Suara.com - Bulan Agustus lalu, Jepang dilanda gelombang kelima dan terbesar virus corona sejak awal pandemi tahun lalu. Ketika itu, angka kasus positif tercatat lebih dari 26.000 per hari, empat kali lipat lebih tinggi dibandingkan sebelumnya.
Lonjakan kasus ini terjadi karena varian Delta yang melanda seluruh dunia, termasuk Jepang.
Namun bulan itu ternyata menjadi titik balik bagi negara Sakura itu. Dalam waktu dua bulan dari puncak gelombang itu, kasus rata-rata saat ini di bawah 100 per hari.
Para ilmuwan mengetahui bahwa kenaikan tajam kasus Covid-19 karena varian Delta, namun mereka masih belum paham mengapa kasus turun tajam sementara negara-negara lain masih terus berjuang menghadapi kenaikan kasus.
Baca Juga: Varian Baru Covid Muncul di Afsel Disebut Dua Kali Lebih Ganas dari Delta
Baca juga:
- B.1.1.529: Apa yang diketahui soal varian baru virus corona di Afsel?
- Cara Jepang menyukseskan program vaksinasi Covid
- Apa penyebab kerusuhan Covid-19 yang melanda Eropa di tengah memburuknya pandemi?
Para peneliti dari Institut Genetika Jepang, mengatakan varian Delta kemungkinan bermutasi sendiri sampai menjadi punah di Jepang.
Menurut Ituro Inoue dan koleganya dari Institut Genetika kepada Japan Times, virus itu bermutasi sedemikian rupa sehingga terjadi kesalahan dalam genetika sampai tidak lagi berreplikasi.
"Kami benar-benar terkejut dengan temuan ini," kata Inoue.
Sejumlah penyebab
Ada beberapa hipotesa di balik anjloknya kasus di tengah penyebaran varian Delta ini.
Baca Juga: Varian Baru Virus Corona B.1.1.529 di Afsel, Apa yang Diketahui Sejauh Ini?
Lebih dari 75% penduduk telah divaksin di Jepang sementara protokol kesehatan seperti jaga jarak dan penggunaan masker diikuti secara tertib oleh masyarakat, menurut laporan media setempat.
Namun negara-negara lain yang melakukan protokol yang sama tetap mencatat kenaikan kasus Covid.
Di Spanyol, misalnya, 80% penduduk telah mendapat vaksinasi penuh dan masker juga tetap dipakai di tempat-tempat tertutup.
Namun Spanyol mencatat sekitar 7.000 kasus per hari.
Perbandingan inilah yang membuat para ilmuwan Jepang menyimpulkan bahwa varian Delta "bermutasi sampai punah".
"Varian Delta sangat menular di Jepang dibandingkan dengan varian lain. Namun di tengah akumulasi ini, kami yakin varian ini tak bisa lagi bermutasi," kata Ituro Inoue.
"Dengan melihat bahwa kasus tak lagi naik, kami percaya pada proses mutasi ini, virus itu langsung mengarah ke punah dengan sendirinya," tambahnya.
Teori Inoue ini memberikan sedikit gambaran mengapa varian Delta di Jepang tiba-tiba hilang.
Pertimbangan ini juga dilihat berdasarkan apa yang terjadi di negara-negara Barat dengan tingkat vaksinasi cukup tinggi, namun harus menerapkan karantina.
Namun kasus di Jepang ini unik karena kasus Covid benar-benar anjlok walaupun transportasi umum seperti kereta dan restoran penuh sejak kondisi darurat berakhir Oktober lalu.
Proses biasa
Berbagai varian Covid hilang dengan sendirinya setelah melanda sejumlah negara.
"Ini terjadi selalu pada virus yang melanda hewan dan manusia, Perlu diingat bahwa varian alpha, beta dan gamma sebagian besar tergantikan oleh varian Delta," kata pakar virus Julian Tang, dari Universitas Leicester, Inggris kepada BBC Mundo.
"Mungkin ada imunitas penduduk Jepang yang menyebabkan perubahan reaksi virus. Suatu saat nanti, kita akan perhatikan apa yang terjadi negara lain juga," tambah Tang.
Studi sebelumnya menunjukkan bahwa lebih banyak orang di Asia yang memiliki sistem ketahanan enzim yang disebut APOBEC3A yang menyerang berbagai virus berbeda, termasuk virus corona yang menyebabkan Covid-19. Ketahanan ini berbeda dengan warga di Afrika dan Eropa.
Dengan cara ini, para peneliti dari Insitut Genetika Jepang dan Universitas Niigata mempelajari apakah enzim ini menghentikan aktivitas virus corona.
Tim membandingkan data genetika berbeda untuk varian Delta dan Alpha dalam sampel klinis di Jepang antara Juni dan Oktober.
Selama studi itu, para ilmuwan meneliti mutasi virus yang tampak berhenti saat berkembang, dan tak aktif lagi, sehingga virus berhenti bereplikasi.
"Mereka menemukan mutasi pada protein nsp14, yang terkait dengan perubahan dalam replikasi. Bila lebih banyak mutasi terjadi dalam protein ini, maka virus dapat menjadi tidak aktif," kata Profesor José Manuel Bautista, pakar biologi molekuler Universitas Madrid di Spanyol.
Walaupun Bautista yakin bahwa penurunan kasus juga terbantu faktor lain seperti tingginya angka vaksinasi dan protokol kesehatan, anjloknya penularan di Jepang merupakan sesuatu yang menonjol.
"Turunnya kasus cukup dramatis dan menunjukkan bahwa teori varian ini rusak dengan sendirinya, mungkin terjadi," tambah Bautista.
Walaupun ada penurunan tajam kasus Covid-19 di Jepang, para ilmuwan tetap berhati-hati dan menghindar membuat diagnosa apa yang mungkin terjadi di masa depan.
Pandemi virus corona secara konstan berevolusi dan menunjukkan bahwa walaupun program vaksinasi dan protokol kesehatan diterapkan, dunia masih belum aman dari pandemi baru ini.