LBH Jakarta Keluarkan Kertas Posisi Soal Kelemahan RUU Penanggulangan Bencana

Sabtu, 11 Desember 2021 | 16:34 WIB
LBH Jakarta Keluarkan Kertas Posisi Soal Kelemahan RUU Penanggulangan Bencana
Pedagang keliling berjalan melewati banjir di Jalan Jatinegara Barat, Kampung Pulo, Jakarta, Sabtu (20/2/2021). ANTARA FOTO
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengeluarkan kertas posisi bertajuk "Sengkarut Penanganan Banjir: Catatan Kritis LBH Jakarta terhadap RUU Penanggulangan Bencana". Kertas posisi itu muncul usai LBH Jakarta mempelajari RUU a quo yang berjumlah 100 pasal dan 13 bab dan menemukan berbagai ketentuan yang masih perlu perbaikan.

Perwakilan LBH Jakarta, Citra Refarandum, menyampaikan, dalam kertas posisi yang telah disusun, pihaknya fokus membahas penanggulangan banjir. Sebab, bencana itu telah menjadi "langganan" bagi masyarakat Ibu Kota dan daerah penyangga lainnya.

"Catatan kritis ini nantinya diharapkan dapat menjadi masukan bagi legislatif dan eksekutif dalam merumuskan ketentuan yang mampu mengakomodasi serangkaian upaya demi melindungi rakyat dari ancaman bencana, khususnya banjir," kata Citra di kantor LBH Jakarta, Sabtu (11/10).

Secara agregat, kata Citra, sepanjang 2020 tercatat sebanyak 603 Kelurahan dengan 42.383 keluarga terdampak banjir di DKI Jakarta. Merujuk data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), telah terjadi sebanyak 1.065 keiadian banjir di Indonesia sepanjang tahun 2020.

Baca Juga: Aset Kripto Ethereum Retas Akun YouTube BNPB Indonesia

"Tahun 2021 bencana ini tetap mendominasi," ucap Citra.

Dalam data BNPB, banjir merupakan bencana tertinggi dengan total 53 kejadian sejak 1 Juli hingga 31 Juli 2021.

LBH Jakarta juga mempunyai data merujuk Pos Pengaduan Banjir dan CMS tahun 2020-2021, dengan total 37 aduan, ditemukan berbagai permasalahan riil yang masyarakat terdampak hadapi.

Mulai dari masalah tata ruang, sistem tanggap darurat, kesulitan akses terhadap bantuan sosial, tidak maksimalnya upaya penanggulangan banjir, dan nihilnya ganti kerugian yang layak.

Tidak hanya itu, masyarakat turut mengalami kerusakan infrastruktur, perlindungan terhadap kelompok rentan, dan tidak adanya tempat pengungsian. Kemudian, masyarakat juga merasakan dampak berupa kerusakan dan kehilangan barang berharga, modal usaha terendam banjir, tidak dapat bekerja, hingga menurunnya kesehatan fisik dan mental.

Baca Juga: Sidang Perdana Gugatan Korban Pinjol Terhadap Jokowi Ditunda

Citra melanjutkan, dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan PP No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, saat ini nyata memiliki banyak kelemahan. Kedua peraturan tersebut, ucap Citra tidak mampu menjawab berbagai masalah yang ada.

"Termasuk persoalan ketidakadilan gender dan inklusi sosial," ucap dia.

Dalam catatan LBH Jakarta, ada sejumlah kemelut praktik penanggulan bencana oleh pemerintah. Pertama, pemerintah seringkali menggunakan faktor alam sebagai penyebab utama banjir.

Kedua, antara pemerintah pusat dan daerah saling Tempar tanggung jawab. Ketiga, normalisasi sungai yang cenderung tidak tepat karena Pada dasarnya hanya melakukan betonisasi dan menggusur masyarakat miskin.

Keempat, kurang serius melakukan pencegahan dan pemulihan. Kelima, tidak mengevaluasi dampak kebijakan pembangunan yang tidak sebanding dengan daya dukung dan daya tampung ingkungan hidup.

Keenam, upaya-upaya pemerintah hanya berkutat pada level teknis dan pmerintah seolah menjadi 'pemadam kebakaran' karena segala upaya hanya sebatas tanggap darurat. Ketujuh, minim sekali nelibatan masyarakat dari berbagai kelompok.

16 Kelemahan

Terkait RUU Penanggulangan Bencana, kata Citra, juga tidak jauh berbeda. LBH Jakarta mencatat ada 16 kelemahan dalam pengaturannya.

Citra mengatakan, kelemahan pertama adalah soal paradigma penanggulangan bencana yang masih berfokus terhadap tanggap darurat semata bukan penanggulangan secara holistik. Salah satunya, tidak bisa memastikan pencegahan terjadinya bencana.

Kedua, hak asasi manusia tidak menjadi dasar hukum dalam RUU tersebut. Kelemahan ketiga adalah tidak tepat mengatur banjir dalam definisi.

Kelemahan keempat yakni tidak berasaskan pemberdayaan masyarakat. Kelima, tidak memasukkan asas keadilan gender. Keenam, tidak inklusif bagi penyandang disabilitas.

Ketujuh, kebutuhan masyarakat terdampak bencana sangat umum. Kedelapan, adanya ancaman penggusuran paksa.

Kesembilan, pemanduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan hanya tempelan. Kesepuluh, Hal penting seperti kajian, penetapan status dan evaluasi tidak merata di setiap tingkat bencana.

Kelemahan kesebelas adalah soal potensi tumpang tindih kewenangan. Keduabelas, tidak ada mekanisme pengawasan.

"Ketigabelas, tidak menjamin keterbukaan informasi publik. Keempatbelas, sarana prasarana: tidak memadai dan tidak ada revitalisasi. Kelimabelas, pelibatan TNI POLRI menghidupkan kembali dwi fungsi," pungkas Citra.

Memperhatikan catatan di atas, LBH Jakarta menuntut kepada Pemerintah dan DPR RI agar:

1. Menerima dan menelaah Catatan Kritis LBH Jakarta terhadap RUU Penanggulangan Bencana.

2. Membuka ruang partisipasi publik dan melibatkan masyarakat dalam pembahasan RUU a quo terutama masyarakat yang rentan terdampak banjir, termasuk pula kelompok minoritas dan rentan seperti perempuan, minoritas identitas gender dan orientasi seksual, lansia, disabilitas, serta kelompok lain yang secara sosial berpotensi dipinggirkan.

3. Melibatkan akademisi/ahli dan jaringan masyarakat sipil seperti organisasi bantuan hukum, organisasi pendamping, lembaga penelitian yang memiliki keahlian dan pengalaman relevan dengan penanggulangan bencana.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI