Deretan Kasus HAM di Papua: Hegemoni Militer hingga Perampokan Hutan Berkedok Food Estate

Jum'at, 10 Desember 2021 | 15:27 WIB
Deretan Kasus HAM di Papua: Hegemoni Militer hingga Perampokan Hutan Berkedok Food Estate
KontraS, dalam catatan bertajuk "HAM Dikikis Habis" menyatakan, sepanjang Desember 2020 hingga November 2021 terjadi 39 peristiwa kekerasan yang dilakukan aparat TNI-Polri di Papua. (Suara.com/Arga)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua menjadi salah satu hal yang masuk dalam catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) terkait situasi dan kondisi HAM di Indonesia dalam kurun waktu satu tahun terakhir. 

Termutakhir, kepolisian menetapkan 8 mahasiswa Papua pengibar bendera Bintang Kejora di GOR Cenderawasih, Papua sebagai tersangka dan disangkakan tindak pidana makar.

Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti, mengatakan, masyarakat Papua yang menyuarakan soal situasi HAM atau mau menyampaikan soal penentuan nasib sendiri, selalu dikaitkan dengan isu melakukan tindakan makar. Padahal, kata Fatia, hak menentukan nasib sendiri adalah hal yang wajar.

"Dan ini merupakan sebuah kebebasan berekspresi yang seharusnya dijamin oleh konstitusi," kata Fatia di kantor KontraS, Kramat, Jakarta Pusat, Jumat (10/12).

Baca Juga: KontraS: Negara Aktor Utama Penyusutan Ruang Kebebasan Sipil

Dalam pandangan Fatia, pemerintah seharusnya melakukan korektif dalam konteks wacana Papua yang hendak lepas dari Tanah Air. Upaya korektif itu disarankan guna mengetahui apakah pemerintah telah memberikan layanan publik terhadap masyarakat Papua atau tidak.

"Seharusnya ini dapat menjadi upaya korektif pemerintah untuk bisa melihat, apakah yang menjadi kekurangan pemerintah sebagai pelayan publik untuk masyarakat Papua," jelas dia.

Ratusan Korban Kekerasan

KontraS, dalam catatan bertajuk "HAM Dikikis Habis" menyatakan, sepanjang Desember 2020 hingga November 2021 terjadi 39 peristiwa kekerasan yang dilakukan aparat TNI-Polri di Papua. Tindakan kekerasan itu meliputi penangkapan sewenang-wenang, penembakan, pembubaran paksa, hingga penyiksaan.

"Rangkaian kekerasan tersebut telah menimbulkan sebanyak 170 korban baik tewas, luka, maupun ditangkap," kata Kepala Divisi Hukum KontraS, Andi Muhammad Rezaldi.

Baca Juga: Tepat Hari HAM Internasional, KontraS Keluarkan Catatan Bertajuk HAM Dikikis Habis

Andi menyampaikan, situasi yang kian memanas di Papua tidak lepas dari pendekatan keamanan yang terus dilakukan oleh pemerintah pusat. Situasi tersebut, dalam bayang-bayang ketakutan, kerap menyelimuti masyarakat Papua. 

Konflik tak berujung antara TNI-Polri dengan Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) memaksa banyak masyarakat mengungsi. KontraS memandang, hal itu semakin menunjukkan bahwa negara gagal dalam menjamin hak atas rasa aman yang sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Situasi tak menentu yang melanda masyarakat Papua semakin diperkeruh oleh tingkah pemerintah yang terkesan malah memperpanjang konflik. Hal itu terbukti dengan diturunkannya 5.265 personel TNI-Polri ke Papua.

"Pendekatan militerisme dan pengarusutamaan sukuritas sebagai jalan keluar penyelesaian konflik di Papua sampai hari ini terbukti tidak berhasil serta hanya memakan korban," ucap Andi. 

Selain pendekatan militer, pelanggaran HAM di Papua terus dilanggengkan dengan bentuk lain, yaitu pengekangan hak berekspresi. Dalam kurun waktu satu tahun ke belakang, KontraS mencatat asa 25 peristiwa yang berkaitan dengan pelanggaran kebebasan sipil yang berkaitan dengan isu Papua.

"Adapun kondisi korban yakni sebanyak 7 luka-lula dan 275 ditangkap," terang Andi.

Kriminalisasi

Contoh kasus yang mencuat berkaitan dengan kriminalisasi dan penangkapan menyasar aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Victor Yeimo. Dia ditangkap karena menyerukan referendum kemerdekaan Papua Barat pada 2019 lalu.

KontraS memandang, tren kekerasan dan pelanggaran hak sipil di Papua akan terus terjadi jika tidak ada upaya deeskalasi kekerasan dan destigmatisasi gerakan separatis. Metode pendekatan militer yang kian masif juga tidak akan mengubah keadaan. 

Tidak hanya itu, pelanggaran HAM di Papua juga menyasar pada ranah ekonomi, sosial, dan budaya. Hutan adat di Papua akan dihabisi secara perlahan demi kepentingan investasi perkebunan dan pertambangan.

"Belum lagi nafsu besar food estate yang terus menggerus hutan yang ada di Papua. Misi-misi tersebut tentu akan melibatkan aparat dengan tujuan pengamanan," tutup Andi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI