Menurut Jaksa Penuntut Umum (JPU) Heru Hidayat telah terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Serta Pasal 55 ayat (1) pertama KUHP dan kedua primair Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sehingga JPU menuntut terdakwa dengan pidana mati. Selain itu, terdakwa diberi hukuman membayar uang pengganti sejumlah Rp 12.643.400.946.226,00 dalam waktu satu bulan. Jika uang ini tidak diganti sesuai waktu yang telah ditentukan, maka Jaksa akan menyita serta melelang harta benda yang dimiliki sebagai uang pengganti.
Sebelumnya, mantan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang menegaskan, solusi dari persoalan hukuman mati yang kontroversial dalam tindak pidana korupsi PT Asabri adalah dengan memaksimalkan hukuman penahanan atau penjara seumur hidup. Bahkan bila ada di dalam hukum positif Indonesia, kalau perlu para koruptor itu dipenjara 100 tahun saja, namun tidak ada opsi untuk hukuman mati dalam penegakan hukum terkait kasus tipikor.
“Masih banyak opsi penghukuman lain. Detail setiap kasus korupsi dalam hal persekongkolan kelompok dan peran siapapun harus dituntaskan. Tidak ada pembenaran penjara penuh, restorative justice dan lainnya. Kalau mau sustain memberantas korupsi, tidak ada cara lain kecuali dengan pendekatan kompleks yang mengadili siapapun, besar atau kecil yang dicuri. Jadi bukan dengan pendekatan hukuman mati agar orang berhenti korupsi karena nilainya besar, misalnya,” ucap Saut.
Diketahui ancaman pidana mati pada kasus Asabri dianggap tidak efektif, pasalnya negara-negara di Eropa, seperti Skandinavia, yang tingkat korupsinya sangat rendah. Ternyata bukan karena adanya ancaman atau penerapan hukuman mati, namun disebabkan oleh praktik hukum yang bagus dan pembenahan sistem lebih baik.