Suara.com - Sistem peringatan dini yang tidak sampai ke masyarakat dan tata ruang pemukiman yang berada di wilayah rawan bencana disebut pakar vulkanologi menjadi beberapa faktor yang menyebabkan munculnya korban jiwa dalam erupsi Gunung Semeru, Sabtu (04/12) lalu.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Senin (06/12) pukul 20.15 WIB, setidaknya 22 orang tewas, sementara 22 orang dinyatakan hilang dan 56 lainnya mengalami luka-luka. Erupsi juga berdampak terhadap 5.205 jiwa.
Sejumlah pihak mempertanyakan mengapa tak ada peringatan dini.
Di lapangan, sejumlah warga mengaku tidak mendapatkan peringatan dini terkait prediksi munculnya erupsi.
Baca Juga: Soroti Aksi Khofifah saat Kunjungi Korban Semeru, Sudjiwo Tedjo: Sudah Bagus, Tidak Norak
Namun, Kepala PVMBG Andiani menyebut telah memberikan peringatan dini ke pemerintah daerah, tokoh masyarakat setempat, dan pihak terkait lainnya untuk mengantisipasi awan panas guguran.
Baca juga:
- Gunung Semeru erupsi: Korban meninggal bertambah jadi 15, pencarian terhenti akibat hujan dan angin kencang
- Gunung Semeru dan Gunung Ili Lewotolok dalam rangkaian foto
- Dari Danau Toba sampai Labuan Bajo, 'boom baru destinasi wisata berikutnya'?
Indonesia memiliki 127 gunung aktif, terbanyak di dunia dan menduduki peringkat pertama dengan jumlah korban jiwa.
Dari jumlah tersebut, 69 gunung api aktif dipantau oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), menurut situs Kementerian Energi dan Sumber daya mineral, ESDM.
'Tidak ada peringatan dini'
Siang itu, Sabtu (06/12), Ponidi tengan beristirahat di rumahnya. Tiba-tiba, ia mendengar suara teriakan dari luar.
Baca Juga: Tahlilan dan Doa Bersama Buat Para Korban Tewas Letusan Gunung Semeru
Saat melihat ke luar rumah, kepulan asap hitam dan pekat menutupi jalan depan rumahnya.
"Saya lalu ambil barang, pegang istri dan senter ke luar rumah, jalan pelan menuju masjid yang lampunya masih menyala. Di sini, orang-orang histeris, ada yang berdoa," kata Ponidi menceritakan kepada wartawan Efendi Murdiono yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, di Dusun Kajar Kuning, Lumajang, Senin (06/12).
Ponidi melanjutkan, di saat kondisi sedikit terang, ia dan warga lain memutuskan berjalan pelan hingga akhirnya bertemu dengan mobil evakuasi.
Ia mengungkapkan rasa kecewanya karena tidak mendapatkan informasi peringatan dini terkait dengan potensi munculnya awan panas guguran.
"Tidak ada pemberitahuan akan seperti ini. Kalau diberi tahu sebelumnya, mungkin tidak sampai ada korban [meninggal], kami pasti antisipasi, sudah mengungsi duluan," ujar Ponidi.
Ponidi menambahkan, sistem evakuasi jika terjadi bencana juga tidak berfungsi dengan baik.
Ia mencontohkan, titik kumpul evakuasi di Kajar Kuning berada di depan SDN 2 Sumber Wuluh, dan di sebuah lapangan di Dusun Curah Kobokan. "Di atas tempat itu malahan awan tebal melewati," katanya.
Warganet juga mempertanyakan apakah sistem peringatan dini berfungsi sebelum kejadian.
Akun Twitter, @farhandalimunte menulis, "Turut berduka cita atas bencana erupsi gunung semeru. Semoga tidak ada korban jiwa & negara bertanggungjawab atas warga yg menjadi korban luka. Mereka menjadi korban karena tak adanya peringatan dini."
Sementara akun lain juga mengungkapkan kekecewaannya.
https://twitter.com/bachrum_achmadi/status/1467501376523542530
Vulkanolog dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Mirzam Abdurrachman mengatakan terdapat dua jenis sistem peringatan dini, yaitu cara modern melalui instrumen yang dilakukan PVMGB seperti mengamati kegempaan, perubahan temperatur, deformasi, volume gas dan lainnya.
Kemudian, cara konvensional dengan merasakan kegempaan, perilaku hewan, mata air kering dan lainnya.
"Sistem peringatan dini sekarang, meskipun dengan segala kekurangan yang perlu diperbaiki, harus memastikan tiga poin," katanya.
Pertama, informasi sampai ke masyarakat Semeru yang tidak semuanya memiliki jaringan internet dalam mendapatkan informasi.
Kedua, mengedukasi masyarakat tentang arti peringatan dini dan proses dalam melakukan evakuasi.
Terakhir, berkaca dari letusan Merapi 2010, yaitu merangkul kepala desa atau juru kunci yang memiliki kekuatan untuk memobilisiasi warga untuk mengungsi.
Aktivitas Semeru selalu diinformasikan
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Andiani mengatakan, peringatan dini sudah dilakukan sebelumnya.
"Kemudian pertanyannya kenapa masih ada korban? Ini yang juga menjadi PR teman-teman Pemda, karena sebetulnya sudah ada WA [Whatsapp] grup antara para pengamat kami [PVMBG] dengan teman-teman di daerah terkait masalah aktivitas Semeru ini," kata Andiani.
Melalui akun Twitternya, PVMBG menjelaskan, pada 2 Desember lalu, Pengamat Gunung Api (PGA) Semeru sudah mengeluarkan peringatan agar masyarakat tidak beraktivitas di sekitar Besuk Kobokan, Besuk Kembar, Besuk Bang, dan Besuk Sarat untuk mengantisipasi kejadian awan panas guguran.
https://twitter.com/PVMBG_/status/1467360710870986755
Sekretaris Badan Geologi Ediar Usman menambahkan, seluruh informasi telah disampaikan ke masyarakat.
"Memang kejadiannya begitu cepat dari hal-hal yang kita duga sebelumnya. Saya kira ini juga akan menjadi antisipasi ke depan," ujarnya.
"Tadi Ibu Wakil Bupati [Lumajang] menyampaikan akan melakukan pengosongan sama sekali, bahkan mau buat papan nama bahwa ini wilayah kawasan bahaya yang tidak boleh sama sekali menetap untuk jangka waktu lama.
"Kemudian juga mungkin digunakan alat-alat lain untuk mengingatkan, tadi Ibu Kepala BMKG mengusulkan kalau bisa ada sirene. Ini usulan-usulan yang bisa dipertimbangkan oleh pemda," kata Ediar Usman.
Bencana diawali oleh kesalahan tata ruang
Vulkanolog Surono mengatakan, bencana alam yang menimbulkan korban jiwa dan berulang kali terjadi di Semeru dan wilayah rawan lainnya di Indonesia dipicu oleh pengelolaan tata ruang yang salah.
Ia mengatakan, saat ini banyak pembangunan tata ruang tidak berbasis dengan peta rawan bencana.
"Ilustrasinya, Anda berdiri di tengah jalan tol, tempat mobil kecepatan tinggi, lalu Anda minta peringatan dari pengelola tol, ada mobil tidak di belakang saya. Kan bukan salah mobilnya, tapi Anda berdiri di mana," kata Surono.
Merujuk yang terjadi di Semeru, Surono mengatakan, pemukiman yang terdampak berada di jalur awan panas guguran.
"Daerah-daerah terdampak sekarang akan terkena lagi di kemudian hari? Sudah pasti, tapi tidak bisa dipastikan kapan dan seberapa besar kenanya. Karena wilayah itu ada di perlintasan awan panas guguran."
"Jadi prosesnya, diawali dari peta potensi bencana, diatur tata ruangnya, lalu dipantau aktivitasnya, bukan semata sistem peringatan dini," katanya.
Indonesia memiliki jumlah gunung api aktif terbanyak di dunia sebanyak 127 gunung, dan menduduki peringkat pertama dengan jumlah korban jiwa.
Dari total gunung api tersebut, 76 gunung bertipe A, termasuk Semeru, yaitu gunung yang memiliki catatan sejarah letusan sejak tahun 1600.
Kemudian terdapat 30 gunung bertipe B dan 20 gunung bertipe C. Dari total tersebut, hanya 69 gunung api aktif yang dipantau oleh PVMBG.
Berdasarkan data MAGMA Indonesia, aplikasi PVMBG, Indonesia memiliki setidaknya 66 peta kawasan rawan bencana (KRB) gunung api, seperti Gunung Agung (Bali), Anak Krakatau (Banten), Awu (Sulawesi Utara) hingga Ebulobo (NTT).
Awan panas guguran, mengapa kejadian 2021 berbeda?
Bagaimana awan panas guguran Semeru muncul? Surono menjelaskan, magma keluar dari puncak gunung membentuk tumpukan lava yang mendingin, dan mengeras.
Kemudian, tumpukan itu membesar dan membuatnya semakin labil, ditambah curah hujan yang tinggi, sehingga menyebabkan longsoran.
"Kejadian ini melahirkan awan panas guguran, yang kemudian mengalir melalui kawah Semeru seperti mengarah ke Besuk Kobokan. Kalau jumlahnya kecil akan tertampung, tapi kalau besar maka akan ke mana-mana," ujarnya.
Vulkanolog dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Mirzam Abdurrachman mengatakan erupsi tahun ini berbeda dari sebelumnya karena di puncak Semeru masih ada sisa abu vulkanik tahun 2020.
"Maka letusannya bisa tertahan karena ada tekanan yang ditutup ketika hujan di puncak. Masyarakat di bawah tidak tahu dan terus beraktivitas, padahal di atas sedang dibuka tutupnya. Kemudian letusan terjadi," kata Mirzam.
Pola ini menyebabkan sistem peringatan dini tidak cukup mendeteksi potensi datangnya bencana.
"Contoh, katanya tidak merasakan gempa, jadi terekam sedikit di sesmograf, masyarakat lagi aktivitas tidak bisa merasakan. Beda dengan 2020 yang cukup besar," katanya.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Senin (06/12) pukul 20.15 WIB, setidaknya 22 orang tewas, 22 orang masih dinyatakan hilang dan 56 lainnya mengalami luka-luka. Erupsi juga berdampak terhadap 5.205 jiwa.
BNPB mencatat sebanyak 2.004 warga berada di 19 titik pengungsian yang tersebar di 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Pronojiwo, Candipuro dan Pasirian.
""Posko masih terus melakukan pemutakhiran terhadap dampak kerugian material, dengan data sementara rumah terdampak 2.970 unit, fasilitas pendidikan 38 unit dan jembatan (Jembatan Gladak Perak) putus 1 unit," tulis keterangan BNPB.
Selain itu, prakiraan cuaca untuk tujuh hari ke depan di kawasan Gunung Semeru berada dalam intensitas ringan hingga sedang.
"Kami imbau untuk tetap meningkatkan kewaspadaan," kata Kepala Balai BMKG Wilayah lll Bali NTT Jawa Timur dan sebagian Kalimantan Agus Wahyu di Posko BMKG di lapangan Desa Sumberwuluh, Lumajang.
Agus menambahkan, hujan dapat memicu terjadinya endapan lumpur yang membahayakan keselamatan masyarakat.