Suara.com - Masyarakat adat Tano Batak dari kawasan Danau Toba yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Rakyat (Gerak) Tutup TPL (PT Toba Pulp Lestari) mengaku kecewa dengan sikap perwakilan Kementerian Koordinator bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) yang sempat menerima mereka dari balik pagar.
Aliansi Gerak Tutup TPL berunjuk rasa pada hari ini Rabu (24/11/2021) di depan Gedung Menko Marves, Jakarta Pusat, menuntut Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan mencabut izin investasi dan menutup PT TPL.
Menurut mereka sebagai masyarakat adat dan rakyat, yang sudah menempuh perjalanan darat dari Danau Toba, kurang lebih tiga hari, tidak seharusnya diperlakukan dengan demikian.
“Ya tentu, kami sangat kecewa, karena kan kami ini masyarakat adat. Dan kami juga meminta secara adat, supaya bapak ibu ini (Menko Marves) turun menemui kami,” kata Hengky Manalu, Koordinator Gerak Tutup TPL saat ditemui Suara.com, Rabu (24/11/2021).
Peristiwa itu berawal saat Sekretaris Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan, KLHK, Menko Marves, Dirhansyah Conbul akhirnya menemui masyarakat adat Tano Batak.
Namun dia enggan keluar dari balik pagar Gedung Menko Marves. Beberapa kali pengunjuk rasa meminta Dirhansyah untuk keluar dan menemui mereka, namun dia tetap berada di balik pagar, di bawah baliho bertuliskan ‘Jadilah Pahlawan Di Setiap Langkahmu.’
Dirhansyah pun akhirnya keluar dari balik pagar, setelah masyarakat adat ingin menyampaikan buku yang berisi rangkuman pelanggaran yang dilakukan PT TPL di kawasan Danau Toba.
Saat menerima buka tersebut, Dirhansyah berkata akan menyampaikannya ke Menteri Luhut beserta tuntutan mereka.
“Namun saya tidak bisa menjanjikan apa-apa, tapi masukan dan tuntutan Masyarakat Adat Tano Batak akan saya sampaikan,” ujarnya.
Sebelumnya, Aliansi Gerak Tutup TPL berunjuk rasa menuntut Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan mencabut izin investasi dan menutup PT TPL.
"Kehadiran investasi seharusnya memberikan kemakmuran bangsa dan negara Indonesia serta kesejahteraan rakyat, sayangnya jutsru menjadi sumber malapetaka bagi Tano Batak," kata Ketua Aliansi Gerak Tutup TPL, Banget Sibuea.
Mereka menilai kehadiran PT TPL selama 30 tahun di kawasan Danau Toba, sama sekali tidak memberikan dampak positif bagi mereka, khususnya dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM).
"Bangsa ini membutuhkan investasi yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, mensejahterakan rkayat, menghargai keberlanjutan lingkungan, akuntabel dan juga mengedepankan rasa aman, nyaman dan perdamaian," ujar Sibuea.
Karenanya dalam aksi unjuk rasa ini mereka menyampaikan delapan tuntutan:
- Cabut Izin Operasional PT TPL
- Cabut izin konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL) dari wilayah adat.
- Wujudkan reforma agraria sejati.
- Hentikan kriminalisasi dan intimidasi kepada masyarakat adat Tano Batak.
- Segera usut tindakan kekerasan yang dilakukan karyawan PT TPL kepada masyarakat adat.
- Usut tuntas dugaan manipulasi eksport PT TPL yang terjadi selama ini.
- Selamatkan Tano Batak dari limbah TPL.
- Selamatkan Hutan Tano Batak dari aktivitas penggundulan hutan oleh TPL.