Suara.com - Mahkamah Agung India membatalkan putusan kontroversial pengadilan tinggi yang membebaskan seorang pria dari kasus kekerasan seksual terhadap seorang gadis berusia 12 tahun dengan alasan "tidak ada kontak langsung" dengan tubuh korban.
Putusan pengadilan tinggi yang dibuat seorang hakim perempuan di Mumbai Januari lalu itu telah menibulkan kemarahan publik.
Para aktivis dan pakar hukum mengatakan putusan itu memiliki "preseden yang berbahaya" dan meminta MA untuk membatalkannya
Selain itu juga dipandang akan membuat anak-anak tidak mau melaporkan kekerasan yang mereka alami.
Baca Juga: Rektor Unsri Akui Sulit Membongkar Kasus Pelecehan Seksual, Bentuk Tim Adhoc
Baca juga:
- Kemarahan publik India setelah bocah kasta terendah diperkosa dan dikremasi secara paksa
- Kematian korban pemerkosaan beramai-ramai di India picu kemarahan besar
- Pelaku perkosaan ramai-ramai di India dieksekusi mati, apakah India jadi lebih aman bagi perempuan?
Apa putusan MA?
Dalam putusannya pada hari Kamis (18/11), majelis hakim Mahkamah Agung mengatakan pengadilan seharusnya melihat ada tidaknya niat kejahatan seksual dan bukan melihat apakah ada kontak langsung antartubuh.
"Membatasinya dengan kontak langsung antartubuh tidak hanya akan menjadi interpretasi yang sempit dan bertele-tele, tetapi juga akan mengarah pada interpretasi yang tidak masuk akal dari ketentuan tersebut," demikian keputusan yang dilaporkan situs hukum LiveLaw.
Dalam keputusan, majelis hakim mengatakan putusan pengadilan tinggi Mumbai itu "tidak sensitif dan melegitimasi perilaku seksual" dan bahwa "tujuan hukum tidak boleh membiarkan pelaku lolos dari ketentuan hukum".
Bagaimana kasus itu terjadi?
Pada Desember 2016, seorang pria berusia 39 tahun dituduh meraba-raba seorang gadis berusia 12 tahun.
Baca Juga: Dosen Terbukti Pelecehan Seksual Bisa Diberhentikan Tidak Hormat Dengan Permen PPKS
Ibu anak itu menuduh bahwa pelaku telah merayu putrinya ke rumahnya dan di sana melakukan perbuatan tidak senonoh atas payudara korban.
Hakim pengadilan lalu menghukumnya karena melakukan pelecehan seksual terhadap anak di bawah Undang-Undang Pocso (Perlindungan Anak-anak dari Pelanggaran Seksual) yang ketat dan memberinya hukuman penjara tiga tahun.
Tetapi pada 12 Januari lalu, hakim Pengadilan Tinggi Bombay, Pushpa Ganediwala, memutuskan bahwa perbuatan pelaku atas payudara korban tanpa melepas pakaiannya "bukanlah serangan seksual karena tidak ada kontak langsung dengan tubuh" dan hanya dipandang sebagai tuduhan pelecehan dengan bobot hukuman lebih rendah.
Keputusan itu mendapat kecaman luas dan beberapa petisi diajukan ke MA untuk membatalkannya.
Pada 27 Januari, Mahkamah Agung menunda vonis dari Pengadilan Tinggi tersebut sampai ada putusan selanjutnya.
Setelah putusan MA Kamis, terdakwa harus menjalani hukuman penjara tiga tahun seperti yang diberikan oleh pengadilan tingkat pertama.
Keputusan yang 'keterlaluan'
Jaksa Agung India KK Venugopal, yang merupakan salah satu pemohon di MA, menggambarkan putusan pengadilan tinggi sebelumnya sebagai "keterlaluan".
Dia mengatakan jika tidak dibatalkan, putusan tersebut akan "menjadi preseden yang sangat berbahaya".
Selama persidangan, Venugopal berpendapat bahwa kontak langsung antartubuh bukanlah "bahan yang diperlukan" untuk kejahatan penyerangan seksual di bawah Undang-Undang Pocso.
"Jika di kemudian hari, ada orang memakai sepasang sarung tangan bedah dan menggerayangi seluruh tubuh seorang wanita, dia tidak akan dihukum karena penyerangan seksual sesuai keputusan [Pengadilan Tinggi] itu. Ini adalah perintah yang keterlaluan," katanya seperti dikutip Indian Express.
Picu kemarahan
Keputusan pengadilan tinggi yang kontroversial itu, yang disahkan oleh seorang hakim perempuan, dikritik oleh aktivis hak-hak anak dan publik yang menggambarkannya sebagai "memuakkan dan tidak dapat diterima".
Kalangan pengritik juga mengatakan bahwa penilaian itu sangat cacat karena berurusan dengan anak-anak, yang seringkali tidak dapat melindungi diri mereka sendiri.
Banyak yang menyatakan keprihatinan bahwa keputusan itu dapat menempatkan anak-anak pada peningkatan risiko eksploitasi di India, di mana pelecehan seksual anak sudah menjadi masalah besar dengan puluhan ribu kasus dilaporkan setiap tahun.
Menurut sebuah penelitian pemerintah pada tahun 2007, dua dari setiap tiga anak di India mengalami kekerasan fisik dan bahwa 53% dari hampir 12.300 anak yang disurvei melaporkan satu atau lebih kasus pelecehan seksual.
Tahun lalu, Biro Catatan Kejahatan Nasional mencatat 43.000 pelanggaran di bawah Undang-Undang Pocso atau rata-rata satu kasus setiap 12 menit.
Para pegiat mengatakan jumlah sebenarnya jauh lebih tinggi karena banyak kasus pelecehan, terutama di mana pelakunya adalah anggota keluarga atau orang yang dikenal korban, bahkan tidak dilaporkan.