Ming memperingatkan bahwa kekerasan yang sedang berlangsung antara militer dan kelompok-kelompok bersenjata pro-demokrasi akan menimbulkan "krisis kemanusiaan." "Tanpa tanggapan internasional yang tegas, terpadu dan cepat, ini bisa dan akan menjadi lebih buruk," kata Ming dalam siaran persnya.
UE sebut putusan sebagai 'kemunduran besar' bagi Myanmar Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa (UE), Josep Borrell, mengatakan pada Senin (06/12) bahwa UE mengecam keras putusan "bermotivasi politik" sebagai "kemunduran besar" bagi demokrasi di Myanmar.
"Ini merupakan langkah lain menuju pembongkaran supremasi hukum dan pelanggaran hak asasi manusia lebih lanjut di Myanmar," kata Borrell dalam sebuah pernyataan. Ia menambahkan bahwa tindakan militer menunjukkan "penghinaan total terhadap kehendak rakyat" di Myanmar.
"Rakyat Myanmar sangat menolak kudeta militer dan menunjukkan keinginan mereka yang tak tergoyahkan untuk sebuah negara di mana aturan hukum, hak asasi manusia dan proses demokrasi dihormati, dilindungi, dan dijunjung tinggi," kata Borrell. Aye Min Thant, seorang jurnalis Myanmar yang saat ini berbasis di Bangkok, mengatakan kepada DW bahwa keputusan itu kemungkinan akan memperkuat gerakan pro-demokrasi di negara itu. "Sekarang kita telah melihat pemerintahan paralel muncul, kita telah melihat gerakan pembangkangan sipil yang besar," kata Aye.
"Saya tidak berpikir putusan ini mengejutkan kebanyakan orang. Saya pikir orang-orang telah merencanakan untuk melanjutkan perlawanan tanpa Aung San Suu Kyi sebagai pemimpin," tambah Aye.
Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) Myanmar yang dibentuk setelah kudeta oleh anggota parlemen yang dipilih secara demokratis dan menganggap diri mereka sebagai pemerintah di pengasingan, mengatakan dijatuhkannya hukuman tersebut sebagai "hari yang memalukan bagi supremasi hukum, keadilan dan akuntabilitas" di Myanmar.
"Junta militer brutal hari ini menegaskan bahwa mereka melihat diri mereka berada di atas hukum," kata juru bicara NUG, Salai Maung Taing Sang, seraya mendesak sanksi lebih lanjut terhadap aset dan bisnis yang dimiliki oleh militer.
PBB dan ASEAN menolak putusan Komisioner hak asasi manusia PBB Michele Bachelet mengatakan hukuman Suu Kyi melalui "pengadilan palsu" adalah upaya junta untuk "memanfaatkan pengadilan untuk menyingkirkan semua oposisi politik."
"Kasus-kasus ini tidak dapat memberikan lapisan hukum terhadap ketidakabsahan kudeta dan kekuasaan militer," kata Bachelet dalam sebuah pernyataan. Ia menambahkan bahwa putusan itu hanya akan "memperdalam penolakan terhadap kudeta."
Baca Juga: Human Rights Watch Sebut Persidangan Aung San Suu Kyi Tidak Adil
"Ini akan mengeraskan posisi ketika yang dibutuhkan adalah dialog dan penyelesaian politik yang damai dari krisis ini," katanya. Sementara ASEAN menyebut tuduhan terhadap Suu Kyi tidak lebih dari "alasan oleh junta untuk membenarkan perebutan kekuasaan ilegal mereka." Sebelumnya pada bulan Oktober, ASEAN tidak mengundang pemimpin junta, Min Aung Hlaing, dalam KTT para pemimpin tahunannya.