Suara.com - Hanya beberapa hari setelah Mahkamah Agung India mengeluarkan putusan kontroversial yang membebaskan seorang laki-laki dalam kasus penyerangan terhadap anak perempuan berusia 12 tahun karena "tidak ada kontak dari kulit ke kulit" dengan korban, putusan dalam kasus lain menimbulkan kemarahan.
Putusan MA itu mengurangi hukuman 10 tahun penjara bagi seorang pria karena memaksa seorang bocah laki-laki 10 tahun melakukan seks oral.
Perintah pengurangan hukuman ini dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi Allahabad, Negara Bagian Uttar Pradesh, sehari setelah putusan Mahkamah Agung dengan korban bocah perempuan itu tetapi baru sekarang dilaporkan.
Kejahatan yang menimpa bocah laki-laki itu terjadi pada 2016 ketika seorang laki-laki tersebut mengunjungi rumah sang bocah dan membawanya ke kuil setempat. Laki-laki itu melakukan serangan seksual terhadap sang bocah di kuil.
Baca Juga: Unej Dukung Permendikbud No 30, Minta Segera Bentuk Satgas Pencegahan Kekerasan Seksual
- 'Kenapa bapak yang seharusnya melindungi malah merusak?' - Gelombang perkosaan anak dalam keluarga di Indonesia
- Diduga melecehkan anak perempuan dalam video viral, tiga pria India ditahan
- Mahkamah Agung India batalkan putusan bebas pelaku kejahatan seksual terhadap anak 12 tahun
Ia memberikan uang sebesar 20 rupee atau sekitar Rp4.216 untuk membuatnya bungkam tentang aksinya itu dan bahkan mengancam si bocah tersebut jika ia memberitahu orang lain.
Pengadilan pada Agustus 2018 memutuskan pria itu melakukan "serangan seksual penetrasi berat" berdasarkan Undang-undang Perlindungan Anak dari Serangan Seksual (Pocso) dan menjatuhkan hukuman penjara selama 10 tahun.
Terdakwa mengajukan banding dan pekan lalu, hakim pengadilan tinggi mengurangi hukumannya menjadi tujuh tahun dengan dalih bahwa berdasarkan undang-undang itu, serangan yang dilakukan tidak "berat" - mengisyaratkan bahwa kejahatan itu tidak seserius yang dibeberkan dalam persidangan sebelumnya.
Para ahli hukum mempertanyakan keputusan itu, dan mengatakan terdapat sejumlah faktor dalam undang-undang yang menggolongkan serangan "berat", salah satunya adalah jika usia korban di bawah 12 tahun.
Kritik putusan hakim
Baca Juga: Presiden BEM KM UGM Dorong Universitas Tegas Tangani Kasus Adanya Dugaan Kekerasan Seksual
Namun perintah pengurangan hukuman ini menimbulkan kehebohan di India. Banyak warga meluapkan kemarahan melalui media sosial.
Banyak di antara mereka menggarisbawahi bahwa baru pekan lalu Mahkamah Agung mengatakan hakim harus mempertimbangkan "niat seksual" dan bukan keterangan rinci dari tindakannya itu sendiri.
Seorang pengguna Twitter menyebut keputusan pengadilan "berlebihan dan aneh"; seorang pengguna lainnya menulis bahwa "hukuman apapun tak dapat menghilangkan trauma pada anak kecil itu"; dan banyak lainnya bertanya-tanya "apa yang salah dengan hakimnya?"
Anggota parlemen Mahua Moitra turut mengungkapkan kemarahan terhadap pengurangan hukuman.
"Bangunlah Pengadilan Tinggi - Pocso dimaksudkan untuk menyelamatkan anak-anak dari tindak kejahatan yang paling keji. Jangan diringankan," tulisnya di Twitter.
India tercatat sebagai negara yang paling banyak mengalami serangan seksual pada anak-anak di dunia. Puluhan ribu kasus dilaporkan setiap tahun.
Tahun lalu, Biro Pencatatan Kejahatan Nasional mendokumentasikan 43.000 kasus pelanggaran berdasarkan Undang-undang Pocso - atau rata-rata satu kasus setiap 12 menit.
Pada 2007, penelitian oleh Kementerian Perempuan dan Kesejahteraan Anak menemukan bahwa lebih dari 53% dari hampir 12.300 anak-anak yang disurvei melaporkan telah mengalami pelecehan seksual dalam bentuk setidaknya satu atau lebih bentuk pelecehan seksual.
Penelitian juga mengungkap bahwa bertolak belakang dengan pemahaman umum, yakni hanya anak perempuan yang mengalami pemaksaan seksual, anak laki-laki juga sama-sama berisiko. Bahkan mungkin lebih berisiko karena 53% dari responden yang mengaku sebagai korban adalah laki-laki.
Selain itu, polisi mengatakan dari sekitar 90% kasus, pelakunya dikenal korban- sama seperti kasus bocah berusia 10 tahun tersebut.
Anuja Gupta, yang menangani masalah serangan seksual pada anak selama seperempat abad, mengatakan data resmi tidak menggambarkan kondisi sebenarnya karena sebagian besar kasus tidak dilaporkan.
"Serangan seksual pada anak-anak disebut epidemi diam-diam. Ini terjadi di mana-mana. Ini terjadi di setiap rumah kedua dan lintas generasi. Tapi ada stigma dan keengganan umum untuk membicarakan topik ini karena banyak pelaku adalah anggota keluarga.
"Orang-orang, termasuk penyintas, mengatakan mereka akan menyelesaikan masalah ini dalam lingkungan keluarga jadi setiap kasus yang sampai ke pengadilan, ratusan lainnya tidak ditangani."
Sebagai penyintas pelecehan seksual, Gupta memperkirakan masalah ini tidak bakalan teratasi
"Selama menjalankan tugas, saya menyaksikan hal yang sama yang terjadi pada diri saya telah terjadi pada orang-orang berusus ia 18 dan 19 tahun."
Hukum dan sistem peradilan kriminal, menurutnya, hanyalah satu intervensi dan persoalan lebih besar terletak pada masalah sosial yang perlu ditangani.
"Karena disebut sebagai epidemi, kita harus menanganinya layaknya epidemi," kata Anuja Gupta.
"Setiap orang harus terlibat dalam upaya ini - pemerintah, masyarakat dan keluarga. Pemerintah harus menyebarkan informasi, menepis berbagai mitos, menangani prasangka orang dan menawarkan solusi."
Namun demikian, masih menurut Anuja Gupta, langkah pertama adalah mengakui masalah dan skala masalah yang ada.
"Tapi pengingkaran adalah sikap yang jamak dalam masyarakat kami. Kita membantahnya secara individu dan secara kolektif. Tapi kita perlu membicarakannya. Dan kebutuhan penyintas harus diutamakan dalam segala hal yang kita lakukan."