Kisah Boikot Umat Muslim dan Hindu India Atas Kunjungan Pangeran Inggris

SiswantoBBC Suara.Com
Senin, 22 November 2021 | 16:09 WIB
Kisah Boikot Umat Muslim dan Hindu India Atas Kunjungan Pangeran Inggris
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kerusuhan 1921, atau yang juga disebut Kerusuhan Pangeran Wales, kini sudah dilupakan di Mumbai, India. Kala itu, umat Hindu dan Muslim berjuang bersama, bergandengan tangan melawan kelompok lain. Sejarawan Dinyar Patel menulis tentang pelajaran dari peristiwa itu untuk India saat ini.

Kerusuhan 100 tahun lalu itu melibatkan seorang pahlawan kemerdekaan India, seorang calon raja Inggris, dan kekuasaan seorang sultan Ottoman yang sudah goyah. Pemicunya adalah ideologi dan tujuan yang berbeda: swaraj (pemerintahan sendiri), swadeshi (kemandirian ekonomi), larangan minuman keras, dan pan-Islamisme.

Pada November 1921, Pangeran Wales, Edward VIII--yang akan menjadi jadi Raja Inggris--memulai tur kerajaan ke India pada waktu yang tidak tepat.

Pada masa itu, di India sedang berlangsung gerakan pro-kemerdekaan dari kekuasaan Inggris yang diusung oleh Mahatma Gandhi. Gerakan itu menjadi ancaman terbesar bagi pemerintahan kolonial Inggris sejak pemberontakan pada 1857.

Baca Juga: Protes Petani di India Selama Setahun Berujung Dibatalkannya UU Pertanian

Baca juga:

Di bawah bendera "persatuan Hindu-Muslim", Gandhi telah menggabungkan kekuatan dengan gerakan khilafah yang dipimpin oleh sejumlah tokoh Muslim India. Para tokoh Muslim India khawatir Inggris akan menggulingkan sultan mereka yang dianggap sebagai khalifah Islam yang sah, setelah Kesultanan Utsmaniyah menderita kekalahan dalam Perang Dunia I.

Penggabungan kekuatan tersebut menciptakan hubungan persatuan yang luar biasa antara umat Hindu dan Muslim kala itu, tapi di sisi lain juga menimbulkan ketakutan bagi kelompok-kelompok minoritas seperti umat Kristen, Sikh, Parsi, dan Yahudi.

Gandhi mengatakan mereka tidak perlu takut. "Aliansi Hindu-Muslim tidak berarti bahwa komunitas besar harus mendominasi komunitas kecil," katanya.

Dengan naifnya, Pangeran Wales berharap bahwa kunjungannya akan membangkitkan sentimen loyalis dan menghilangkan kekuatan gerakan Gandhi. Menanggapi hal itu, Kongres Nasional India justru memutuskan untuk menyambut sang pangeran dengan aksi boikot dan membakar kain buatan luar negeri, simbol imperialisme ekonomi Inggris.

Baca Juga: WNI di India Ungkap Delhi Diselimuti Kabut Asap

Pada pagi hari 17 November 1921, sejumlah besar penduduk Bombay menentang pemogokan itu dan menyambut kedatangan sang pangeran dengan kapal. Banyak dari simpatisan ini adalah orang Parsi, Yahudi, dan Anglo-India.

Mengapa komunitas Parsi kaya di India menghilang?

Terlepas dari arahan Gandhi untuk tetap melakukan gerakan tanpa kekerasan, para sukarelawan kongres nasional dan khilafah beraksi dengan penuh amarah. Homai Vyarawalla, yang menjadi jurnalis foto perempuan pertama di India, adalah saksi peristiwa ini.

Ketika saya mewawancarainya pada 2008 lalu, dia mengenang siswi Parsi yang mementaskan garbas, sebuah tarian tradisional, untuk menyambut Pangeran Wales.

Pada hari-hari berikutnya, Vyarawalla mengamati pertempuran sengit di jalan-jalan Bombay. Massa menggunakan penutup botol soda dari marmer sebagai proyektil mematikan. Mereka menyerang toko minuman keras milik orang-orang Parsi, melemparkan batu, dan mengancam akan membakarnya.

Gandhi sudah berusaha keras untuk memasukkan larangan minuman keras dalam gerakan non-kerjasama, mendesak komunitas Parsi yang memiliki saham besar secara tidak proporsional dalam perdagangan minuman keras untuk menutup toko mereka secara sukarela.

Saat kekerasan mengguncang Bombay, massa Hindu dan Muslim memilih menyasar toko minuman keras sebagai simbol dominasi ekonomi Parsi dan perlawanan mereka terhadap politik nasionalis. Mereka mengancam akan membakar sebuah bangunan tempat tinggal Parsi, yang memiliki toko minuman keras di lantai dasar.

