Ini Kata Masyarakat Adat Soal Bencana Banjir di Kalimantan

SiswantoABC Suara.Com
Jum'at, 26 November 2021 | 10:52 WIB
Ini Kata Masyarakat Adat Soal Bencana Banjir di Kalimantan
Ilustrasi hutan di Kalimantan (Pixabay).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Hingga akhir November 2021 ini, banjir masih menggenangi beberapa wilayah di Kalimantan, sebagian berdurasi panjang.

Banjir menerjang beberapa kabupaten di Kalimantan Barat, salah satunya Sintang, yang sudah terendam banjir lebih dari satu bulan lamanya.

Sementara di Kalimantan Tengah, sudah hampir satu bulan banjir di Kabupaten Pulang Pisau belum surut dari permukiman warga.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mencatat sebanyak 44 desa dengan dengan total 9.556 keluarga dari tiga kecamatan di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, terdampak banjir, termasuk 170 orang harus mengungsi ke posko yang dibuat pemerintah daerah. 

Baca Juga: Wamen LHK: Tahun 2023 Penetapan Kawasan Hutan Harus Selesai 100%

Yeryana, perempuan dari masyarakat adat Dayak Maanyan, yang berdomisili di Kabupaten Barito Timur, Kabupaten Kalimantan Tengah, tidak mengalami kebanjiran karena ia tinggal di dataran yang cukup tinggi.

Tapi bukan berarti Yeryana tidak khawatir.

"Kami sangat was-was karena sekarang kami dalam siklus menanam padi, tapi satu minggu ini hujan terus dan sudah ada beberapa kecamatan tetangga yang tergenang, meski tidak tinggi dan cepat surut," tuturnya.

Walau luput dari banjir, Yeryana mengaku tetap merasakan dampaknya.

"Harga sembako di sini menjadi sangat tinggi [karena] distribusi itu putus ketika lintas utama kabupaten provinsi banjir."

Baca Juga: Dua Ekor Elang Bondol Dilepasliarkan di Hutan Seberang Bersatu Belitung

Penyebab banjir Kalimantan

Menurut Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, pemicu banjir di Kalimantan Tengah adalah pembukaan lahan proyek 'food estate' kebun singkong.

"Proyek Food Estate singkong yang membuka hutan seluas kurang lebih 700 hektar are berpengaruh terhadap daya dukung di wilayah resapan air di hulu daerah aliran sungai (DAS) Kahayan," kata Arie kepada CNN Indonesia.

Ia menambahkan, DAS Kahayan merupakan hulu DAS yang melindungi daerah tengah dan hilir, sehingga jika tutupan hutan di hulu berkurang, maka fungsi daerah tangkapan air (DTA) akan menurun.

Sementara itu, Ketua Komisi IV DPR RI, Sudin, mengatakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bertanggung jawab atas banjir yang melanda Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, dan Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah.

Ia mengatakan pejabat KLHK telah membiarkan perusakan hutan terjadi sehingga hutan di Kalimantan menjadi gundul dan menyebabkan banjir.

"Kalau keterlanjurannya sampai puluhan juta atau 3,2 juta hektare, itu bukan keterlanjuran. Itu maling yang dibiarkan," ujar Sudin dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi IV DPR dengan KLHK di Senayan, Jakarta, Senin lalu (22/11)

"Siapa yang membiarkan? Ya, pejabat-pejabat KLHK ini semua," tegasnya.

Peran masyarakat adat melindungi alam

Sebagai bagian dari komunitas masyarakat adat Dayak Maanyan, Yeryana mengaku tidak terima melihat kerusakan alam yang berbuntut bencana alam di tanah nenek moyangnya.

"Rasa marah itu sudah enggak bisa saya ungkapkan, karena kami di sini selain marah juga masih sambil berjuang mati-matian mempertahankan sisa alam yang kami punya."

"Saya enggak bisa lagi bicara soal tanah nenek moyang kami yang sudah habis dimakan tambang [batu bara]." 

Menurutnya, saat belum ada tambang batu bara atau perkebunan sawit di Kalimantan Tengah, warga tak pernah mengalami "banjir sehebat dan seawet sekarang."

"Dulu, sebelum tahun 2012, jika pun ada banjir di kampung-kampung sekitar DAS Barito maupun Katingan, tidak pernah separah saat ini. Banjir paling lama hanya bertahan seminggu."

Data yang dilansir oleh kompas.com mencatat, ada sedikitnya  2.049.790 hektar lahan kelapa sawit di Kalimantan Tengah pada tahun 2021, naik hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2017 yakni sekitar 1.480.988 hektar.

Yeryana menilai pengelolaan hutan bisa lebih baik dan berkelanjutan jika dikelola oleh masyarakat adat.

"Saya berani bilang, pengelola hutan yang paling bertanggung jawab adalah kami, masyarakat adat, karena kami enggak pernah sembarangan mengolah dan membuka hutan kami."

Ia menambahkan, masyarakat adat di Indonesia masing-masing punya penafsiran soal alam yang berbeda tapi serupa, yakni wilayah adat dianggap sebagai titipan leluhur yang harus dikelola berkelanjutan dan berkeadilan.

Peran masyarakat adat dalam kelestarian hutan juga diakui dunia.

Dalam COP26 di Glasgow beberapa waktu lalu, para pemimpin negara sepakat bahwa masyarakat adat adalah pihak yang selama ini terbukti berhasil menjaga keseimbangan alam dengan caranya masing-masing.

