Suara.com - Koalisi Pembela HAM menyerukan agar kekerasan terhadap para pembela HAM untuk segera dihentikan. Koalisi itu terdiri dari Amnesty International Indonesia, ELSAM, Greenpeace, ICEL, Imparsial, Institute for
Women’s Empowerment, Kemitraan, KontraS, LBH Pers, SAFEnet, YLBHI, dan YPII.
Dalam siaran persnya, Kamis (9/12), Koalisi Pembela HAM menyatakan, serangan terhadap para pembela HAM terus melonjak setiap tahunnya. Dalam catatan YPII pada 2019 misalnya, 290 pembela HAM menjadi korban kekerasan.
Pada tahun 2020, Amnesty International mencatat 253 orang dan pada tahun 2021 jumlah korban mencapai 297 orang. Jika dilihat dari isu sektoral, sepanjang 2020 ELSAM mencatat ada 178 Pembela HAM di isu lingkungan yang mengalami kekerasan dan dua diantaranya meninggal akibat pembunuhan.
"Pun halnya laporan ELSAM pada periode Januari-Agustus 2021 menyebutkan sebanyak 95 korban individu dan kelompok mengalami ancaman dan kekerasan."
Baca Juga: Mengintip Sejarah Hari Hak Asasi Manusia 10 Desember
Tidak hanya itu, kekerasan terhadap pembela HAM pun beragam bentuk kekerasan dan ancaman yang terjadi. Contoh kekerasan yang kekinian melonjak drastis adalah serangan digital, kriminalisasi dengan menggunakan
pasal karet dan serangan berbasis gender.
SAFEnet mencatat 147 insiden serangan digital sepanjang 2020. Puncaknya, serangan terjadi saat penolakan Omnibus Law di bulan Oktober 2020.
Pada 2021 per bulan November, terjadi 120 insiden. Puncaknya adalah serangan terjadi pada bulan Mei yang menyasar aktivis anti korupsi dari Indonesia Corruption Watch dan mantan anggota KPK yang dipecat karena tidak lulus TWK.
Koalisi mengatakan, upaya kriminalisasi terhadap para pembela HAM terus berlangsung. Kasus terbaru yang menjadi perhatian publik adalah kasus Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar hingga teror bahan peledak yang menimpa kekuarga pembela HAM, Veronica Koman.
"Serangan pada pembela HAM acap terjadi ditujukan pada keluarga dan kerabat dekat yang tidak terlibat dalam advokasi yang dilakukan pembela HAM tersebut."
Baca Juga: Jelang Hari HAM, Koalisi Sipil: Pemerintah Memperburuk Kondisi HAM Indonesia Saat Pandemi
Jurnalis rupanya tidak luput dari serangan dan potensi kriminalisasi karena pekerjaannya. Contoh paling baru adalah kasus yang menimpa Asrul di Palopo dan Nurhadi di Surabaya.
Koalisi mengatakan, strategi pembangunan rezim Jokowi yang berorientasi infrastruktur, ekonomi dan investasi, memperburuk situasi perlindungan dan keamanan Pembela HAM. Sebab, acap mengabaikan HAM bahkan memperluas konflik dan melanggengkan serangan pada Pembela HAM.
Sementara itu, lanjut koalisi, dari segi aktor pelaku penyerangan, Komnas HAM mencatat bahwa Kepolisian menjadi pihak yang sering diadukan sebagai pelaku dalam kasus pelanggaran HAM.
"Ditetapkannya tanggal 7 September 2021 sebagai Hari Pembela HAM Nasional sesungguhnya menjadi harapan baik, untuk menghormati dan memenuhi hak-hak Pembela HAM dan melahirkan usulan kebijakan perlindungan pada pembela HAM, misalnya UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya pasal 66 di mana pejuang lingkungan tidak dapat dipidanakan meskipun kebijakan turunanya dalam bentuk Permen Anti-SLAPP belum terealisasi. "
Berdasarkan uraian tersebut dan bertepatan dengan hari Pembela HAM Internasional, Koalisi Pembela HAM mendesak:
- Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin mewujudkan perlindungan dan keamanan bagi Pembela HAM dan menyetujui menjadikan 7 September sebagai hari Pembela HAM Nasional.
- DPR-RI meneguhkan komitmen dan janji politik untuk melakukan revisi UU HAM No.39/1999 dalam Prolegnas 2022 dengan memasukkan ketentuan perlindungan pada Pembela HAM.
- Pemerintah dan DPR-RI agar melakukan amandemen pada UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan mencabut pasal karet di berbagai undang-undang yang seringkali digunakan sebagai alat mengkriminalisasi Pembela HAM.
- Aparat penegak hukum khususnya Kepolisian dan Kejaksaan agar menerapkan prinsip anti-SLAPP dalam penanganan perkara Pembela HAM.
- Komnas HAM segera melakukan diseminasi SNP No. 6 tentang Pembela HAM ke seluruh jajaran Kementerian dan Kelembagaan dan menerbitkan revisi Peraturan Komnas HAM No. 5/2015 tentang Prosedur Perlindungan Pembela HAM juga mempercepat penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap Pembela HAM, khususnya menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran berat HAM.