Pemilik toko akhirnya berinisiatif membuang stok minuman keras mereka ke selokan.

Orang-orang Parsi dan Anglo-India bukan tak bersalah sama sekali. Banyak pula dari mereka terlibat dalam keributan, memegang tongkat bambu dan senjata. Mereka menyerang orang-orang yang mengenakan khadi, pakaian khas Gandhi, dan berteriak "Turunkan topi Gandhi". Anggota Kongres yang didukung Parsi atau Kristen bisa menjadi sasaran kedua belah pihak.

Gandhi dengan cepat bereaksi terhadap kekerasan tersebut dan menyatukan para pemimpin dari berbagai komunitas untuk menengahi perdamaian.

Pada 19 November, ia melancarkan mogok makan pertamanya melawan kerusuhan agama. Dia bersumpah untuk tidak makan maupun minum sampai kekerasan mereda.

Taktik yang dilakukan Gandhi itu berhasil. Pada 22 November, Gandhi mengakhiri aksi mogok makannya dan dikelilingi oleh orang-orang India dari berbagai komunitas dan aliran politik.

Namun, Kerusuhan Pangeran Wales itu mengguncang dirinya. Dengan getir, dia mengakui bahwa kerusuhan itu telah membenarkan ketakutan minoritas yang lebih kecil terhadap mayoritas yang melancarkan kekerasan.

Maka, ketika Bombay pulih dari pembantaian, Gandhi berusaha mendapatkan kembali kepercayaan dari kelompok-kelompok minoritas sesegera mungkin.

Dia menginstruksikan kongres dan relawan khilafah tentang pentingnya hak-hak minoritas dan melakukan perbaikan. Komunitas mayoritas, kata Gandhi, memiliki tanggung jawab tersumpah untuk menegakkan kesejahteraan minoritas.

Pada pertemuan dan publikasi kongres, dia memberikan ruang politik yang signifikan kepada perwakilan minoritas, yang menyuarakan keraguan mereka tentang taktik Gandhi dan kekhawatiran mereka tentang dorongan mayoritas.

Yang paling luar biasa, Gandhi dengan mantap mengganti slogan persatuan Hindu-Muslim dengan yang baru: "Persatuan Hindu-Muslim-Sikh-Parsi-Kristen-Yahudi".

Slogan itu terdengar `berat', tetapi berhasil membantu meyakinkan minoritas yang lebih kecil bahwa mereka akan mendapat tempat di India yang telah merdeka.

Sekitar 58 orang tewas dalam kerusuhan itu dan satu dari enam pabrik minuman keras di Bombay diserang. Bagi Pangeran Wales, kerusuhan tersebut menandai awal yang tidak menyenangkan untuk turnya. Di tempat lain di India, dia disambut dengan pemogokan atau ancaman pembunuhan.

Namun, diplomasi teguh Gandhi adalah alasan kerusuhan sekarang dilupakan. Dia menghilangkan momok mayoritarianisme, memastikan bahwa kerusuhan tidak melukai Bombay secara permanen.

Di sinilah letak beberapa pelajaran untuk hari ini.

Kekerasan komunal, seperti Kerusuhan Pangeran Wales, sebagian besar merupakan konstruksi politik.

Ini bukan produk dari perbedaan agama yang tak terjembatani sejak masa purba. Pada 1921, suasana politik mendorong umat Hindu dan Muslim untuk berjuang bersama melawan komunitas lain. Hanya beberapa tahun kemudian, setelah runtuhnya aliansi Kongres-Khilafah, umat Hindu dan Muslim terlibat dalam pertempuran yang lebih berdarah satu sama lain.

Ada pelajaran lain dari tragedi itu. Mayoritarianisme bisa berubah-ubah dan menjadi beban. Hitung-hitungan yang mendasarinya dapat bergeser dan terfragmentasi dengan cara yang tidak terduga, seperti yang terjadi di jalan-jalan Bombay pada tahun 1920-an.

Mungkin itulah sebabnya Gandhi berusaha keras menolak mayoritarianisme dan menekankan toleransi bahkan terhadap minoritas terkecil sekalipun.

Seratus tahun yang lalu, dia mengeluarkan peringatan: jika mayoritas bersatu hari ini untuk menindas orang lain, maka "besok persatuan akan pecah di bawah ketamakan atau religiusitas palsu".

Dinyar Patel adalah penulis biografi Dadabhai Naoroji: Pioneer of Indian Nationalism, yang dipublikasikan oleh Harvard University Press.

REKOMENDASI

TERKINI