“Ada bukti yang luar biasa bahwa masyarakat adat adalah penjaga hutan yang paling efektif, tapi sering terancam bahaya, dan karenanya mereka harus menjadi inti dari solusi berbasis alam untuk keadaan darurat iklim,” kata Menteri Lingkungan Hidup Inggris, Zac Goldsmith dalam perhelatan tersebut.

Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sambolinggi, juga menggarisbawahi kontribusi masyarakat adat dengan mengutip laporan penelitian internasional bahwa 80 persen keanekaragaman hayati di dunia ini dijaga oleh masyarakat adat.

"Jadi sebesar itulah peran masyarakat adat dalam menjaga bumi ketika perusahaan-perusahaan yang diberi izin oleh negara memperkosa bumi," ujarnya.

Seperti apa masyarakat adat mengelola alam?

Banyak cara yang dilakukan oleh masyarakat adat dalam mengolah hutan namun tidak eksploitatif dan merusak keseimbangan alam.

Dalam tradisi Dayak Maanyan, Yeryana menjelaskan, ada beberapa tahapan yang dilalui bahkan sejak berencana membuka ladang.

"Kami melakukan ritual dulu, namanya nyuwuk jumpun, meminta izin pada entitas hutan sebelum membuka ladang. Kami juga mengambil secukupnya dan sesuai tanah warisan leluhur."

Membersihkan dan membuka ladang pun tidak sembarangan. Ada hitungan waktu dan bulan tertentu untuk itu.

"Mulai membakar September. Bulan Oktober enggak boleh membakar, karena pengalaman leluhur kami Oktober itu angin rendah bertiup, itu membawa api meluas, jadi enggak akan ada pembakaran pada bulan Oktober" ujar Yery.

Menurut perhitungan Masyarakat Adat Dayak, urusan penghidupan hanya boleh diurus bulan September sampai April, sementara bulan Juni-Juli adalah masa mengurus yang mati.

"Ritual kematian biasanya dilakukan pada saat itu," kata Yery.

Proses menebang pun menurut Yery tidak sembarangan dan tidak bisa menentukan sendiri, harus bekerja sama dengan peladang tetangga agar bergotong-royong.

"Ditebang dulu, dibersihkan ranting-rantingnya, dibersihkan sekat bakarnya, dibikin batas apinya, dan minimal ada tiga peladang bertetangga."

Yang paling diantisipasi adalah saat pembakaran. Pemilik ladang akan meminta bantuan keluarga atau rekannya untuk menjaga api supaya tidak merambat.

"Kalau pun terlihat dari arah angin api itu merambat, ada pengetahuan leluhur, ada mantra yang bisa mematikan api," tutur Yery. 

Dengan cara bakar, menurut Yery, tanah menjadi tetap subur.

Setelah panen, ada ritual makan bersama, dan saat makan bersama itu pemilik ladang juga membagikan beras hasil panen kepada kerabat.

"Jadi kalau kami diizinkan memegang teguh cara hidup kami dan pengelolaannya, enggak akan ada kelaparan, karena ladang kami seperti minimarket, isinya bukan cuma padi, lengkap dengan sayur dan bumbu-bumbu, serta apotek hidup."

Pengelolaan ladang pun berkelanjutan sekaligus investasi bagi generasi masyarakat adat selanjutnya.

Yery menjelaskan, setelah siklus tanam padi di lahan yang sama selesai, bisa satu atau dua kali, sampah batang padi akan dibakar, dan di situ ditanam varietas baru, misalnya karet atau buah-buah yang bernilai jual cukup tinggi seperti durian, cempedak, dan duku.

"Setiap kami menanam karet atau menanam buah, doa kami adalah 'ini untuk dipanjat anak-cucuku nanti', jadi lengkap konsep keberlanjutannya untuk menopang generasi berikutnya."

Yery merasakan sendiri hasil investasi neneknya.

"Saat nenek saya meninggal dunia, kami semua kaget karena beliau meninggalkan kebun karet untuk kami, luasnya tidak main-main, 23 hektar."

Di willayah lain, misalnya di Papua, juga ditemukan praktik keberlanjutan yang serupa, yakni upacara meminta izin kepada leluhur sebelum memanfaatkan sumber daya alam yang disebut Sinara di Kaimana, dan tradisi melarang mengambil hasil laut berlebihan yang disebut Sasi di Kawe.

'Kami tidak anti-pembangunan'

Tapi bukan berarti masyarakat adat menolak pembangunan.

"Kami tidak anti-pembangunan. Yang diinginkan oleh masyarakat adat adalah pembangunan yang tidak memerkosa Ibu Bumi kita dan adil untuk seluruh umat manusia," ucap Rukka.

Rukka menilai, pembangunan yang terjadi saat ini telah merusak bumi.

"Buktinya kita mengalami deforestasi, banjir di sana-sini, korbannya juga bukan cuma masyarakat adat, tapi semua orang, sementara ada segelintir elit yang menikmatinya."

Sementara Yeryana meminta Pemerintah Indonesia untuk lebih memahami dan melibatkan, serta memberi kemerdekaan kepada masyarakat adat dalam mengelola alam.

"Jangan rebut tanah kami. Izinkan saja kami hidup dengan cara kami," ujar Yeryana.

"Kami enggak menolak pembangunan, kami enggak menolak modernisasi. Boleh dan kami menerima, tetapi jangan dilarang cara kami hidup karena kami mengelolanya untuk lestari dan berkelanjutan."

Ia juga berharap RUU Masyarakat Adat segera disahkan sehingga ada perlindungan bagi masyarakat adat dalam menjalankan cara hidupnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI