Bayi-bayi Afghanistan Kelaparan, RS Kesulitan, Rasanya seperti di Neraka

SiswantoBBC Suara.Com
Kamis, 02 Desember 2021 | 15:11 WIB
Bayi-bayi Afghanistan Kelaparan, RS Kesulitan, Rasanya seperti di Neraka
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sejumlah dokter di Afghanistan, yang mayoritas masih bekerja tanpa digaji, bercerita kepada BBC mengenai krisis kemanusiaan yang brutal di negara itu sehingga membuat mereka kesulitan merawat pasien dengan layak.

Seorang perempuan muda memohon sambil menangis kepada dokter agar membunuh dia dan bayinya. Tangisan perempuan itu muncul ketika Dokter Nuri, seorang dokter kandungan di wilayah tengah Afghanistan, akan menangani proses bersalinnya melalui operasi sesar.

"Saya tidak tahu bagaimana saya bisa bertahan hidup," kata ibu itu. "Bagaimana mungkin saya melahirkan manusia lain?"

Baca juga:

Baca Juga: Lawatan ke Afghanistan dan Ketemu Taliban, Jepang Pertimbangkan Buka Kembali Kedutaan

Banyak perempuan yang dirawat di bangsal tempat Dokter Nuri bertugas mengalami kekurangan gizi. Mereka juga tidak memiliki ASI yang cukup untuk memberi makan anak-anak mereka.

Menurut Dokter Nuri, bangsal itu begitu sesak sehingga dia harus menangani persalinan pada dinding bernoda darah atau di atas seprai yang kotor. Sebagian besar petugas kebersihan telah meninggalkan rumah sakit itu sejak beberapa bulan lalu, mereka menyerah karena bekerja tanpa digaji.

Sedemikian penuhnya ruang bersalin itu, terkadang satu tempat tidur ditempati oleh beberapa orang. Fasilitas kesehatan dan klinik swasta lainnya telah tutup, sehingga rumah sakit yang dulunya bergengsi ini mengalami lonjakan pasien wanita hingga tiga kali lipat dari biasanya.

"Ruang bersalin adalah salah satu bangsal paling bahagia di rumah sakit mana pun, tetapi tidak di Afghanistan," kata Dokter Nuri.

Dalam kurun dua minggu pada September lalu, dokter Nuri menyaksikan lima bayi yang baru lahir meninggal dunia karena kelaparan.

Baca Juga: 100 Hari Taliban Berkuasa: Kelaparan, Kemiskinan, Keamanan Hantui Masyarakat Afghanistan

"Rasanya seperti berada di neraka."

Pengambil alihan kekuasaan oleh Taliban telah mempercepat kehancuran ekonomi di negara itu. Padahal sebelumnya, Afghanistan juga telah terguncang oleh kekeringan parah dan konflik yang berlangsung selama puluhan tahun.

Bantuan internasional yang selama ini menopang perekonomian dan sistem kesehatan di Afghanistan telah terhenti sejak Agustus.

Para donatur dari negara-negara Barat khawatir menyalurkan bantuan melalui pemerintahan Taliban, yang selama ini dianggap menyangkal hak-hak dasar perempuan dan anak, dengan penerapan hukuman Syariah yang keras.

Afghanistan kini menghadapi krisis kelaparan terburuk yang pernah terjadi di negara itu berdasarkan catatan PBB. Sekitar 14 juta anak diperkirakan akan kekurangan gizi akut pada musim dingin ini.

Di berbagai wilayah di Afghanistan, rumah sakit yang menangani pasien-pasien kelaparan pun hampir kolaps. Sekitar 2.300 fasilitas kesehatan telah tutup.

Para dokter dari daerah terpencil juga melaporkan bahwa mereka kehabisan persediaan obat-obatan dasar. Bahkan, obat dasar seperti parasetamol pun tidak tersedia untuk pasien dengan sakit parah yang telah menempuh 12 jam perjalanan demi berobat.

Di ibu kota Kabul, sebuah rumah sakit anak yang cukup besar juga menghadapi kasus-kasus kelaparan terburuk di negara itu. Rumah sakit itu mengalami overkapasitas, dengan jumlah pasien yang mencapai 150%.

Direktur rumah sakit tersebut, Dr Siddiqi mengatakan telah terjadi lonjakan kematian pada September, setelah pendanaan terhenti. Setiap pekan, hingga empat anak berusia di bawah 10 tahun meninggal dunia akibat kekurangan gizi dan keracunan makanan yang tidak layak konsumsi.

Menurut dokter Siddiqi, mereka yang masih berusia sangat muda harus ikut menanggung beban akibat krisis. Sebagian besar anak berusia di bawah lima tahun terlambat untuk diselamatkan.

"Anak-anak itu sudah sekarat sebelum akhirnya dirawat. Kita kehilangan banyak anak dari kasus-kasus seperti ini," kata dia.

Baca juga:

Sementara itu, anak-anak yang bisa mendapat perawatan tepat waktu pun ditangani dengan sumber daya yang sangat terbatas. Rumah sakit juga kekurangan makanan, obat-obatan, bahkan kesulitan untuk menjaga pasien tetap hangat.

Tidak ada bahan bakar untuk menyalakan pemanas sentral, sehingga dokter Siddiqi meminta para staf mengumpulkan ranting pohon yang kering untuk menyalakan perapian

"Ketika kami selesai mengumpulkan ranting-ranting itu, kami kemudian mengkhawatirkan bagaimana keadaan bulan depan dan apa yang harus kami lakukan berikutnya."

Bayi prematur meninggal akibat pemadaman listrik

Pemadaman listrik rutin telah berakibat fatal bagi pasien di bangsal bersalin tempat dokter Nuri bertugas. Beberapa bayi prematur meninggal karena inkubator tidak berfungsi.

"Sangat menyedihkan melihat bayi-bayi itu sekarat di depan mata sendiri."

Pemadaman listrik juga dapat berakibat fatal bagi pasien yang sedang menjalani operasi.

"Suatu hari listrik padam ketika kami sedang mengoperasi pasien. Semuanya berhenti. Saya berlari dan berteriak minta tolong. Seseorang membawa bahan bakar di mobil mereka dan memberikannya kepada kami sehingga kami bisa menyalakan generator."

Jadi setiap operasi dilaksanakan, "Saya meminta orang-orang untuk sigap. Rasanya sangat stres."

Para staf dan petugas kesehatan harus bekerja dengan situasi yang sangat menantang itu, padahal sebagian besar dari mereka tidak digaji.

Direktur rumah sakit khusus Covid-19 di Provinsi Herat, dokter Rahmani, sempat memperlihatkan kepada BBC sebuah surat dari Kementerian Kesehatan yang dipimpin Taliban tertanggal 30 Oktober. Melalui surat itu, para staf diminta tetap bekerja meski tidak digaji sampai ada dana.

Pada Selasa, Dokter Rahmani mengkonfirmasi bahwa rumah sakitnya sekarang terpaksa tutup karena dana yang dijanjikan tidak cair.

Foto-foto saat rumah sakit ditutup memperlihatkan bagaimana pasien dibawa keluar menggunakan tandu. Tidak diketahui bagaimana nasib para pasien itu sekarang.

Baca juga:

Rumah sakit lain yang secara khusus menangani pecandu narkoba juga berjuang untuk bisa menangani pasiennya dengan memadai. Tidak ada lagi obat-obatan untuk mendukung rehabilitasi pasien.

"Ada pasien yang harus diikat di tempat tidur dengan rantai, bahkan diborgol karena mengalami sakau. Sangat sulit bagi kami merawat mereka," kata Direktur rumah sakit, dokter Nowruz.

Tanpa perawatan yang tepat, Nowruz mengatakan, "rumah sakit kami terasa sama persis seperti penjara bagi mereka."

Rumah sakit ini juga terancam tutup karena jumlah staf terus berkurang. Namun, dokter Nowruz mengkhawatirkan nasib para pasiennya selama musim dingin apabila rumah sakit harus tutup.

"Mereka tidak memiliki tempat berlindung. Biasanya, mereka tinggal di kolong jembatan, reruntuhan bangunan, di kuburan, dengan kondisi yang tidak manusiawi," kata dia.

Menteri Kesehatan yang ditunjuk oleh pemerintahan Taliban, dokter Qalandar Ibad, mengatakan kepada BBC Persia pada November bahwa pemerintah tengah berupaya bekerja sama dengan komunitas internasional untuk menggalang kembali bantuan. Hanya saja, para donatur utama berusaha menghindari Taliban karena khawatir bantuan tersebut tidak digunakan sesuai tujuan.

Pada 10 November, PBB menyuntikkan dana US$15 juta ke sistem kesehatan di Afghanistan. Sebanyak US$8 juta telah digunakan untuk membayar 23.500 petugas kesehatan selama sebulan terakhir.

Meskipun jumlah itu relatif kecil untuk saat ini, donatur internasional lainnya diharapkan mengikuti langkah tersebut. Sebab, hanya sedikit waktu yang tersisa.

"Sebentar lagi kami tida akan memiliki air minum yang cukup," kata dokter Nuri, mengingat para pasien akan berjuang untuk tetap hangat menjelang musim dingin.

Kondisi cuaca yang buruk juga akan mempersulit pengiriman barang-barang ke Afghanistan dari negara sekitar seperti Pakistan dan India.

"Setiap kali para perempuan meninggalkan rumah sakit kami dengan bayi mereka, saya terus memikirkan bagaimana nasib mereka. Mereka tidak punya uang dan tidak mampu membeli makanan," kata dia. Keluarga dokter Nuri sendiri juga berjuang untuk bisa bertahan.

"Bahkan saya, sebagai seorang dokter, tidak punya cukup makanan. Saya tidak mampu membelinya dan hampir menghabiskan semua tabungan saya.

"Saya tidak tahu mengapa saya masih mau bekerja. Setiap pagi saya menanyakan ini pada diri saya sendiri. Mungkin karena saya masih mengharapkan masa depan yang lebih baik."

Ali Hamedani, Kawoon Khamoosh, Ahmad Khalid, dan Hafizullah Maroof berkontribusi pada laporan ini.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI