Suara.com - Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menanggapi sikap jaksa penuntut umum terkait tuntutan hukuman mati terhadap terdakwa kasus narkoba, Yorita Sari di Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 17 November 2021 lalu. LBH Masyarakat menganggap jika tuntutan mati terhadap ibu usia 50 tahun itu merupakan tindakan yang salah dari jaksa sebagai penegak hukum.
"Ada yang gagal dilihat oleh penegak hukum dalam kasus Yorita Sari dan keterlibatannya dalam tindak pidana narkotika," kata Kiki Marini Situmorang dari LBH Masyarakat.
Dalam kasus ini, Yorita dituntut hukuman mati dengan menggunakan Pasal 114 ayat (2) Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, karena menjadi kurir. Darinya didapat narkoba seberat 3,7 kilogram.
Kegagalan itu menurut Kiki, karena kesalahan berulang yang seringkali dilakukan oleh penegak hukum, bahkan menjadi pola dalam penangkapan kasus tindak pidana narkotika. Menghukum Yorita dengan pidana mati, tidak memutus rantai peredaran gelap narkotika.
Baca Juga: 5 Terdakwa Kasus 77 Kg Sabu di Aceh Dituntut Hukuman Mati
"Posisi Yorita Sari perlu dilihat sebagai korban, yakni rantai yang berposisi paling rendah tapi memiliki risiko yang paling tinggi. Yorita Sari diperlakukan bak boneka sebagai perantara yang dimanfaatkan oleh sindikat. Para penegak hukum seringkali berfokus pada menghukum rantai-rantai kecil seperti Yorita Sari daripada membongkar jaringan narkotika yang lebih besar," ujarnya.
Di samping itu, saat persidangan Yorita telah bersedia untuk memberikan informasi mengenai jaringan yang merekrutnya, tapi keterangan ini sama sekali tidak dipertimbangkan.
"Bahkan informasi ini seakan sengaja tidak ditindaklanjuti," imbuh Kiki.
Kemudian sebelum mengajukan hukuman mati, kata Kiki, seharusnya posisi Yorita sebagai ibu tunggal dari dua anak ini seharusnya menjadi pertimbangan jaksa. Apalagi latar belakangnya masuk ke lingkaran setan narkoba karena faktor ekonomi, seusai di-PHK akibat dampak Covid-19.
"Dia akan bekerja apapun untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Tidak jarang menempuh jalan yang instan seringkali menggoda pikirannya ketika lelah mencari nafkah," ujarnya.
Baca Juga: Rindu Berat, Nia Ramadhani Sering Hubungi Anak Lewat Video Call
"Di samping itu, Yorita Sari juga harus bertanggung jawab atas pengobatan adiknya yang menderita gagal ginjal. Sementara usia Yorita Sari yang tidak muda dan pendidikannya yang rendah, membuatnya sulitnya mendapatkan akses pekerjaan yang layak dan gaji yang memadai. Kondisi ini rentan sekali dimanfaatkan oleh sindikat narkotika dengan disertai bujukan rayuan atau imbalan besar," sambung Kiki.
Karenanya LBH Masyarakat mengajukan lima masukan yang diharapkan dapat dipertimbangkan majelis hakim saat memvonis Yorita. Lima masukan itu adalah
- Mempertimbangkan kondisi Yosita Sari sebagai perempuan yang rentan akan jerat sindikat narkotika dan pidana mati.
- Mempertimbangkan perbuatan Yosita Sari sebagai dampak dari beban ganda yang ditanggungnya.
- Mempertimbangkan posisi Yorita Sari hanyalah sebagai rantai paling kecil dari jaringan sindikat narkotika sehingga tidak layak dipidana mati.
- Mempertimbangkan dampak paradigma perang terhadap narkotika (war on drugs) dalam kasus perempuan kurir narkotika.
- Memutus Yorita Sari dengan pidana seringan-ringannya.