Kisah Ibu Selamatkan Para Perempuan dari Tuduhan Sihir di Papua Nugini

SiswantoBBC Suara.Com
Rabu, 08 Desember 2021 | 15:07 WIB
Kisah Ibu Selamatkan Para Perempuan dari Tuduhan Sihir di Papua Nugini
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - "Mereka berteriak di muka saya: 'Kamu membunuhnya'."

Ketika ayah Monica Paulus jatuh dan meninggal dunia karena serangan jantung, saudara laki-lakinya menuduh Monica telah membunuh ayah mereka menggunakan sihir.

Monica diancam akan dibunuh dengan siksaan.

"Itu mengejutkan saya. Semua teman yang saya miliki, semua keluarga, mereka berpaling dan membuat saya merasa seperti orang jahat," katanya. "Ketika mereka menuduh, saya bisa merasakan rasa malu, stigma."

Baca Juga: Benarkah Nabi Muhammad Terkena Sihir ?

Baca juga:

Dia terpaksa meninggalkan kampung halamannya dan tinggal di pengasingan di provinsi lain di Papua Nugini, sebuah negara pulau di Pasifik barat daya.

Tapi cerita Monica tidak unik di Papua Nugini - dan ada yang jauh lebih buruk.

'Ini barbar'

Kekerasan terkait tuduhan sihir (sorcery accusation related violence - SARV) marak di Papua Nugini.

Meskipun tidak ada data tersedia yang dapat dipercaya untuk mengetahui seberapa sering hal itu terjadi, angka pemerintah mengatakan ada sekitar 6.000 insiden dalam 20 tahun terakhir.

Baca Juga: Sinopsis Witch's Love: Yoon So Hee Kehilangan Kemampuan Sihir Gegara Patah Hati

Namun perkiraan menunjukkan, angka ini lebih tinggi, dengan ribuan korban - biasanya perempuan dan anak perempuan - dituduh setiap tahun. Mereka sering menjadi sasaran kekerasan brutal dan seksual.

Tuduhan sering mengikuti terjadinya kematian mendadak atau penyakit yang tidak dapat dijelaskan.

"Kita berbicara tentang tingkat kekerasan yang ekstrem, yang terburuk yang pernah saya lihat," kata Stephanie McLennan, manajer inisiatif senior Asia di Human Rights Watch, yang telah bekerja secara ekstensif dalam isu SARV.

"Ada serangan massa yang sangat kejam dan korban ditawan, disiksa, dibakar dengan batang besi, pakaian mereka ditelanjangi, dan mereka dibunuh. Benar-benar biadab."

Kasus Mary Kopari menjadi berita utama internasional tahun ini ketika dia dibunuh secara brutal setelah kematian anak laki-laki berusia dua tahun.

Mary sedang menjual kentang di pasar ketika massa menangkapnya dan membakarnya hidup-hidup.

Tidak ada pelaku yang ditangkap, meskipun insiden itu direkam dan diberitakan oleh media lokal.

Beberapa perempuan lain juga menjadi sasaran tetapi berhasil melarikan diri ke hutan, kata McLennan.

Disalibkan di jalanan

Ketika Monica menghadapi tuduhan sihir, beruntung dia bisa melarikan diri.

"Saat mereka menuduh saya membunuh dengan sihir, saya dibatasi. Mereka tidak membutuhkan bukti.

"Saya dilarang menghadiri pemakaman ayah, saya tidak bisa ambil bagian sama sekali. Saya tahu saya tidak lagi mendapat tempat di keluarga, komunitas, atau suku saya," kenangnya.

Monica percaya kakaknya adalah orang yang menuduhnya melakukan sihir sehingga bisa mewarisi rumah.

Tetapi tidak semua tuduhan memiliki motif keuangan - banyak yang berasal dari keyakinan yang mengakar.

"Sihir begitu mendarah daging pada manusia," jelas Monica.

"Bahkan ketika saya masih kecil, ada pembunuhan, tetapi itu diterima di masyarakat - meskipun penyiksaan yang mereka alami tidak separah sekarang."

"Sebelumnya mereka membunuh secara diam-diam, sekarang perempuan dibawa ke jalan dan disalibkan. Ini benar-benar tidak manusiawi."

Krisis covid-19 memperparah tuduhan sihir

Selama dua tahun terakhir, lonjakan kasus Covid-19 yang dikonfirmasi mungkin terkait dengan peningkatan kekerasan terkait sihir, menurut Human Rights Watch.

"Pasti ada kekhawatiran besar bahwa Covid akan memperburuk krisis ini - dan kekerasan berbasis gender adalah krisis," kata McLennan.

Ini karena keragu-raguan vaksin dan penolakan Covid "sangat besar" di negara itu, kata McLennan, yang berarti kematian yang disebabkan oleh Covid dikaitkan dengan sihir.

Awal tahun ini seorang perempuan dan putrinya diselamatkan oleh polisi setelah mereka ditahan dan disiksa, dituduh melakukan sihir ketika suaminya meninggal karena infeksi Covid-19.

Laporan berita lokal mengatakan perempuan berusia 45 dan 19 tahun itu menderita patah lengan dan luka bakar akibat hantaman batang besi panas.

Pemerintah negara itu kini telah membentuk komite parlemen untuk menangani kekerasan ini.

Ketuanya, Hon Charles Abel, mengatakan: "Kekerasan adalah kanker yang memakan Papua Nugini [dan] masyarakat. Kami adalah negara Kristen tetapi membunuh orang atas nama sihir bukanlah perilaku Kristen.

"Orang-orang dibunuh secara brutal dan ini tidak bisa ditoleransi. Covid-19 memperburuk ini, karena orang-orang menggunakannya sebagai alasan untuk mencap orang-orang lain sebagai penyihir. Itu harus dihentikan."


Kekerasan sihir, dalam jumlah

  • 6.000 insiden SARV, dengan sekitar setengahnya mengakibatkan kematian, tercatat di Papua Nugini antara tahun 2000 dan Juni 2020, menurut laporan parlemen tentang kekerasan berbasis gender.
  • Insiden tidak terbatas pada masyarakat pedesaan - laporan tersebut juga menemukan 156 kasus yang terdokumentasi terjadi di ibu kota distrik selama 42 bulan terakhir.
  • 19 vonis untuk pelanggaran SARV per tahun, rata-rata, tercatat antara 2010 dan 2020 - menunjukkan sedikit peningkatan setelah pencabutan Undang-Undang Sihir pada 2013, yang menghapus tuduhan sihir sebagai pembelaan dalam pengadilan pembunuhan.
  • Perburuan penyihir modern tidak hanya terjadi di Papua Nugini - negara-negara lain seperti Arab Saudi, Gambia dan Nepal juga mengalami insiden mirip - SARV, menurut Institut Internasional untuk Kebebasan Beragama.

Membela korban

Setelah pengalaman itu, Monica mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi orang lain dari perburuan penyihir.

"Saya telah melihat perubahan dari waktu saya mengerjakan masalah ini, tetapi saya tidak melihat perubahan besar - terutama dengan virus corona," katanya.

Ketika tinggal di pengasingan, di bagian lain Papua Nugini, Monica mengatakan dia melihat seorang perempuan dirajam sampai mati di lapangan umum.

Seorang pria telah berusaha memperkosanya sehingga dia menggigit lidahnya, dan dia menuduhnya sebagai penyihir.

"Dia dibunuh di depan pejabat pemerintah yang hanya menyaksikan itu terjadi," katanya. "Saya tahu pada saat itu saya harus melakukan sesuatu."

Monica ikut mendirikan Gerakan Pembela Hak Asasi Perempuan Dataran Tinggi (Highlands Women Human Rights Defenders Movement), dan memperkirakan telah menyelamatkan lebih dari 500 orang dalam 15 tahun sejak mereka mulai membantu para korban SARV.

Para relawan membantu dalam berbagai cara, termasuk relokasi, menyediakan makanan dan nasihat hukum untuk meminta pertanggungjawaban pelaku.

"Merelokasi orang dan menyelamatkan nyawa adalah penting, tetapi kita perlu mendapatkan keadilan bagi para perempuan. Jika masyarakat melihat keadilan maka mungkin kita bisa berubah pikiran dalam hal tuduhan sihir," tambah Monica.

Setelah dia memulai pelayanan ini, rumah Monica dilalap api. Dia sekarang telah meninggalkan negara itu sama sekali, hidup sebagai pengungsi di dekat Australia.

"Sangat sulit berada jauh dari ketiga anak saya," katanya. "Jika mereka aman maka saya akan damai, tetapi saya terluka."

'Kami butuh bertindak'

Papua Nugini telah mengikuti Tinjauan Berkala Universal di depan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bulan lalu, yang menyimpulkan bahwa pemerintahnya harus secara serius menangani masalah hak asasi manusia di negara itu, khususnya kekerasan berbasis gender.

Italia dan Siprus sama-sama menekan pemerintah Papua Nugini secara khusus pada SARV dan mendesak mereka untuk mengambil langkah-langkah untuk mencegah insiden.

Gubernur Allan Bird, wakil ketua komite parlemen bidang kekerasan berbasis gender, mengatakan kepada BBC bahwa untuk pertama kalinya "sejumlah besar" dana telah disisihkan dalam anggaran pemerintah tahun 2022 untuk memerangi SARV.

Dia menambahkan: "Ini [dana] seharusnya memungkinkan lembaga yang bertanggung jawab dan LSM yang telah meminta bantuan selama beberapa dekade untuk akhirnya merespons... [meskipun] masih harus dilihat apakah kita dapat mengatasi tantangan implementasi yang signifikan."

Sementara itu, sebagian besar tanggung jawab dipegang oleh relawan untuk melindungi korban.

"Monica dan aktivis lainnya telah begitu lama mengisi kekosongan yang seharusnya disediakan oleh pemerintah," kata McLennan. "Tanpa mereka, kita akan memiliki lebih banyak kematian di tangan kita."

Dan Monica tidak menyerah.

"Kami membutuhkan tindakan skala penuh untuk melihat perubahan budaya," katanya. "Kami hanya menyelamatkan beberapa nyawa - ada begitu banyak yang tidak bisa kami selamatkan."


BBC 100 Women memilih 100 perempuan berpengaruh dan inspiratif di seluruh dunia setiap tahun. Ikuti BBC 100 Women di Instagram, Facebook, dan Twitter. Bergabunglah dengan percakapan menggunakan #BBC100Women.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI