.

Ketika sampai di sekolah, murid-murid jelas senang dengan kehadiran Khatera, tetapi dia dipanggil oleh kepala sekolah. Semua rekan perempuannya juga ada di sana. Mereka diminta menuliskan nama mereka, kemudian diperintahkan pulang.

Mengapa semua guru perempuan dipanggil tanpa alasan? Khatera mengira kepala sekolah mungkin ingin menjilat Taliban dengan menunjukkan tanda tangan para perempuan yang siap bekerja.

Sesampainya di gerbang sekolah, Khatera meluangkan waktu melihat kelas tempat dia mengajar selama 10 tahun. Dia sangat ingin memberi tahu murid-murid laki-lakinya bahwa dia akan kembali suatu saat nanti, tetapi dia tidak kuasa menahan air matanya.

Baca juga:

27 Oktober - 'Mereka mencari kami'

Maari dan rekan-rekannya yang merupakan mantan Tentara Nasional Afghanistan, telah bersembunyi sejak kedatangan Taliban. Taliban menjanjikan pengampunan bagi mantan prajurit dan perempuan, tetapi Maari tidak memercayainya.

"Mereka datang ke area tempat tinggal saya beberapa kali dan menanyai keberadaan kami kepada orang-orang. Mereka menuduh kami menyimpan senjata di rumah dan ingin berbicara dengan kami," kata dia.

Suatu hari, pintu rumah dari salah satu rekan Maari -yang berperang melawan Taliban- diketuk oleh seseorang. Melalui lubang intip, dia mengenali bahwa yang mengetuk pintu adalah seorang penjaga toko, tetapi dia tidak membukakan pintu.

Petugas toko itu kemudian tetap berbicara di depan pintu yang tertutup, mengatakan, "Mereka memiliki fotomu dan mereka menunjukkannya kepada semua orang."

"Aku melihatnya dengan mataku sendiri. Jika kami masih di sini, pergilah. Selamatkan dirimu."

Maari termasuk kelompok yang rentan karena berasal dari komunitas Syiah Hazara yang telah lama mengalami persekusi. Keluarganya yang tinggal di wilayah tengah Afghanistan baru-baru ini diusir dari rumah mereka oleh Taliban. Maari pun tidak punya tempat tujuan.

"Saya bisa saja mati kelaparan karena tidak bisa keluar rumah, dan tidak akan ada yang mengetahuinya," kata Maari kepada saya.

Menurut Maari, masyarakat internasional telah melupakan tentara wanita Afghanistan. Setiap hari dia berupaya menghubungi orang-orang di luar Afghanistan untuk meminta bantuan, tetapi mereka tampak sejauh langit dari Bumi.

5 November - Menunggu dievakuasi

Zala lahir setelah invasi yang dipimpin Amerika Serikat ke Afghanistan. Dia merupakan mahasiswa ilmu politik dan hukum di sebuah universitas bergengsi. Ayahnya adalah orang yang berada sehingga biasa membiayai kuliahnya.

Penerbangan pertama yang direncanakan untuk mengevakuasi mereka tidak terwujud. Sejak saat itu, dia terus mendapat informasi beberapa minggu sekali mengenai kapan dia bisa dievakuasi.

Mereka mengepak tas dan merapikan tempat tidur hanya untuk dibuka dan digunakan kembali setelah penerbangan evakuasi ternyata tidak terwujud. Hal ini telah menjadi rutinitas bagi Zala dan keluarganya.

"Hari ini kami menyimpan semua piring dan peralatan makan karena kami mendapat kabar akan dievakuasi dalam 24 jam ke depan. Mereka menyarankan kami tidak membawa tas besar, jadi saya hanya membawa ransel," tulisnya.

Remaja yang senang bereksperimen dengan penampilannya ini pun telah mengganti skinny jeans, tunik berwarna-warni, dan selendangnya dengan hijab hitam polos.

"Saya tidak pernah mengenakan pakaian seperti ini," kata dia. Zala juga tidak terbiasa dengan itu dan butuh waktu sampai dia bisa menggunakannya dengan benar. "Sekarang saatnya menggunakan jilbab." Dia kemudian menutupi wajahnya agar tidak dikenali ketika pergi keluar.

23 November - 100 hari berlalu

Tepat 100 hari telah berlalu sejak Taliban menguasai Afghanistan dan berhasil masuk ke Kabul. Di sebagian besar provinsi, termasuk Kabul, anak perempuan tetap dilarang pergi ke sekolah menengah.

Perempuan juga masih dilarang bekerja, peran mereka dibiarkan kosong atau digantikan oleh laki-laki.

Ekonomi hancur setelah bantuan internasional terhenti, sedangkan musim dingin telah tiba. Menurut Badan Pangan Dunia, 95% orang Afghanistan tidak memiliki cukup makanan.

Khatera yang bekerja sebagai guru dan Mahera yang berprofesi sebagai dokter adalah satu-satunya pencari nafkah di keluarga mereka. Mereka kini harus berjuang untuk bisa tetap memberi makan keluarga mereka.

Keduanya tidak digaji selama berbulan-bulan.

Setiap tahunnya, memasuki musim dingin seperti saat ini, sistem pemanas sentral di Afghanistan akan dihidupkan, tetapi Khatera tidak mampu membelinya.

6 Desember - Hidup terhenti

Wahida Amiri kian merasa lelah. Tetapi dia bertekad untuk terus bersuara bagi perempuan Afghanistan.

Maari berhasil keluar dari Kabul dan berada di lokasi persembunyian. Dua hari setelah dia pergi, Taliban datang ke rumahnya.

Sedangkan Khatera duduk di rumah di tengah cuaca yang dingin, berharap bisa kembali ke sekolah.

Mahera baru-baru ini dilamar oleh seseorang yang berkaitan dengan Taliban. Dia tidak ingin menikahi pria itu. Setiap hari dia dihadapkan dengan keputusan sulit: menyelamatkan nyawa pasien atau nyawanya sendiri.

Zala, hari ini, kembali mendapat email berisi kemungkinan bahwa dia akan dievakuasi dalam 24 jam ke depan. Dia mulai merasa bahwa dia mungkin tidak akan pernah meninggalkan Afghanistan.

Seluruh nama pada artikel ini telah disamarkan, kecuali Wahida Amiri.

Ilustrasi oleh Ghazal Farkhari / @rasmorwaj

BBC menampilkan daftar 100 perempuan inspiratif dan berpengaruh dari penjuru dunia setiap tahun. Ikuti BBC 100 Women di Instagram, Facebook dan Twitter. Mari bergabung dalam percakapan dengan menggunakan #BBC100Women.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI