Suara.com - Erinam warga penghuni Rusunami City Garden, Cengkareng, Jakarta Barat mengaku harus mengeluarkan dana Rp 1.200.000 setiap bulan untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Pengelola apartemennya, PT Surya Citra Perdana tak bisa menyediakan kebutuhan air bersih untuk penghuni.
Dia mengaku setiap bulan dia harus membayar Rp 300 ribu pe rbulan, urunan warga yang dilakukan secara mandiri untuk membeli air bersih dari mobil tangki. Namun, persediaan air dari hasil urunan itu, bagi Erina tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarganya, sehingga dia harus membeli air enam sampai lima galon per hari.
“Isi ulang habis lima galon sampai enam galon sih. Kali Rp 5000, Rp 30 ribu per hari, di luar iuran yang Rp 300 ribu per bulan itu. Masing warga hampir semuanya seperti itu,” kata Erina kepada Suara.com, Jumat (26/11/2021).
Sehingga secara keseluruhan dalam dua bulan terakhir dia mengeluarkan uang Rp 1.200.000 setiap bulannya.
Baca Juga: 12 Tahun Hidup Tanpa Air Bersih, Warga Rusunami City Garden Cengkareng Mengadu ke Anies
Ngadu ke Anies
Siang tadi, warga Rusunami City Garden, yang tergabung Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Rusunami City Garden (P3CG) berunjuk rasa di depan Balai Kota DKI Jakarta. Mereka mengadukan nasib ke Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan harapan segera mendapatkan tindak lanjuti laporan.
Ketua P3CG, Suherman mengatakan mereka menjadi korban janji dari pengembang apartemen. Sebab saat dipasarkan PT Reka Rumanda Agung menjanjikan akses air bersih, namun hingga saat ini atau 12 tahun lamanya, hal itu tidak direalisasikan.
“Sejak awal penghunian, pihak pengembang dar PT.Reka Rumanda Agung Abadi menunjuk PT. Surya Citra Perdana sebagai pengelola. Pihak pengelola menyediakan air tangki kepada warga meskipun warga meminta pemasangan layanan dari PAM segera dilakukan agar tarif lebih murah, namun urung dilakukan hingga kini,” kata Herman kepada wartawan di Balai Kota.
Bau hingga Bikin Gatal Kulit
Baca Juga: Bantu Peningkatan Produksi Air Bersih di Penajam, Kementerian PUPR Bantu Rp15 Miliar
Masalah akses air bersih pun mulai timbul pada 2014, pengelola mengalihkan pengadaan sumber air melalui proyek Water Treatment Plant (WTP) yang dikelola pihak ketiga.
“Air yang dikonsumsi warga berwarna keruh, sedikit berbau dan diduga menjadi penyebab beberapa warga mengalami gatal-gatal dan timbul penyakit kulit,” kata Suherman.
“Hasil uji laboratorium yang dilakukan warga secara mandiri bahkan menunjukkan hasil air yang tercemar dan berbahaya untuk digunakan. Pada Oktober 2021, WTP tersebut dinyatakan melanggar hukum oleh pemerintah dan ditutup. Sejak saat itu kebutuhan air bersih warga sama sekali tidak terpenuhi,” sambungnya.
Sebabnya, mau tidak mau warga harus mengeluarkan uang lebih untuk memenuhi kebutuhan air bersih.
“Warga harus membeli secara mandiri dan membayar hingga 5 kali lipat lebih mahal dari sebelumnya karena pengelola tidak menjalankan komitmennya menyediakan air bersih pengganti,” ujar Suherman.
Warga berharap dengan unjuk rasa yang mereka lakukan dan aduan yang disampaikan lewat Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP), Anies Baswedan segera mengambil tindakan.