Konflik tak berujung antara TNI-Polri dengan Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) memaksa banyak masyarakat mengungsi. KontraS memandang, hal itu semakin menunjukkan bahwa negara gagal dalam menjamin hak atas rasa aman yang sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Situasi tak menentu yang melanda masyarakat Papua semakin diperkeruh oleh tingkah pemerintah yang terkesan malah memperpanjang konflik. Hal itu terbukti dengan diturunkannya 5.265 personel TNI-Polri ke Papua.
"Pendekatan militerisme dan pengarusutamaan sukuritas sebagai jalan keluar penyelesaian konflik di Papua sampai hari ini terbukti tidak berhasil serta hanya memakan korban," ucap Andi.
Selain pendekatan militer, pelanggaran HAM di Papua terus dilanggengkan dengan bentuk lain, yaitu pengekangan hak berekspresi. Dalam kurun waktu satu tahun ke belakang, KontraS mencatat asa 25 peristiwa yang berkaitan dengan pelanggaran kebebasan sipil yang berkaitan dengan isu Papua.
"Adapun kondisi korban yakni sebanyak 7 luka-lula dan 275 ditangkap," terang Andi.
Kriminalisasi
Contoh kasus yang mencuat berkaitan dengan kriminalisasi dan penangkapan menyasar aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Victor Yeimo. Dia ditangkap karena menyerukan referendum kemerdekaan Papua Barat pada 2019 lalu.
KontraS memandang, tren kekerasan dan pelanggaran hak sipil di Papua akan terus terjadi jika tidak ada upaya deeskalasi kekerasan dan destigmatisasi gerakan separatis. Metode pendekatan militer yang kian masif juga tidak akan mengubah keadaan.
Tidak hanya itu, pelanggaran HAM di Papua juga menyasar pada ranah ekonomi, sosial, dan budaya. Hutan adat di Papua akan dihabisi secara perlahan demi kepentingan investasi perkebunan dan pertambangan.
Baca Juga: KontraS: Negara Aktor Utama Penyusutan Ruang Kebebasan Sipil
"Belum lagi nafsu besar food estate yang terus menggerus hutan yang ada di Papua. Misi-misi tersebut tentu akan melibatkan aparat dengan tujuan pengamanan," tutup Andi.